Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 9​

Pernahkah kalian berada pada posisi gue sekarang ini? Posisi tengah menikmati proses orgasme seorang wanita, apalagi sampai berhasil gue buat squirt untuk di awal ini tidak kurang dari 10 menit setelah gue penetrasikan kemaluan di dalam liang licin penuh kenikmatannya itu?

Wahhh…. kalo yang pernah punya pengalaman, pasti kalian sudah menjadi pria sesungguhnya bro. Sumpah, bener-bener beautiful view banget lah. Gue sampai sulit buat ngejelasin bagaimana perasaan gue menyaksikan prosesnya, dan jangan tanyakan juga lah, bagaimana geliat mengejang Dinda di saat menyemburkan air seni penuh nikmatnya tadi. Sudahlah, gak perlu lagi gue ceritain ke kalian.

Kali ini, gue janji dah. Gak bakal panjang-panjang monolog pembukanya.

Well! Mari kita lanjutkan, apa yang semestinya wajib gue lanjutin. Mengingat si otong masih berdiri kokoh, belum lagi di ujung topi bajanya itu masih mengkilap akibat cairan lendir si Dinda, dan saking keras ketegangannya, urat-urat di batangnya semakin jelas terlihat.

Tak berapa lama, akhirnya ekstasi sisa-sisa orgasme Dinda mulai mereda. Gue menjalarkan tangan ini buat sekedar meremas payudaranya.

“Bunda semakin cantik kalau begini.”

“Gombal…”

“Loh?”

“Tapi tadi asli yah…. nikmat banget” komentar Dinda, sedikit membuat dada gue nyaris memecah saking bangganya.

“Hehehe. Bunda kan udah, nah sekarang giliran ayah” Gue menatapnya dengan penis yang masih mengacung keras ke arahnya dan siap untuk kembali melanjutkan pertempuran. Sedangkan tangan gue masih nyaman berpegangan di payudara bagian kanannya. Lebih tepatnya sih meremas lembut.

“Ahh iya… Ayah belum keluar ya?” jiah malah di tanya.

Pastinya sayang”

“Ayah mau Bunda nungging?” Ahhh, Dinda paham betul bagaimana cara menaklukkan gue dengan cepat, karena jujur, gue paling gak bisa bertahan kalo udah di sajikan bokong dan selangkangan yang menungging. Seakan-akan rasanya pengen gue lahap dan muntahin cairan larva putih di dalemnya.

Gue sambil garuk-garuk menjawabnya, “Iya bun, biar lebih mentok.”

“Iya,”

Wajarlah seorang istri, mematuhi perintah suaminya. Apalagi tadi telah gue persilahkan untuk lebih dulu mencapai puncak tertinggi persetubuhan, jadi, kalo dia nolak, wahhh, gak tau deh, dosa besar jenis apa yang bakal ia dapatkan dari sang pemilik semesta.

Sejurus kemudian, Dinda yang manut, mulai membalikan tubuhnya. Tentu saja gue sedikit membantunya dengan menarik di bagian pinggul hingga posisinya menungging dengan sempurna. Tapi karena gue mau penetrasi posisi berdiri di lantai. Itu artinya, gue sedikit menyeretnya hingga di tepi ranjang. Alhasil lutut Dinda kini bertumpu didekat ujung ranjang, sedangkan gue sudah berdiri memijak di lantai.

“Ayyaahhh.” Dinda merengek manja.

“Ayah sudah gak tahan lagi sayang”

Bokongnya yang kenyal, padat, benar-benar sudah tersaji dihadapan gue. Alhasil, gue semakin bergairah. Bahkan kadarnya melebihi kadar gairah sebelumnya. Seperti yang gue jelasin, posisi ini adalah posisi andalan Dinda di saat ingin mempercepat proses ngecroot si brekele di bawah sana.

Ahhhh….

Mana lubang kemaluan yang begitu licin, memerah kecoklatan dengan posisi kedua bibirnya yang mengembung, sedangkan garis vertikalnya itu menyempit, semakin bikin si otong berkedut ringan.

Seperti paham, karena gue masih diam memandang pangkal pahanya yang begitu memukai, Dinda lantas menoleh, melirik ke gue.

“Hem.” Sambil berdehem, seperti sengaja, ia menunjukkan betapa nakalnya cara dia menatap, belum lagi, pinggulnya mulai bergoyang bergeol-geol indah, seperti mengundang sang pejantan tangguh untuk menjamahnya sesegera mungkin.

Tanpa lama-lama lagi. Dengan gemas, gue sibak belahan bokongnya, semakin memperjelas kedua lubang bersisian atas dan bawah milik Dinda.

Tapi jujur, gue gak minat sama posisi lubang di atas. Kenapa di atas? Yah, karena kan posisinya lagi nungging, jadi posisi lubang anus tentulah berada di atas, sedangkan posisi lubang bergaris vertikalnya yang siap gue hujam berada di bawah.

Kedutan pada sisi bibir vaginanya, mengundang gue buat mencicipanya terlebih dahulu sebelum gue hujamkan si komeng ke dalam. Sejurus kemudian tanpa permisi sama empunya lubang, gue mulai ngedekatin hidung ke belahannya.

Ahhh, aroma khas kewanitaan bercampur lendir langsung menyeruak masuk memenuhi rongga indra penciuman gue. Gue suka. Amat sangat suka aroma kayak gini. Walaupun vaginanya sangat basah, aromanya tidak pesing dan juga amis, karena Dinda itu selalu menjaga kebersihan area kewanitaannya. Dan itu, gue suka pake banget, bro.

Begitu lidah gue mulai nakal menjalankan tugasnya, begitu juga desahan manja penuh gelora terucap dari bibir mungilnya. “Ayahhhh, ahhhhh.”

Tapi….

Karena gue hanya pengen mencicipi sebentar saja, maka setelah gue jilat, sedikit saja menggelitiknya, dan bersamaan juga gue merasa kalo lubang peranakan Dinda sudah siap buat gue hajar kembali, pada akhirnya gue memposisikan tubuh gue dengan baik. Berdiri di belakangnya, berhadapan dengan tepian ranjang, sedangkan bagian selangkangan, penis gue yang sudah berdiri tegang maksimal, mulai gue pegang di batangnya, kemudian mendekatkannya ke belahan bibir vagina Dinda.

Tak langsung gue masukin, tapi gue memilih buat menggesekkannya terlebih dahulu.

Aktivitas ini mendapat protes darinya. Terbukti, dia menoleh kembali sembari menunjukkan tatapan penuh gemas dan tajam, karena tak sabar buat gue terobos masuk ke liang kenikmatannya itu.

Gue senyum sebentar, kemudian mulai mengarahkan penis ini buat menerobos ke celahnya.

“Uhhhhh.” Dinda langsung tertengadah, dan tak lagi menoleh ke belakang.

Proses masuknya tentulah tak sesulit di awal, karena kondisi vaginanya pun telah begitu basah dan becek.

Gue mulai menekan penis ini kedalam dan karena kondisinya pun telah basah, mempermudah proses penis gue masuk sampai ke kedalamannya.

“Ughhhhh ayahhh”

“Ahhh” seperti paduan suara, kami berdua mendesah bersama ketika gue rasain kepala penis gue di dalam menabrak dinding terdalamnya. Itu artinya tetap saja masih mentok cuy.

Singkat cerita…..

Karena sudah tak tahan, gue mulai memaju mundurkan si komeng di dalam liang Dinda.

“Ayaaaaahhh.” Dinda pun mengikuti ritme goyangan gue, dengan memajukan pinggulnya.

Tapi, gue gak mau bobol lebih dulu, maka dari itu, gue langsung menahan pinggulnya agar tidak bergerak lagi.

“Gilaaaa, sempit banget punya Bunda..” gue mengerang gemas ketika tak kuasa menahan himpitan gelombang desakan kenikmatan ini yang menyebar ke seluruh tubuh. Entahlah, kalimat apa yang harus gue gunakan buat menggambarkan bagaimana kenikmatan yang kini mendera. Yang jelas, benar-benar nikmat.

“Ahhhhhh. Penuh banget punya Bunda yah.. punya ayah masuknya dalam banget. ahhhhh.” Dinda menggelengkan kepalanya dan memang posisi seperti ini, gue merasa batang kemaluan gue malah terasa lebih masuk kedalam sana.

Gue menggenjot….

Menggenjot terus dengan ritme – tarik ulur. Kadang cepat, kadang gue perlambat. Hal itu di tandai dengan gelisah gelinjang Dinda karena aktivitas persetubuhan ini. Gue merasakan, jepitan dinding vagina Dinda semakin terasa sempit, karena hal itu, akhirnya membuat gue semakin semangat buat menghujamnya lebih dalam, dalam dan dalaaaam.

Ohh shit.

Enak banget.

“Ahhhhh, ahhhhh, ahhhhh. Enak banget Yah, enak banget.” Dinda meraung-meraung kenikmatan.

“Iya bun. Punya Bunda juga gigit banget.” Gue menambah kecepatan goyangan pinggul ini yang membuat sensainya semakin terasa nikmat.

Sungguh….

Penis gue benar–benar dimanja oleh jepitan dinding vagina Dinda, makanya gue makin semangat buat menggoyangkan pinggul.

Karena kecepatan genjotan gue meningkat, alhasil Dinda pun mulai menunjukkan gelagat jika sedikit lagi, gue berhasil mengantarnya ke puncak orgasme untuk kali kedua.

“Ayahhh, ahhhh, ahhhh. Bunda mau keluar lagi.” Ia merintih.

Gue percepat.

Semakin cepat ritme genjotan penis gue di liang peranakannya.

Gue harus mengejar. Gue pengen, kali ini kami sama-sama bisa capai puncak orgasme.

“Ohhhh ayahhhh….”

“Iya sayang, ayah juga mau keluar bun. Ahhhh, ahhhh.” Gue mempercepat goyangan.

Dinda menoleh kekanan dan kiri menahan kenikmatan yang kuberikan.

Sedikit lagi. Yah, sedikit lagi gue bakal sampai. Gue bakal berhasil mengantar kami berdua ke ujung ternikmat persetubuhan. Ouhhh nikmat cuy.

Begitu gue mulai merasa gatal pada batang kemaluan di dalam liang peranakan Dinda….

Tiba-tiba saja……………..

Kringgg, krinngg, krinngg.

Ahhhhh Sialll….

Ada gangguan dalam prosesnya. Hp Dinda yang posisinya tidak jauh dari posisi kami, sedikit mengganggu konsentrasi.

Tapi, gue gak boleh menghiraukan gangguan itu. Gue harus tetap fokus buat mengjear orgasme. Apalagi di dalam sana, vagina Dinda semakin dan semakin berkedut.

Bahkan, tangannya meremas selimut dengan keras.

Kringgg, krinngg, krinngg.

Sial. Siapa sih yang nelfon di saat-saat kek gini. Genting hoi. Jangan ganggu dulu.

Hp Dinda terus berbunyi.

“Ayaahhhhh. Bunda keluar duluan.” Racau Dinda dengan tubuh yang mengejang, dan.

“Ahhhhhhhhhhh ayahhh…. lepasin dulu, bunda mau pipis” erangnya. Tapi tak gue indahkan. Gue pengen, penis gue masih tetap di dalam saja.

“Ah.. ah.. ah.. ah.. ah..” Alhasil, cairan kenikmatan Dinda keluar dari sela–sela kemaluan gue yang masih menancap sempurna di vaginanya.

Sengaja gue menghentikan goyangan sesaat, untuk sekedar menikmati proses Dinda yang lagi di dera orgasme keduanya. Pinggulnya sampai gue tahan dan kemaluan gue tetap berada didalam vaginanya.

“Ahhhhh.” Dinda mendesah, lalu dia melihat ke arah Hpnya.

Kringgg, krinngg, krinngg.

Again. Kenapa gak diem dulu sih nih HP?

Dinda yang masih menikmati sisa ejakulasinya itu, mulai mengarahkan tangannya ke atas. Dia berhasil menggapai Hpnya.

“Umi Rahmi.” Dinda menunjukan layar hpnya ke arah gue.

Duh, kenapa dia menelpon disaat seperti ini sih?

“Nanti saja diangkat, bun… ayah mau lamnjut” Gue langsung menggenjot vagina Dinda, sebelum dia menjawab telpon dari Umi Rahmi.

“Auuuu. Ayah. Berhenti sebentar. Bunda mau angkat telpon Umi Rahmi.” Dinda mencoba menggoyangkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri, untuk melepaskan kemaluan gue dari dalam vaginanya.

Kringgg, krinngg, krinngg.

“Ahhhh, ahhhh, ahhh. Dikit lagi bund.” Gue mempercepat sodokan gue dan ketika akan mencapai puncak kenikmatan, Dinda berhasil mendorong tubuhnya kedepan. Tentu saja, perlakuannya barusan sukses membuat penis gue tercabut sempurna dari liang peranakannya.

Plop.

Ah sue….

“Bunda. Kenapa dilepas?” Gue kesel banget, karena Dinda tidak mau menuntaskan permaianan yang sudah hampir mencapai garis finish.

CHAPTER 10 di bawah….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *