Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 32​

“Bagaimana yah?”

Begitulah pertanyaan pertamanya Dinda pas gue sudah tiba di rumah.
Bagaimana apanya? Bagaimana suamimu yang lagi nahan sange sekarang ini gegara melihat liveshow antara bu Sari dengan suaminya tadi? Iya?

Atau bagaimana apanya nih? Gue bahkan sulit buat berfikir yang bener sekarang ini, mungkin ada makna bagaiamana lainnya yang di tanyakan Dinda, Cuma gue emang masih belom ngeh sekarang.

Hadeh!

Atau menurut Dinda, bagaimana jikalau saja bu Sari ada dirumah ini, dan gue sesegera mungkin menunjukan bagaimana bentuk sebenarnya penis laki- laki itu, serta bagaimana cara menggunakannya dengan baik dan benar. Bukan hanya menunjukan, kalau perlu gue akan mempraktekannya langsung dengan bu Sari.

Bagaimana bunda? Mau gak bunda berbagi sedikit kenikmatan dengan bu Sari? Kasihan dia bun.. Pasti seumur-umur dia belum pernah merasakan yang namanya dilanda badai kenikmatan, yang membuatnya terbang tinggi sampai kelangit ketujuh, lalu jatuh dan tenggelam di telaga kenikmatan.

Ayolah bun, berbagilah.. ingat, berbagi dengan orang yang kekurangan itu, pasti akan membawa kenikmatan tersendiri untuk kita berdua.

Terus istri gue menjawab kira-kira seperti ini.. “Sini yah, bunda mau kok berbagi dengan bu Sari.. bukan hanya dengan dia, kalau perlu dengan bu Tita, bu Mia dan Umi Rahmi.. Nanti penis Ayah, bagian kepalanya bunda potong untuk bu Sari, bagian lehernya untuk bu Mia, bagian batangnya untuk Umi Rahmi dan dua telur Ayah untuk Bunda.. nanti bunda buat telur dadar bumbu balado.. bagaimana Ayah, mau.?”

Anjiiiiirrrrr! Ini kan imagi gue sendiri, kenapa harus di cemari sama kalimat mengerikan seperti itu seh?

Aaaaaahhh, Tidaakkkkk..!!

Membayangkan saja, Dinda mengucapkan hal itu, tubuh gue sudah merinding dan kemaluan gue menciut, apalagi kalau beneran terjadi, apa gak hancur sehancur-hancurnya tuh masa depan gue.

“Ayah.. Kok melamun sih.?” Dinda mengejutkan gue dari lamunan.

“Ayah gak melamun kok sayang.. Ayah itu lagi mengagumi ciptaanNya yang begitu indah dan dia sekarang lagi berdiri dihadapan Ayah.” Wajah Dinda langsung memerah dan dia tersipu malu.

“Ayaahhh.. Gombal ihhh.” Suara Dinda terdengar manja, lalu dia menundukan wajahnya. Hal itu membuatnya terlihat menggemaskan.

Karena sudah di serang birahi bertubi-tubi sejak dari rumah bu Sari, alhasil, si komeng di bawah sana kembali menegang. Kembali ingin di tuntaskan, ingin di peras habis cairan lava putihnya di dalam sana. Merujuk pada hal itulah, tanpa gue tunda lagi, segera saja gue merapatkan diri ke arah Dinda.

“Loh ayah?” gumam Dinda sedikit memprotes, apalagi di saat gue angkat dagunya, setelah itu gue kecup bibirnya pelan.

Manis banget bibir bini gue euy!
Tapi, bibir kami gak lama menempelnya.

Setelah gue lepas, gue melanjutkan ucapan ini, “Bukan gombal sayang, tapi itu memang kenyataan.. ayah sangat bersyukur, memiliki pendamping hidup sepertimu.” Gue menatap dalam mata Dinda.

Harusnya adegan ini penuh keromantisan, bukan?
Tapi nyatanya, yang gue dapatkan darinya, pelototan kedua matanya.
“Ayah kesambet apa sih?”
“Hehe, gak kok”

“Kok jadi romantis begini?” ahhh, akhirnya.

Dinda merangkulkan kedua tangannya dibelakang leherku.

Andai saja gue bisa jawab, habis kesambet titid pak tua yang gak bisa muasin bu Sari Bun. Ayah bisa bayangkan, seandainya bunda yang ada diposisi bu Sari..

Bunda pasti akan menggila, karena nafsu Bunda itu besar banget. Bersyukurlah sayang, bersyukurlah memiliki suami yang perkasa seperti diriku. Dirimu bukan hanya terpuaskan, tapi juga kewalahan. Hahaha.

“Kesambet nenen yang Bunda remas, waktu Ayah berangkat tadi..” Gue menjawab sambil memainkan kedua alis mata gue. Yap. Gak mungkin kalimat sebelumnya itu gue ucapin di hadapan Dinda, bisa beneran jadi telor dadar nih biji. Alhasil, gue kembali mengulang ingatan pada kejadian sebelum gue berangkat ke rumah bu Sari. Pasti yang ngikutin kisah gue ini paham, bagaimana menggodanya Dinda saat gue berpamitan padanya mau nganterin kue titipannya ke bu Sari.

“Dasar mesum.. hihihi..” Dinda melepaskan rangkulannya dileher gue, tapi karena gue sudah bernafsu, langsung menarik tangannya sampai tubuhnya merapat ketubuh gue.

Bukan hanya itu saja….

Dinda yang masih gelagapan akibat tindakan tiba-tiba suaminya ini, malah hanya bisa mampu terpekik, apalagi di saat tubuhnya gue paksa mengarahkan ke sofa yang tak jauh dari posisi kami saat ini.

Begitu tiba di pinggir sofa.

Brukkkk!

Gue lalu merobohkan diri disofa, mengambil posisi yang tepat, menyandarkan kepala disandaran sofa, sambil menarik tangan Dinda sampai tubuhnya jatuh tepat didada gue.

“Ikhhh Ayaahhh.” Teriak Dinda yang posisinya tertelungkup dan memeluk gue yang sudah duduk bersandar disofa.

“Ayah sudah gak tahan Bun. Kita main disini aja ya? Kita kan lama gak main diruang tamu.”

“Iyaaa.. tapi jangan ngagetin gitu duduknya.. Bunda kira tadi Ayah jatuh.” Dinda mengomel, lalu dia melepaskan diri dari pelukan.

Tak sampai dua detik, ia berdiri tepat di antar kedua paha gue yang terbuka lebar.

“Maaf ya sayang.” Gue memeluk bagian pinggang Dinda, kedua telapak tangan gue berada dibagian bokongnya.

Gue menengadahkan kepala menatap wajahnya.

Mengetahui keinginan suaminya, Dinda pun lantas menundukan kepalanya.

“Kebiasaan.. kalau sudah nafsu itu, gak lihat tempat dan gak lihat waktu.. Iiiiiii.” Dinda memencet hidung gue dengan gemasnya.

“Tapi bunda suka kan?” sambil membalas, tak lupa tangan gue yang sudah mampir di bokongnya, mulai meremas gemas di sana.

“Heemmm.” Dinda mendesah pelan. Sejurus kemudian, bibir kami pun bersatu dalam gairah yang mulai terbakar.

Kami saling melumat penuh birahi. Gue yakin, bini gue juga sebetulnya sudah terbakar sedari awal gue ninggalin rumah, Cuma dia memilih untuk ngebiarin suaminya keluar nganterin kue terlebih dahulu. Barulah, setelah itu, setelah tak adanya gangguan kecil di luar sana, maka waktu untuk bercinta tak akan ada yang mengganggu.

Begitu gue bergumam gitu, seperti backsound pengiring proses memulainya aktivitas persetubuhan yang halal antara gue dan istri ini, perlahan-lahan mulai berbunyi – hanya sebatas di imagi gue saja.

DEWA 19 – Aku sedang ingin bercinta​

Setiap ada kamu mengapa darahku
Mengalir lebih cepat dari ujung kaki ke ujung kepalaS
etiap ada kamu otakku berpikir
Bagaimana caranya untuk berdua bersama kamu​

Aku sedang ingin bercinta karena
Mungkin ada kamu di sini aku ingin
Aku sedang ingin bercinta karena
Mungkin ada kamu di sini aku ingin​

Setiap ada kamu mengapa jantung ini
Berdetak lebih kencang
Seperti genderang mau perang
Setiap ada kamu mengapa darah ini
Mengalir lebih kencang dari ujung kaki ke ujung kepala​

Di setiap ada kamu mengapa jantungku berdetak
Berdetaknya lebih kencang seperti genderang mau perang
Di setiap ada kamu mengapa darahku mengalir
Mengalir lebih cepat dari ujung kaki ke ujung kepala​

Aku sedang ingin bercinta karena
Mungkin ada kamu di sini aku ingin
Aku sedang ingin bercinta karena
Mungkin ada kamu di sini aku ingin​

Seiring lagu berbentuk imagi itu, ciuman kami semakin memanas. Semakin dipenuhi nafsu yang begitu membara.

Tangan gue tidak tinggal diam. Tanpa di perintah, mulai menjalankan kewajibannya sendiri dengan mengangkat gamis lebar Dinda sampai sebatas pinggulnya. Setelah itu, gue turunkan celana dalamnya, sembari tetap berciuman.

Setelah celana dalam Dinda terlepas, dengan bergerak cepat, gue juga melepas celana panjang serta selana dalam gue, karena kalau sudah diposisi duduk seperti ini dan Dinda duduk diatas gue, celana gue pasti akan sulit untuk dilepaskan nantinya.

Untungnya proses menanggalkan celana tadi, terbantukan oleh kesadaran Dinda yang sedikit menggeser posisinya ke belakang, dan menjadikan kedua kakinya menumpu di lantai.

Begitu semua bagian bawah kami terlepas, Dinda yang menatap lekat penis gue yang berdiri keras di sana, perlahan, ia pun mulai kembali mendekat. Mulai naik, menapakkan kedua telapak kaki nya ke atas sofa. Intinya, posisinya kini telah duduk mengangkang diatas kemaluan gue yang sudah mulai amat sangat keras.

Gue lalu memasukkan tangan kanan gue diperut Dinda dan meraba perutnya pelan, “aahhhh..” atas tindakan gue barusan, Dinda mendesah dan melepaskan ciuman kami. Setelahnya, dia memundurkan tubuhnya. Biar gak terjatuh, gue menahan punggungnya dengan tangan kiri, menjadi penopang tubuhnya biar gak terjungkal ke belakang.

Kembali Dinda merangkul leher gue, sementara tangan gue diperutnya sudah mulai merambat naik dan menyentuh buah dada Dinda dari luar branya.

“Aahhhhh..” lagi-lagi, aktivitas rabaan ini mendapatkan respon dari Dinda yang mulai mengeluarkan desahan.

Mata kami pun saling menatap. Biar kata ini halal, dan bukan sebuah perselingkuhan, tapi kadar birahi dan proses romansanya yang tercipta saat ini, tentulah harus tetap terjaga dengan baik. Gue gak mau, persetubuhan gue dengan istri, malah seperti yang terjadi dengan orang lain di luar sana. Gue ingin, semua yang terjadi kadarnya tak berkurang sama sekali.

Melihat bagaimana ekspresi Dinda yang sedang di landa birahi yang membakar, membahana di dalam jiwanya, segera saja, gue sambar bibirnya.

Alhasil….

Bibir kami kembali saling bertautan, saling berbagi liur dan bergelitik lidah silih berganti. Ahhhh, sudahlah, gue gak mampu menjelaskan secara rinci lagi bagaimana geloranya kondisi kami sekarang ini.

Saat masih belum adanya keinginan untuk melepaskan tautan dua bibir kami ini, tangan kanan gue segera bergerak, secara perlahan mulai menyasar ke titik rangsangannya, dengan menyelinap masuk ke dalam bra Dinda.

“Heeeeeemmmm….” Spontan, Dinda mendesah terkungkup dengan lumatan bibir gue, tangannya pun bergerak memegang di sisi samping wajah gue.

Dinda sangat menyukai sentuhan demi sentuhan yang di lakukan jari nakal suaminya ini. Apalagi, di saat kedua tangan gue mulai intens memberikannya remasan demi remasan, lembut tapi tegas pada sepasang payudaranya, di sertai dengan gelitikan pada putingnya, semakin tersiksalah Dinda di bawah penguasaan gue sekarang.

Bukti nyatanya, bagiamana desahan, serta erangan yang tercipta dan terdengar merangsang di telinga gue, atas tindakan gue yang lembut ini, namun sarat akan ketegasan di prosesnya.

Sebagai gambaran, selain Dinda belum pernah menyusui seorang bayi, meski nyaris tiap saat gue nyusuin, tapi gravitasi tidak lantas membuatnya merubah bentuk. Bentuknya masih kenyal, membulat sempurna dengan pagaran aerola di sepasang puting merah merekahnya itu, yang mulai menegang, mengeras di sana – tak pernah ada rasa bosan pada benda kembar tersebut. Tak pernah ada rasa puas buat mengagumi bagaimana indah nan sempurnanya sepasang payudara bini gue tercinta ini.

Semakin gue gelitik, gue remas, semakin terdengar desahan Dinda yang masih membungkam di bawah penguasaan bibir gue. Bahkan, sempat gue rasain bagaimana gemasnya dia atas rangsangan yang gue lakuin, dengan menggigit beberapa kali bibir bagian bawah gue.

Karena merasa cukup….

Cukup maksudnya acara meremas dan memelintir, gue pun akhirnya memutuskan untuk naik se-anak tangga lagi, stepnya.

Remasan dibuah dada Dinda, akhirnya gue lepaskan sesaat. Gue raih punggung Dinda, untuk sekedar membantunya membuka lepas tali pengait branya. Biar sepasang payudaranya itu terlepas bebas dari kurungan.

Klik..

Tali bra Dinda pun terturun, lalu tanpa babibu lagi, gue melepaskan lumatan bibir kami, laksana pejantan yang bergelora, gue mulai meloloskan Gamis yang dikenakan Dinda beserta bra nya, meninggalkan jilbab lebar yang masih menutupi kepalanya.

Entah mengapa, gue menyukai jika Dinda masih mengenakan jilbabnya, tapi tubuhnya tentu saja gue telanjangi. Sama seperti saat ini. Apakah gue punya fetish aneh tentang dunia perhijab-an? Ahhhh. Entahlah, bodo’ amat sama yang namanya fetish. Yang jelas, gue terangsang, yang jelas, gue makin bersemangat untuk menikmati tiap inci kulit tubuh Dinda yang tersajikan buat gue, secara sah baik agama maupun sah secara negara. Baca : Nikah!

Tanpa basa-basi lagi, kembali gue mengambil sasaran pada bibir Dinda, tapi, tangan gue yang sudah tak sabar sejak tadi, karena gue biarkan ia meninggalkan remasannya untuk sekedar membuka penghalangnya, kini mulai bergerak bergerilya kembali di sepasang payudara tersebut. Bahkan intensitas remasan, pelintiran dan usapannya semakin meninggi.

“Hemmmmm…” desah Dinda.

Gue melepas lumatan bibir kami, karena kini, gue harus menyasar ke bagian tengah. Dan di sinilah, mulut gue menyasar. Melumat puting payudaranya bergantian.

Sluupppp.. sluupppp.. sluuuuppp..!

Sambil melumat putingnya, tangan gue yang bebas tak tinggal diam meremas di bagian lainnya. Intinya, hal ini gue lakuin bergantian, biar keduanya mendapatkan bagian isapan, gelitikan lidah, dan remasan lembut di bagian sisi samping gumpalan dagingnya itu.

Sontak, desahan Dinda semakin intens terdengar. “Aaahhhhhh..”

Begitu seterusnya….

Intinya, gue ingin menikmati setiap inci kulit pada tubuh bini gue ini, biar gue mendapatkan kepuasaan tersendiri. Karena kalo hanya sekedar mencicipinya saja, lalu masuk ke menu utama penyatuan kelamin, malah menurut gue gak ada gregetnya sama sekali, kawan.

Alhasil, gue meningkatkan stepnya lagi, dengan menggerakkan tangan gue yang sebelumnya meremas buah dada Dinda, perlahan turun ke paha, menyasar ke pangkal pahanya. Setelah merasa jari ini menemukan celahnya yang membasah becek di bawah sana, tanpa melihatpun, gue langsung tahu kalo itu adalah sajian menu paling utama dalam aktivitas gue dan bini saat ini. Tanpa berfikir lagi, di sanalah, gue fokuskan tangan gue buat meraba bibir vaginanya dengan lembut. Yang patut di ingat, gue sama sekali belum menghentikan aktivitas lumatan mulut gue di bagian dadanya. Masih intens melumat kedua putingnya bergantian.

Sluupppp.. sluupppp.. sluuuuppp..!

“Ahhhhhhhhhhh ohhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh ayahhhhh” begitu jari tengah tangan kanan gue mulai membelai belahan vagina Dinda yang mulai basah, mulutnya melonglong penuh erangan, hingga di atas sana, gue kembali merasakan leher gue di rangkul.

“Aahhhhhhhhhhh..” Dinda mendesah lalu dia mencium leher bagian samping kanan gue, yang empunya pun, masih sibuk dengan kegiatannya menyiksa di sepasang benda kenyal berputing merah kecoklatan yang menegang itu.

Sejurus kemudian….

Gue naik satu step lagi. Dengan mengarahkan jari tengah gue secara perlahan menerobos di tengah vagina Dinda yang sudah basah.

“Ahhhhh.. Ayahhhh.. aaahhh…” Dinda mendesah lalu menjilati leher gue.

Erangannya semakin menjadi-jadi di saat tangan gue mulai mengocok-ngocok liang kenikmatannya dengan perlahan.

Begitu seterusnya….

Tak ada yang berubah dari posisi anggota tubuh kami sedari awal. Gue terus mengocok vagina Dinda sampai pada titik berikutnya, gue rasakan tubuhnya mengejang.

“Bunda mau pipis Ayahhh, Ahhhhhhh”

Sambil mengerang, menunjukkan jika ia akan tiba pada titik puncak orgasmenya yang pertama, tangannya kembali merangkul di leher gue dan desahannya ditelinga gue semakin membara, membuat nafsu gue mulai menggila.

Jari tengah gue, semakin cepat proses keluar masuknya di dalam vagina Dinda.

Hingga…………………

“Ahhhhhhh.”

Serrrrrrrr..

Cairan kenikmatannya mengucur deras dari liang kemaluannya yang masih tersiksa atas jari-jari nakal gue. Apalagi gue sengaja membiarkannya masih nyaman di dalam sana.

Ahhhh, sumpah bro. Ada kepuasaan tersendiri, apabila kita berhasil memberikan kepuasaan pertama pada seorang wanita, hanya dengan jari-jari saja, di awal. Bagaimana nanti kalo sudah menggunakan penis? Uhuuuiii! Gak bisa gue bayangin, kawan. Nikmatnya, kepuasaannya jauh lebih tinggi lagi kastanya.

Gue langsung teringat akan sesuatu hal.

Senyum licik meremehkan tercipta di wajah gue.

Hey pak tua..

Seperti inilah contoh melakukan hubungan badan yang baik dan benar. Jangan asal penetrasi tanpa ada pemanansan dulu. Apa perlu gue buatkan video tutorialnya? Tapi lawan mainnya jangan Dinda, melainkan gue dengan istrimu, bu Sari.

Bagaimana? Setuju gak? Hahaha.

Baaajingan…. mau merasa nikmat sendiri, tanpa mikir pasangan kita apakah juga merasakan nikmat atau malah biasa-biasa saja. Atau malah yang ada, justru siksaan batinia nya semakin meningkat.

Hadeh!

Bener-bener tuh pak Tua harus di beri pelajaran deh nantinya.


Update tipis-tipis aja doloe ya.

Sekali-sekali, Dinda juga dapet jatah donk. hahay….

BERSAMBUNG CHAPTER 33​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *