CHAPTER 8
Apa yang kalian ingin baca saat ini? Sepertinya gak perlu pake monolog panjang-panjang buat pembukaan di chapter kali ini ya.
Atau justru kalian lagi nungguin kejadian lanjutan hasil dari obrolan yang memancing birahi? Goda’an para bidadari–bidadari bergamis yang cantik itu? Tentang komeng yang tidak tersalurkan hasratnya? Atau gue lagi bercengkrama ria dengan Buya, karena dia sangat senang dengan ke-ikut sertaan gue dalam acara ini?
Hahaha! Brekele lo semua ah!
Terlalu cepat bro. lagian kalo udah kayak gitu, berarti para wanita dalam jalan kehidupan gue ini, jadinya murahan banget yak. Kayak cerita-cerita author mesum lain yang tanpa tendeng aling-aling langsung maen sikat, maen ah uh eh oh.
Intinya. Niat gue kali ini sudah amat sangat jelas, lagi pengen menyalurkan birahi yang sudah menyiksa seharian ini. Dengan siapa? Umi Rahmi, Tita, Mia atau bu Sari?
Ya jelas bukan salah satu dari keempat wanita itu bro. Gue masih belum ada jalan ke arah sana dan gak mungkin gue main nyosor aja ke wanita–wanita itu. Memangnya mereka wanita apa’an, yang bisa diajak enak–enak semau jidatnye?
Kagak bisa seperti itulah bro. Butuh pendekataan yang baik dan perencanaan yang matang untuk bisa mengambil hati mereka, sebelum menyentuh tubuhnya. Bukan asal srudak-sruduk aja. Gile lo bro.
Terus sekarang bijimane gue menyalurkan hasrat yang sudah terlalu melambung tinggi ini? Ya sama bini gue lah. Hanya dia yang saat ini bisa mengerti perasaan gue dan hanya dia yang tau bagaimana menyelesaikan birahi yang sudah tak terbendung ini.
Sudah terlalu banyak umpan lambung, umpan silang sampai umpan trobosan yang di arahkan dan gak ada satupun yang menghasilkan gol. Sampai tendangan penalti diberikan wasit secara gratis tanpa ada pelanggaran, juga tidak bisa menciptakan gol. Gimana perasaan ente kalau begitu? Geregetan kan? Begitulah yang gue rasakan saat ini dan satu–satunya gawang yang bisa dibobol hanya milik Dinda.
Ya weslah.
Padahal niatnya, di chapter kali ini pembukaannya gak panjang-panjang ya, namun nyatanya tetap aja. Hahaha!
Back to my story. Anjir, bacot gue sok linggisan segala.
Tapi….
Jika dari kalian ada yang gak sabaran dan ngedesak-desak buat update cepat, monggo ae lah, bisa PM…. nanti ane berbaik hati spill dimana dan bagaimana cara dapetin kelanjutannya. Biasalah, buat pemenuhan energi dalam mengetik (Udud dan Kopi Sachetan) hohoho…! Bagi yang mau saja loh ya. Kagak di paksa. Hahay………….
…
…
…
Intinya begitu Dinda membisik tadi, segera saja gue tarik ia untuk kembali ke mobil.
Betul kata Dinda….
Gue harus segera nuntasin birahi yang membakar saat ini, kalo gak mau, gue bakal uring-uringan seharian ini, dan hal itu justru malah bikin gue males ngapa-ngapain. Kan gak lucu, ada di acara keagamaan kek gini malah pikiran gue di selangkangan wanita mulu.
Meski bukan bini gue juga yang menjadi pencetus terbakarnya birahi di dalam sana, melainkan para wanita tadi yang semobil dengan kami. Tapi, buat finishing emang ada baiknya sama yang halal-halal saja lah, takut kena kualat – baca ; dosa – kalo finishingnya malah di selangkangan wanita lain. Apa kata dunia, bro.
Mereka – para wanita-wanita berkerudung itu, cukup berada di khayalan liar gue aja, berjalan pada koridor yang sebenarnya, biar hidup ini aman terkendali. Kecuali emang sudah sulit buat gue kendalikan, apa boleh buat. Hahay!
Tak perlu juga gue ceritakan proses perjalanan gue bersama Dinda secara diam-diam ninggalin acara menuju ke hotel terdekat, gak perlu yang bintang karena jangkauan yang berbintang lima dari tempat acara lumayan membutuhkan waktu, tapi tidak untuk hotel yang hanya berbintang 3 saja. Posisinya lumayan dekat, bahkan gue juga berencana buat markir mobil gue di sini saja lah, toh! Buat ke tempat acara bisa berjalan kaki juga, kok.
Singkatnya, setelah pengurusan administrasi dan membayar untuk semalam dulu, maka gue ma Dinda pun segera menuju ke kamar 44 yang sesuai di pesan.
Begitu pintu kebuka.
Begitu gue mau nyosor, Dinda langsung menolak, “Idihhhh maen nyosor aja ihh ayah. Sabar napa”
Ya sudahlah. Gak perlu di debatin juga kan masalah kek gini?
Mungkin bini lagi pen maen slow and soft.
“Bunda mau ke kamar mandi dulu…. hehehe”
Ahhh…. Gilssss. Kirain bisa langsung nancep. Ternyata godaan untuk menyalurkan hasrat ini masih ada aja. Gue yang lagi kebelet untuk bersetubuh, sedangkan Dinda kebelet untuk kekamar mandi. Gila gak? Ada aja godaan yang mengganggu.
Singkatnya….
“Ayah gak mandi dulu? Gantian ya, habis Ayah baru Bunda” Dinda yang sudah keluar dari kamar mandi, sepertinya benar-benar gak pengen langsung nelanjangin diri. Malah sekarang, kondisinya masih mengenakan gamis lengkap dengan jilbab lebarnya. Hmm, apakah dia lagi kepengen gue setubuhi dengan berpakaian lengkap?
“Ayah ih. Malah melamun, malah liatinnya kek gitu. Tenang aja, toh bunda milik ayah.”
Ah iya. Gak perlu juga gue liatin dia seakan-akan lagi pen nelanjangin.
“Nanti handuknya Bunda siapkan.” Dinda berjalan ke arah gue. Sepertinya dia nyangka gue bakal langsung ke kamar mandi yang letaknya berada di belakangnya sana.
Nyatanya.
Laki lo udah kebakar banget. Hoi.
Begitu dia udah di deket gue. Tanpa cingcong lagi, segera gue peluk tubuh sintalnya, meraba punggungnya, dari atas sampai kebawah, lalu gue remas bongkahan bokongnya yang semok.
Bayangan bokong Umi Rahmi yang lagi jalan dan bergeol-geol dengan indahnya, membuat remasan tangan gue di bokong Dinda sedikit menguat.
“Ayaaahhh. Kok nafsu banget sih?” tentu saja Dinda terkejut. Dia masih diem aja, tanpa memberikan perlawanan terhadap serangan gue di awal ini.
“Ayah sudah sange banget bun.” Cetus gue.
Tak perlu nungguin dia merespon, gue segera menyambar bibirnya yang mungil. Kali ini bukan sekedar kecupan lagi, sudah langsung menuju ke kecapan. Sejurus kemudian, masih belum menyadarkan diri sebagai bini, Dinda sempat tersontak di saat lidah gue dengan cepat melesak kedalam mulutnya.
Baru juga gue niatin tangan yang nganggur buat ngeremas payudaranya. Eh, Dinda malah memaksa melepaskan tautan bibir kami, kemudian mulai memundurkan kepalanya.
“Sabar Yah, sabar. Bunda lepas gamis dulu, nanti mau dipakai kegiatan lagi.” Omel Dinda sembari mengarahkan tangannya kebelakang untuk mencari resletingnya.
Srett…. Gue lebih dulu menemukan resletingnya dan tanpa menunggu aksinya, dengan gerakan super kilat, sesegera mungkin gamis yang ia kenakan buat menyembunyikan menu utama untuk gue di dalam sana, gue tarik ke bawah, meloloskannya dari tubuh sintalnya, meninggalkan beha, celana dalam dan jilbab yang menempel ditubuhnya. Namanya juga laki–laki kalau sudah sange, pasti tangannya lebih cepat bergerak untuk menelanjangi wanitanya. Bahkan lebih cepet tangan gue daripada kang copet di pasar.
Gak mau membuang waktu lagi, segera saja tangan gue bekerja kembali. Mulai menyentuh kaitan branya. Begitu baru pen gue buka, Dinda berkomentar, “Ayah kalau sudah sange, tangannya lincah banget.”
Sembari berbicara, dia natap gue dengan tatapan nakal.
Sedangkan tangan gue sudah berhasil membuka pengait beha nya.
And then!
Tadaaaaaaaaaaaaaaa……………..
Akhirnya, lo lepas juga sis beha.
Kini, sepasang payudara menggiurkan Dinda tesaji dengan begitu nyata di hadapan gue. Sebelum gue nyosor, gue sempat berucap untuk membalas ucapannya tadi. “Namanya juga sange bun.” Setelahnya, bibir gue langsung bergerak secepat kilat buat menyerang kembali bibirnya. Dan ya, untuk kali ini tentu saja dia sudah tidak menolak lagi. Wong kondisinya juga sudah kek gini, kalo nolak mubassir namanya.
Dan seperti yang gue emang inginin. Dinda membalas lumatan bibir gue dan membuat nafsu yang sudah membara ini, semakin menggila.
Sudah puluhan, ratusan bahkan ribuan kali, bibir Dinda gue nikmati, tapi tidak ada sedikitpun kebosanan yang gue rasakan. Mungkin buat menambah keintiman, dan keutuhan rumah tangga gue, hmmm…. mungkin loh ya. Bukan niat. Mungkin gue cuma butuh selingan bibir lain doang sebagai penambah gairah. Hahay. Dasar pembenaran yang tak beralasan.
Mungkin bibir Umi Rahmi yang merah mempesona, yang gue coba dulu, karena gue tertantang untuk merasakan manisnya bibir wanita soleha itu.
Arrgghhh.
Kenapa harus Umi Rahmi terus yang bermain di tempurung kepala ini seh? Semakin kesini, gue malah jadi mikir, emangnya, sehebat apa sih wanita kalem itu, sampai bisa menjajah birahi gue yang beneran udah memuncak?
Semenarik apa dia, sampai bayangannya sulit buat gue singkirin dari dalam sana? Bahkan, di saat gue lagi pengen jalanin tanggung jawab sebagai suami, buat memberikan nafkah batinia buat bini, malah bayangan dia yang hadir dan menggoda.
Ahhhh. Gustiiii…
Apa gue sekarang mulai terobsesi sama wanita itu?
Udahlah. Gue lagi pengen fokus ke Dinda, yang kini, tangannya udah mulai ngerangkul belakang leher gue, seiring ciuman kami yang memanas.
Karena males posisi berdiri, pada akhirnya tanpa permisi, tangan gue langsung memegang di bokong, mengangkatnya, menggendongnya.
“Ikhhh…. Ayah.” Atas aksi gue itu, tentu saja Dinda terkejut dan kedua kakinya langsung mengunci di pinggang serta menguatkan pegangannya dileher belakang gue.
Gue membawanya ke ranjang, begitu sampai, segera saja gue lepaskan tubuhnya, mendudukkannya di tepi ranjang.
“Ayah sudah sange ya?” Dinda duduk di tepi ranjang, sedangkan gue masih berdiri menatap tubuhnya yang nyaris telanjang itu. Lebih tepatnya, menatap dua payudara indah menggairahkannya itu yang bikin gigi gue menggertak pelan, menahan birahi membara yang semakin dan semakin menguasai raga ini. Jangan tanyakan lagi, bagaimana kondisi si komeng brekele di bawah sana ya. Bahkan gue mulai merasa sakit, karena posisinya masih terbelenggu oleh celana yang gue kenakan.
“Banget bun.” Gue majukan pinggul gue. Dinda langsung nangkep maksud gue. Sejurus kemudian, ia pun segera menjalankan tugasnya dengan mulai membuka kancing celana gue dan menurunkannya beserta celana dalam.
Tuinggg.
Ah akhirnya.
Keluar juga si babang otong dari sangkarnya. Sejujurnya, gue males mengomentari bagaimana bentuk kemaluan gue ya. Gak guna juga. Toh! Selama ini juga gue gak pernah ngukur, tapi kalo melihat dari cara Dinda menatapnya, ada kebanggaan di dalam sana.
Bukan Dinda saja sih, sebelum menikahinya, gue juga udah sering berteman dengan beberapa wanita, bukan sekedar berteman, tapi ‘Berteman’ di permukaan ranjang. Dan nyatanya, cara mereka menatap nyaris sama seperti wanita gue ini. Yah iyalah. Kan mereka sekaum. Kalo melihat penis yang kecil, tentu cekikikan bakal terjadi. Tapi kalo ngeliat penis gue, tentulah ekspresinya seperti terpukau atas apa yang sepasang matanya itu lihat.
“Nakal. Kalau sudah bangun, gak lihat waktu dan tempat.” Dinda memegangnya, spontan tubuh gue langsung menggigil disko, saking enaknya di sentuh oleh jemari lentik si lawan main.
“Uhhhhhh.” Gue hanya bisa mendesah, dengan perlakuan Dinda yang manja di penis gue.
“Awas ya, kalau sampai main-main ke lubang yang lain. Dinda potong kepalanya.” Jiah, malah di ajekin ngobrol. Sambil ngomong itu, Dinda menunjuk kepala bertopi bajanya dengan tangan kirim, sedangkan tangan kanannya mulai menjalankan aksi nyatanya, dengan mulai mengocok batangnya itu.
Spontan saja. Mendapatkan service begini, gue langsung mengeluarkan desahan. “Uhhh.. Bun.”
“Iya yah.” Dinda menjawab. Gue kira dia ingin bermain-main, tapi dia rupanya paham apa yang gue inginin sekarang ini. Gue pengen banget, kalo si otong langsung di lahap habis oleh mulut mungilnya.
Membukalah wahai kau mulut mungil.
Lahaplah si otong, biar si empunya bisa langsung kelonjotan.
Ahhh, rupanya gak langsung di lahap. Rupanya, di awal, lidah menggodanya itu, hanya sekedar menjilat pada bagian ujung kepala bertopi bajanya doang.
Baru juga gue mau protes………
“Ahhhhh.” Akhirnya, di lahap juga penis gue dengan mulut mungilnya itu.
Pintar sayang. Engkau emang bini terdebest di alam semesta ini.
“Hmph.. Hmph..” Mulut mungilnya itu memenuh, karena tak mampu menampung penis gue sepenuhnya. Bahkan beberapa kali, di sisi pipi kiri lalu berganti di pipi kanannya, mengembung. Semakin bikin gue blingsatan jadinya. Apalagi cara Dinda melirik.
Oh shit. Beautiful…. eye’s. Bro!
Sambil mengulum, matanya melirik nakal nan manja ke gue, bikin gue semakin terbakar.
Di saat gue nyaris terpejam, gue sempat melihat kedua tangannya menurunkan celana gue yang masih menggantung setengah paha, sampai terjatuh dimata kaki gue. Dengan bantuan gue, akhirnya celana beserta daleman langsung terlempar ke sembarang tempat.
“Ayah dah gak kuat bun.” Gue pegang pundaknya, lalu gue rebahkan ia di permukaan ranjang yang empuk ini.
Secepat kilat, gue segera lepaskan celana dalamnya. Dinda membantu hingga lolos dari sepasang tungkai kakinya.
“Hihihihih…. ayah lucu kalo lagi sange kek gini” komentarnya. Tapi tak gue hiraukan. Karena yang gue hiraukan sekarang ini, betapa lezatnya pemandangan di depan mata gue sekarang. Tubuh telanjang Dinda menjadi santapan mata. Dan yang semakin dan semakin bikin dahsyat efeknya di batang kemaluan gue, ialah kepalanya masih berkerudung.
Gue yakin, sebagian pembaca pasti pernah berimagi seperti kejadian yang terjadi di depan mata gue ini.
Selamat berkonak ria. Bro!
Begitu gue sudah mendekatkan kepala bertopi baja si brekele, Dinda bergumam, “Pelan – pelan ya Yah, punya Ayah besar banget loh.”
Tak gue gubris. Karena yang gue lakuin sekarang, adalah ngangkat kakinya hingga posisinya tertekuk. Setelahnya, gue mulai menggesekkan kepala kemaluan gue tepat di tengah-tengah belahan vagina Dinda yang sudah basah.
“Ahhhh, ahhhhh.” Desah Dinda… “Ayah pel…. ahhhhhhhhh”
Bleshhh!
Tak gue biarkan komentarnya selesai, karena nyatanya, kini gue menekan penis ini hingga mulai menerobos masuk ke celah kenikmatannya.
“Ayah.. Ikhhhh…. sudah dibilang pelan-pelan.. besar banget tau punyanya Ayah.” protes Dinda ketika penis gue berhasil masuk, hingga gue rasain di dalem sana sudah mentok, nyisain sedikit batang sampai pangkalnya di luaran.
“He, he, he. Kirain sudah biasa bun.” Gue diamkan penis sejenak didalam vagina Dinda yang sempit itu.
Beberapa saat kemudian, gue mulai goyang perlahan, kedepan dan kebelakang.
“Ahhhhh.” Akhirya tak lagi gue denger ocehannya, berganti dengan desahan gelisahnya itu.
Begitu mulai proses menggerakkan terpedo gue keluar masuk di liang kenikmatannya, gue merendahkan tubuh ini, sedikit membukuk agar mampu mendekatkan posisi wajah kami. Gue paling suka melihat dari dekat wajah Dinda saat gue setubuhi. Apalagi kondisinya saat ini masih berhijab.
Sambil bergerak liar, tak tinggal diam, tangan gue mulai membantu menambahkan stimulasi rangsangan padanya, dengan mulai meremas gemas payudaranya. Sedangkan tangan gue yang satunya, mengelus perutnya.
Setelah meremas, jari-jari nakal gue mulai mengganti tugas telapaknya buat memelintir putingnya, sedangkan jari lainnya menggoda di puting. Semua kerja saling bersamaan, kompak tanpa ada yang mendahului. Bergotong royong pasti kita akan menang.
Apalagi si komeng, masih bekerja dengan santai dan pelan dalam bergerak maju mundur, belum masuk ke tahap speed up, karena gue masih ingin merasakan bagaimana nikmatnya kulit permukaan batang kemaluan ini bergesekan di dalam sana dengan kulit dalaman liang peranakan Dinda yang sampai sekarang belum mengeluarkan orok.
Atas kerja bergotong royong itu, spontan, langsung di respon penuh gelora oleh tubuh Dinda dengan menggelinjang penuh nikmat.
“Ayah, ah, ah, ah, ah.” Racaunya yang terdengar menahan rasa nikmat yang tak terperi.
Mendengar desahannya itu, yang menyerupai erangan tertahan, pada akhirnya, gue mulai menambah ritme kecepatan hujaman penis gue dengan semangat yang terus membara.
Inchi demi inchi rongga dalam vagina dinda diobrak–abrik penis gue, dan dinding vagina Dinda tentu saja menyambutnya dengan memeras batangnya, sehingga semakin menambah rangsangan bagi gue. Kalo gue gak mampu bertahan, mungkin gue jebol. Terima kasih wahai om google, karena informasi yang selama ini gue dapatkan dari elu, tentang bagaimana menjadi pria perkasa, bagaimana menahan agar tidak ejakulasi cepat, rupanya berhasil terimplementasikan selama ini.
“Ahh.. ahh.. ahh.. gila.. enak banget yang.. ahh.. ahh..” Dinda mulai meracau gak karuan.
Vaginanya terasa sangat sempit sekali, walaupun sudah berulang kali gue terobos, tapi tetap saja, kenikmatan itu tak pernah hilang. Kesempitan dan kesesakan si otong di dalam sana dalam bekerja, malah semakin menambah kadar kenikmatannya.
Begitu seterusnya….
Ritme persetubuhan ini masih gue jaga, menyeimbangkannya dengan sentuhan demi sentuhan erotis pada bagian titik sensitifnya, sehingga tak begitu lama, tubuh Dinda mulai memberikan gesture yang amat sangat gue kenali. Apalagi cara dia menggelengkan kepalanya, sudah fix, jika itu adalah geliat tubuhnya yang menandakan jika sedikit lagi, dia akan tiba pada titik terpuncak persetubuhan, yaitu orgasme.
Benar saja….
Kepalanya mulai tertengadah ke atas, seiring melesaknya berulang-ulang penis suaminya, menghujam kedalaman liang peranakannya yang begitu lembab dan licin, akibat cairan kewanitaannya yang semakin banyak merembes keluar dari celahnya.
“Ayah… ahhhh….. sedikit lagi…. sedikit lagi bunda sampe…..”
Sabar sayang. Ayah pasti akan memberimu kesempatan untuk tiba lebih dulu di titik terpucak. Dan yah, gue mulai menambah ritme kecepatan kocokan penis gue, kedua tangan gue pun memegang pinggulnya, biar proses menuju puncak kenikmatannya semakin cepat ia dapatkan.
“Terus Yah, lebih cepat lagi goyangannya.. Ahhhh, ahhhh.” Dinda merintih kenikmatan. Sedikit lagi. Yah, gue yakin sedikit lagi dia bakal sampai. Di tandai dengan remasan vaginanya pada batang kemaluan gue di dalam sana, semakin nyata dan nikmat terasa.
Hingga……….
“Ayaahhh, Bunda sampai.. Ahhhhhhh” jerit Dinda amat sangat penuh kenikmatan, begitu gue merasa ada desakan di dalam liangnya yang memaksa untuk keluar, maka sesegera mungkin gue mencabut si komeng.
Sreeet.. sreett.. sreettt..!!!
Yeah!
Bini gue berhasil gue buat squirt lagi kayak biasanya.
Cairan kenikmatan Dinda mengucur deras dan membasahi sebagian permukaan ranjang.
“Ahhhhh, nikmat banget Ayah, ini nikmat banget.” Dinda mengedutkan vaginanya, untuk mendorong sisa–sisa cairan kenikmatan yang belum keluar.
Ah akhirnya.
Score 1 – 0 buat gue. Hahay…………………
BERSAMBUNG CHAPTER 9