Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 10​

Errrrrr!

Dasar bini borokokok. Suaminya lagi pengen mencapai puncak orsgasme, malah tertunda akibat gangguan telfon sialan dari si….

Eh. Gak ding. Gue ralat. Si umi Rahmi bukan sialan. Tapi, hehehe, dah lah. Gue gak mau ngelanjutin kalimat itu.

“Sabar Yah, kalau Umi rahmi telpon berulang–ulang kayak gini, pasti ada hal yang penting yang pengen beliau sampaikan.” Dinda lalu membalikan tubuhnya dan menggesernya kekiri, agar gue tidak memasukan penis gue ke vaginanya lagi.

Gue menggerutu.

“Terus gimana nasibnya ini?” sambil berbicara, sambil gue tunjuk penis gue di bawah sana yang masih berdiri tegang.

“Assalamualaikum Umi” Wadidaw. Dia cuek. Dinda malah tidak ngerespon gerutu gue, dan malah memilih untuk segera menjawab panggilan dari umi Rahmi.

Arrghhhh. Sial.

“…..”

“Oh, ada mi. Sabar ya.” Ucap Dinda. Yah, jelas gue gak bisa mendengar apa yang di katakan si Rahmi di seberang, karena Dinda tidak meloadspekar ponsel berbobanya itu.

“…..”

“Oke mi. sebentar diantar ketenda ya.” Lalu Dinda mengakhiri panggilannya.

Syukur lah.

Akhirnya gue bisa melanjutkan. Hohoho!

Namun nyatanya, begitu gue pengen bergerak masuk memposisikan diri diantara selangkangannya itu, “Sabar dulu Yah.” Errr. Dinda menolak, dan meletakan Hpnya, lalu menutup kemaluannya dengan kedua tangannya.

“Kenapa lagi sihhh bun. Ayah lagi nanggung banget ini. Dikit lagi ayah mau croot tadi” Gue mengomel, karena digantung rasa kentang ini benar–benar menyiksa.

“Tolong antarkan chargeran iphone Bunda ke Umi Rahmi dulu dong. Bunda basah banget ini, kelamaan kalau nunggu Bunda yang antar” Dinda mengatakan itu tanpa merasa berdosa, karena itu sama saja menciptakan siksaan tak bertepi bagi suaminya yang tengah blingsatan ini.

“Apa? Gak salah? Memangnya disana gak ada yang punya chargeran iphone selain Bunda gitu?” gue ngomel cuy. Gimana tidak, coba deh lo orang ada di posisi gue. Kesal gak? Malah mungkin rasa-rasa pen banget gue rampas tuh HP dan membantingnya di lantai.

Eh jangan ding.

Tepok jidat. Bentar, malah balik ke gue, malah jadi buahsimalakama, karena pada akhirnya gue sendiri yang bakal ngeluarin duit buat gantiin ponsel berkamera bobanya itu. Mana harganya gak murah.

“Gak ada yang punya selain Bunda yah. Kasihan, chargeran Umi Rahmi ketinggalan dan Hpnya sudah lowbat banget euy.” Dinda kembali mengatakan dengan entengnya.

Eh busyet, gilsss….

Bini apaan sih ini. Bukannya kasihan ama lakinya yang lagi blingsatan kek gini, dia malah mengkhawatirkan orang lain. Apalagi, jika dia memberi gue kesempatan buat nusukin si komeng di liangnya, sekali dua goyangan, gue yakin, gue pasti bakal muntah juga kok.

Yahh!

Gue tau, dan sangat menyadari, jika selama ini Dinda sangat menghormati Umi Rahmi. Apalagi yang gue ketahui dari cerita-cerita Dinda sebagai pengantar tidur, jikalau dimajelis itu sangat menjunjung tinggi sikap hormat kepada guru atau yang lebih senior.

Tapi kan… Gak gini juga caranya kali. Harus ada garis yang membatasi, apalagi kalau sudah berkeluarga. Ingat, tugas istri itu harus mematuhi suami.

“Kok Bunda malah lebih kasihan Umi Rahmi, dibandingkan ayah?” Gue menampakan wajah kesal, karena situasi ini benar–benar menyiksa.

“Ayah… please. Ntar kita lanjut ya. Ya ya. Kasian umi kalo ponselnya mati total.”

“Tapi.”

“Please yah. Nanti Bunda turutin deh semua kemauan ayah.” Dinda terus merayu gue dan tatapan melasnya itu, sudah pasti tidak bisa ditolak, walau dengan cara apapun.

“Argghhh.” Gue mendengus menahan kesal di dada. Setelahnya, masih dengan perasaan nano-nano jengkel, gue mengambil pakaian yang berserakan dilantai.

Alhasil. Karena gak mampu beragumen lagi dengannya, mau gak mau, kudu ikhlas buat gue kenakan kembali satu persatu pakaian yang baru saja gue raih. Sempat gue lirik, Dinda juga langsung beranjak dari ranjang untuk mengambil chargeran iphone miliknya didalam tas.

“Nih yah.” Dinda menyerahkan charger ke gue. Dengan males, gue tetap aja menerima charger yang sudah tergulung, mengantonginya dikantong depan celana gue.

“jangan ngambek dong yah.” Dinda meraih dagu gue sampai wajah kami saling melihat, lalu dia melumat bibir gue. Ah sue. Malah ngasih hadiah kek gini. Lagi ngebujuk lo ya?

“Cepetan balik ya Yah, nanti Bunda kasih yang special.” Dinda kembali ngeluarin rayuan mautnya dengan suara lembut.

“Iya.” Jawab gue singkat, setelah itu gue melangkah ke arah pintu kamar.

“Yah.” Panggil Dinda ketika gue sudah membuka sedikit pintu kamar.

“Apalagi sih bun?” Gue menoleh ke arah Dinda dan kedua mata gue langsung melotot ke arahnya.

Dinda yang berdiri didekat ujung kasur sana, sedang meremas buah dadanya sebelah kiri dengan tangan kirinya, tangan kanan membelai vaginanya, belom lagi yang bikin gue blingsatan, lidahnya menyapu bibir atasnya.

Oh shit!

“BUNDA!” gue tereak, lebih ke mengerang penuh gelora.

“Hihihi. Cepat balik ya sayang” Dinda terus menggoda dengan kegenitan. “Hahaha….” malah ngakak. Sepertinya dia sangat puas sekali melihat lakinya tersika seperti ini.

Ingin rasanya gue menerkam tubuh Dinda, lalu gue lampiaskan semua nafsu gue yang super kentang ini, sampai dia menjerit–jerit kelojotan. Gue bolak–balikan tubuhnya, sampai nafsu gue tersalurkan dengan tuntas, tas, tas.

“Yeee malah melamun. Udah sana, anterin chargerannya gih”

“Iye… iye”

Gue langsung keluar kamar dengan pikiran dan nafsu yang tergantung. Emosi gua mengusai kepala dan ditambah komeng yang masih berdiri tegak dibalik sempak. Bagaimana tidak emosi, gue belom sempat ejakulasi tadi, malah harus rela pergi buat nganterin chargeran.

Gue mencoba meredam emosi ini, karena kalau sampai gue turuti, gue bisa buka baju dan celana sampai telanjang bulat, lalu gue berlari ketengah jalan, setelah itu gue berdiri agak membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut,lalu berteriak.

BAJINGANN, BAJINGANN, BAJINGANN.

Ahhhh. Cukup, cukup. Lebih baik gue segera mengantar chargeran ini, setelah itu gue balik dan menuntaskan semua birahi ini, sebelum gue benar–benar gila.

Gue memilih jalan kaki ke tenda tempat Umi Rahmi menginap, karena selain jaraknya yang dekat, kalau gue memakai mobil, banyak ritual yang harus gue jalani dan gak perlu gue jelaskan panjang lebar, karena hanya akan mengganggu nafsu gue yang lagi menggantung.

Ini ya….

Kalo Rahmi tiba-tiba dalam kondisi menantang, minimal berbikinian, wah, gue gak bisa menjamin diri ini gak langsung ngapa-ngapain ke dia.

Hahaha….

Khayalan…. oh Khayalan.

Ngimpi lo tong. Mana bisa gue liat wanita itu dalam keadaan terbuka seperti itu. Apalagi sampai telanjang? Wah, kayaknya amat mustahil itu terjadi, kawan. Dan gue juga gak akan yakin, semesta mendengar doa gue ini, terus malah mengabulkan. Eh gue berdoa ya tadi?

Dah lah. Kenapa juga gue ngebacot gak jelas kek gini.

Intinya, gue sudah berada didepan pintu utama tenda yang paling besar dan di dalam tenda sana, terdapat sekat–sekat kamar yang ditempati para petinggi MKTI yang datang dari berbagai kota maupun provinsi itu.

Yang namanya petinggi, pasti fasilitasnya sangat mewah dan tidak sembarangan.

Gue melangkah masuk kedalam tenda dan suasana didalam sini terasa sangat sepi, dibandingkan dengan suasana ditenda peserta yang sangat ramai dan bentuknya seperti barak.

Di sini selain suasananya tenang, masing–masing kamar berjejer rapi dan kesannya seperti hotel yang dipindah ke tenda.

Kamar Umi Rahmi dan Buya berada dipaling ujung belakang. Ada dua kamar tetangga Umi Rahmi, tapi kelihatannya kedua kamar itu tidak ada penghuninya. Mungkin petinggi itu lebih memilih di hotel dari pada di tenda mewah ini.

Ahhh kesunyian ini, rasanya menghadirkan harapan kecil di dalam sana.

Bagaimana jika doa gue terkabulkan tadi? Doa yang menginginkan melihat si umi Rahmi pencetus biang kerok tadi, malah menyajikan tubuhnya ke gue? Hahay. Gak lah, itu gak mungkin, bro.

“Assalamualaikum…” tentu saja, sebagai umat muslim, mengucapkan salam kek gini, adalah kewajiban di saat ingin masuk ke rumah orang lain loh ya. Meski ini bukan rumah, melainkan tenda gede.

Oh iya. Untuk masuk kedalam kamar sana, kita harus melewati dua pintu. Pintu pertama yang ada didepan gue ini dan pintu kedua yang mengarah ke ruang tempat istirahat Umi Rahmi dan Buya. Tadi sebelum ke hotel, gue sempat kemari untuk membantu mengangkat barang bawaan Buya. Entah kenapa, pak tua itu senang sekali ketika bertemu dengan gue.

“Assalamualaikum…” Kembali gue memberi salam dan gak ada yang merespon. Gue coba nunggu sebentar, namun tetap aja tidak ada jawaban.

Gue coba mengulangi salam gue, sambil kali ini dengan mencoba nekad buat membuka pintu tenda. Tetap tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara musik mengalun dari dalam, kalau tidak salah dari grup vokal Raihan. Seharusnya kan ada orang di tenda ini?

Akhirnya gue penasaran dan guepun memberanikan diri untuk melangkah ke arah pintu kedua yang terbuka sedikit.

And then……………………

Oh shit!

Gilssssss. Ini, ini… kenapa doa gue malah terkabulkan, woi?

Bagaimana tidak, bro. kini, saat ini, di depan sepasang mata laknat gue. Tersaji pemandangan yang sangat luar biasa, yang seolah menyambut kedatangan gue ke sini. Dan terima kasihlah wahai sang semesta, karena tidak membuat sia–sia perjalanan gue yang di ikuti rasa kentang disetiap langkah gue tadi.

Yap! Dari sini, dengan jelas gue lihat Umi Rahmi baru selesai mandi dan yang bikin gue merasa beruntung banget, karena saat ini, kondisi wanita itu hanya berhandukan ria?

What a supprise, bro.

Wanita yang biasa memakai gamis serta jilbab lebar itu, sekarang hanya ditutupi selembar kain yang menutupi sebagian buah dadanya yang besar dan sampai sebatas dibawah selangkangannya saja.

Gila.

Ini kejutan yang sempurna, khususnya kejutan untuk si komeng brekele yang masih saja terus berdiri tegak dan belum mengeluarkan pejuh kenikmatannya.

Walapun posisi berdiri Umi Rahmi condong agak kebelakang, tapi itu tidak mengurangi keseksiannya.

Kulitnya putih mulus, rambutnya panjang dan hitam, bokongnya menonjol kebelakang dan terlihat sangat semok sekali. Lekuk tubuhnya benar–benar sempurna, walaupun belum telanjang bulat.

Dam. Katanya tadi pengen langsung menerjang?

Wadidawww…. itu suara siapa? Kok di cerita gue, malah muncul om mono seh? Woi. Sekali lagi gue tekankan ye. Ini bukan cerita Putri Asyifa dan Doni Darmawan. Ini cerita gue. Titik!

BERSAMBUNG CHAPTER 11​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *