Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 11​

Oh shit!

Stop… stop. Wahai para penguasa dunia perlendiran, berhentilah memperngaruhi otak nubie gue ini. Gue gak mampu bertahan lama kalo udah kayak gini.

Ini gak bisa diteruskan.

Kalo gue tetap terpaku di sini gegara menyaksikan bagaimana lekuk tubuh semampai si umi yang memukau banget, lama-lama gue gak mampu nahan konak yang berada pada kasta tertinggi perkonakan.

Apalagi emang kondisi gue saat ini lagi kentang, lagi terbakar birahi laknat, pun gegara kelakuan bini gue sendiri tadi yang tak sampai nuntasin peraduan dua kelamin kami di kamar hotel.

So…. gue harus segera kembali ke hotel, sebelum nafsu menguasai tubuh gue, yang alhasil bisa saja gue nekad buat menerobos masuk kedalam sana, lalu memaksa Umi Rahmi untuk melayani birahi gue yang tergantung ini.

Persetan dengan suaminya yang sedang tiduran diranjang, karena kalau gue sudah nafsu, yang gua lihat hanya tubuh montok istrinya itu.

Guepun langsung berbalik, niat udah bulad buat balik hotel, buat melangkah ke arah pintu satu, sebelum gue benar–benar gelap mata.

Tapi…

Wait.

Dam, beneran nih, lo rela kalo membiarkan pemandangan super menggoda kali ini lewat gitu aja?

Ah sial. Sebuah monolog tak beradab malah mengganggu. Malah menyadarkan gue dari apa yang terjadi sekarang ini.

Gue sedikit membenarkan apa yang di katakan oleh si suara hati brekele di dalam sana. Beneran nih, gue mau melewatkan pemandangan yang jarang atau malah tidak akan terulang lagi nantinya?

Apa gue tidak bakalan menyesal kalau sudah sampai di hotel nanti?

Apa gue tidak bisa menahan nafsu gue yang melambung tinggi ini? Atau lebih baik gue salurkan aja, dengan cara coli sembari melihat live show didalam sana?

Tidak!

Ngapain coli hoi. Wong gue punya lubang halal yang bisa gue manfaatin buat ngeluarin si larva putih dari dalam tongkat bertopi baja di bawah sana.

Namun nyatanya….

Sial…. Tangan gue bergerak sendiri buat menyentuh si otong yang berselimutkan celana tanpa dalaman sama sekali. Karena emang niatnya kan, tadi Cuma pen nganterin chargeran, makanya gak usah di pakein daleman juga. Nah karena tanpa daleman itu, sensasinya, sentuhannya terasa banget. Meski masih berupa tangan gue sendiri.

Cuma jangan tanyakan, bagaimana imagi mulai terbentuk sekarang ini. Tangan yang mulai mengusap-usap kemaluan gue di bawah sana, adalah tangan si perempuan yang masih belum menyadari, kalo ada si biang brekele di sini tengah menyaksikan bagaimana tubuhnya itu berlenggak lenggok bak penari di negara prindapan sana. Bodynya gusti, menggoda banget. Sumpah.

Maaf bro meng, maaf. Kali ini gue cekek dulu leher lo, biar lo kagak rewel lagi.

Lalu tanpa pikir panjang lagi, gue ngembaliin posisi badan gue. Tadinya udah membelakangi, karena niatnya udah mau angkat kaki, tapi kini, desakan gelombang keinginan dalam sana, seakan memaksa gue buat kembali meliat apa yang tersajikan di dalam sana.

Sambil mengendap, gue posisikan diri lebih mendekat lagi ke arah pintu kedua yang masih terbuka.

Ahhh….

Di sana. Di dalam kamar, tampak umi Rahmi masih berposisi membelakangi gue, tapi jaraknya kali ini lebih dekat dari pada yang tadi.

Rambutnya yang lurus itu terlihat tergerai basah sepunggung. Karena selama ini selalu memakai jilbab, jadi tak pernah sama sekali gue bayangin kalo rambutnya begitu hitam mengkilau.

Pundaknya putih. Putih yang err! Gue sampai mengejan, saking tak tahannya pengen ngedobrak masuk ke dalam. Apalagi… oh, apalagi tonjolan sepasang payudaranya yang mengintip sedikit, bener-bener tidak kalah putih.

Begitu juga dengan lengan dan pahanya. Dan ya… disanalah terutama sepasang mata tak beradab gue ini terfokus. Lebih tepatnya, di sepasang tungkai paha yang setengahnya, nyaris sampai ke pangkalnya bertutupkan handuk.

Kapan lagi mengintip sebagian paha Rahmi kalau tidak sekarang. Benda itu tampak begitu mulus, juga putih dan licin. Tetesan air yang masih membasahi semakin membuatnya indah.

Andai ada se-ekor lalat sialan yang coba-coba menempel disana, gue jamin dah, akan langsung terpeleset karena saking mulusnya.

“Huh,” Tak sadar, gue mulai kesulitan menelan air liur.

Mana nih betina menggoda masih belum juga membuka handuknya. Makin blingsatanlah si kang pengintip ini, karena ketidaksabaran buat segera melihat bagaimana dan seperti apa bentuk tubuh si umi yang sebenar-benarnya, meski, memang hanya seperti ini saja, imagi gue udah bisa memproses dengan jelas di dalam sana, bagaimana bentuknya, bagaimana indah nan menggairahkannya.

Cuma…. tentu saja, butuh pembuktian juga, bukan?

Dan itulah yang sekarang gue nantikan, bro.

Gue sempat melirik ke posisi ranjang kecil, dimana lakinya sedang tertidur pulas. Tanpa menyadari, kalo ada sepasang mata lagi melecehkan bininya.

Lah, ngapain juga gue bahas si tua beruntung itu. Dah lah, abaikan aja.

Dari posisi gue, kembali gue mengarahkan, memfokuskan pandangan ini ke tujuan yang pasti.

Tak begitu lama, setelah beberes menyeka lengannya, kini Rahmi bukannya langsung berpakaian, ia malah memilih duduk di sebuah kursi kecil, sambil tangannya meraih cermin kecil yang tak jauh dari posisinya berada.

Ah shit! Kalo dia melihat gue dari pantulan cermin itu, bisa breabe urusannya. Tapi, jenak berikutnya gue langsung sadar, kalo sedikit gue geser posisi pasti jangkauan pantulan cermin tidak sampai ke gue.

Jenak kemudian, si Rahmi cantik mengambil hairdryer dan mulai mencolokkannya di colokan listrik.

Rupanya ia tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Dia menghadap ke dinding tenda, bukan ke arah pintu tentunya. Jadi, posisinya masih benar-benar membelakangi gue.

Sumpah bro. emang sih, kalo lagi pengen berbuat hal negatif, ada aja jalan buat menuju ke sana. Buktinya, sekarang, dari posisi gue yang sekarang ini, gue bisa melihat dari pantulan cermin kaca yang ia pegang, bagian depan tubuhnya, juga wajah cantiknya yang jelita. Namun tentu saja, seperti yang gue jelasin sebelumnya, jika ia tidak bisa melihat gue.

Dari tempat gue mengintip, jantung gue mulai berdebar saat mengantisipasi apa yang mungkin terjadi.

Buka…. please umi. Bukalah sedikit handuknya. Gue bener-bener gak sabar pengen lihat bagaimana sih isi dalamnya.

And then!

Yeahhhh! Akhirnya. Penantian gue menemukan hasil.

Karena saat ini, di depan sana, si cantik Rahmi telah selesai mengeringkan rambut, dan menaruh hairdrayernya begitu saja. Selanjutnya, secara perlahan, amat sangat perlahan, bahkan gue yang menyaksikan sampai menahan nafas, si cantik Rahmi mulai membuka simpul handuknya.

Degh!

Ohhhhh my…. Gustiiiiiiiiiiiiii.

Sesuai. Sudah sesuai banget dengan apa yang di gambarkan imagi di dalam sana, di saat kain putih itu dengan cepat melorot, menampakkan tubuh tanpa helai benang si cantik Rahmi yang tengah duduk di kursi kecil.

Bahkan nih ya, gue ngerasain sepasang bola mata tak beradab ini nyaris melompat dari tempatnya begitu melihat bagaimana memukau, menggiurkannya tubuh si umi.

Jangan tanyakan lagi, bagaimana penis gue mengeras maksimal di dalam balik celana yang masih gue usap-usap dari luar. Wahh, sudahlah, tentunya kekerasan, ketegangannya jauh lebih tinggi kastanya dari saat gue menerima service dari Dinda.

Mungkin benar kata orang ya. Rumput tetangga emang jauh, bahkan amat sangat jauh lebih nikmat dari rumput di rumah sendiri.

Emang sih, umi Rahmi posisinya masih duduk membelakangi, lebih sering yang gue saksikan hanya di bagian punggungnya saja daripada bagian depan tubuhnya. Tapi itupun sudah cukup, karena gue masih bisa melihatnya melalui pantulan di kaca cermin.

Wow!

Payudaranya terlihat begitu putih dan montok. Berukuran sangat besar dan sungguh menggiurkan. Lebih dari setangkupan tangan. Tidak nampak turun sama sekali, malah cukup montok menurut gue. Putingnya mungil kemerahan, dengan tonjolan sebesar jari kelingking yang nampak sangat segar. Bulatannya putih sekali, hampir gue bisa melihat urat-urat hijau yang berkeliaran disana.

“Ahh…” Tak tahan akan sensasinya, gue melenguh saat merasakan batang penis gue yang jadi semakin mengeras.

Gue coba untuk sedikit meluruskannya karena terasa ngilu saat terjepit di balik celana.

Sedangkan di dalam sana…

Umi Rahmi masih duduk di tempatnya, masih memegang cermin di tangannya, cermin yang kalo gue taksir mungkin berukuran 30 – 40 centian. Jenak berikutnya, tubuhnya agak condong ke kanan untuk menggapai handuk kecil yang ada di sana.

Kemudian setelah berhasil ia ambil, ia mulai membungkuk untuk mengeringkan tonjolan buah dadanya. Kedua bulatan yang sangat menggiurkan itu ditekan-tekan ringan, membuatnya jadi bergoyang-goyang indah saat ia membungkuk dan kemudian berdiri tegak. Gue masih terus menatap sambil menahan napas, dan tanpa sadar batang gue jadi sasaran remasan tangan kanan gue di bawah sana.

Wait. Berdiri tegak?

Si cantik berdiri tegak?

Belum juga gue bernafas, tiba-tiba….

Sekali lagi tiba-tiba…..

OH SHIT!

Bro….

Woi bro.

Beneran, woi. Umi Rahmi mulai berbalik, Gilaaaaaaaaaa. Dengan gratis gue bener-bener berhasil melihat bagaimana bentuk tubuhnya dengan teramat sempurna pake banget.

Mana, kini, wanita itu mulai berjalan ke arah gue. Tak berkedip, dan nafas tertahan menggantung di udara, gue fokus menatap bagian mungil bergaris vertikal yang sedikit berbulu di antara kakinya, sekaligus juga terpaku pada payudara cantik telanjangnya itu.

Rupanya, ia ingin menaruh handuk ke cantelan baju dan kemudian berbalik untuk kembali ke ke kursi yang tadi. Gils… pantatnya. Bro. seksi banget anjir.

Mana pantat indah nan seksinya itu, seakan menggoda gue, karena pantat itu tengah menggeliat indah saat dia berjalan.

Berbaliklah wahai cantikku…. biarkan pejantanmu ini masih ingin melihat bagaimana memukaunya bentuk memekmu lagi.

Secara tak sadar, perlahan celana di bawah sana mulai gue pelorotkan. Tangan kanan gue, mulai mengocok si komeng secara perlahan.

Ayolah….

Berbaliklah wahai cantiku.

Namun Rahmi tidak mengabulkan. Ia terus berjalan dan baru berhenti ketika tiba di depan lemari kecil. Diambilnya sesuatu dari dalam sana. Dari sini, bisa gue lihat kalau itu adalah sebuah celana dalam hitam tipis yang bagian tepinya berenda rumit.

Gue perhatikan saat ia mulai membungkuk untuk memakainya. Dari belakang, gue bisa melihat belahan mungil diantara kedua kakinya, juga bulatan bokongnya yang semakin nampak mulus dan indah. Payudaranya yang menggantung ke depan ingin rasanya gue tangkup dengan dua tangan, takut apabila mereka sampai jatuh ke lantai.

Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Jadi sambil membayangkannya, gue mulai mengocok si komeng semakin keras.

Rahmi sekarang mengambil bra dan menaruh di sekitar pinggangnya, lalu mengait dan mengencangkannya sebelum diputar untuk digunakan menangkup kedua tonjolan buah dadanya. Ia memasukkan dua bulatan yang sepertinya sangat empuk itu satu persatu ke dalam sana. Payudara itu bergoyang-goyang indah, seakan melambai ke arah gue untuk yang terakhir kali sebelum hilang ke balik beha.

Bye… bye pejantan. Sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Gilsss. Imagi gue seakan-akan menggambarkan kalo si kembar menggelantung itu, malah bersuara menyapa gue.

Ah, gue jadi semakin sulit untuk bernapas.

Kocokan gue semakin keras dan tanpa sadar rasa nikmat itu tiba-tiba datang. Saat gue masih bingung ingin menembak dimana……..

Ahhh sial.

Gagal ngecrot. Karena tiba–tiba saja, Umi Rahmi melihat ke arah pintu kedua yang terbuka sedikit ini dan kocokan gue mendadak berhenti. Apa si cantik baru saja menyadari keberadaan gue di sini?

Gue kaget… yes of course.

Makanya, gue tidak sempat memikirkannya lebih jauh karena gue lihat Rahmi mulai berjalan meninggalkan kamar, pun setelah sesaat sebelumnya, ia berpakaian lengkap. Baju panjang dan jilbab putih lebar membingkai tubuhnya yang sedari tadi menjadi santapan mata gue yang laknat ini.

Duh. Bahaya ini, bahaya.

Gue harus segera meninggalkan tempat ini sebelum dia semakin mendekat dari posisi gue ngintip. Apalagi kalo ia sampai berhasil melihat gue sedang memainkan penis. Urusannya pasti bisa panjang dan pasti merembet kemana–mana.

Langkahnya semakin dekat.

Tanpa pikir panjang, gue langsung memasukan penis gue yang masih tegang kedalam celana, lalu gue berbalik badan, sesegera mungkin keluar dari pintu satu secepatnya.

Argghhh.

Lagi dan lagi, puncak kenikmatan yang sudah didepan mata, harus hancur seketika dan actor utama perusak semua ini tidak lain adalah Umi Rahmi.

Gue harus segera sampai hotel. Gue gak mau, untuk kali ini gagal ngecroot. Emang gue akuin, semesta memang mempermudah keinginan gue buat menyaksikan bagaimana keindahan tubuh si cantik yang selama ini tertutupi.

Tapi, hanya sekedar sampai situ saja. Karena untuk melangkah lebih jauh, sepertinya semesta masih belum merestui. Hahay!

Ininya sekarang….

Gue harus, dan wajib mengeluarkan sperma di dalam sana, bagaimanapun caranya.

Gue sudah tidak perduli dengan Umi yang mengetahui atau tidak dengan kedatangan gue tadi, karena fokus gue sekarang hanya untuk mengeluarkan cairan kenikmatan ini.

Apalagi gue sudah terombang–ambing dilautan kenikmatan, tapi sampai detik ini masih belum sampai pada dermaga yang bisa menampung gairah gue yang sangat membara.

Dinda….

I’m Cooming, sayang.

Hahaha, gue setengah gila, setengah sadar dan otak di tempurung kepala gue benar–benar terganggu.


Singkat cerita….

Kini.

Saat ini, gue udah di hotel. Sudah berdiri didepan ranjang. Bersiap-siap mulai memerangi kemaluan Dinda yang masih menggoda, meski kadarnya tak sebesar godaan kemaluan si cantik Rahmi. Tapi, ini saja sudah syukur bangetlah.

Setidaknya, gue bisa croot di dalemnya.

“Kita tuntaskan sekarang juga.” Gue menatap Dinda yang sedang tiduran dengan tubuh yang ditutupi selimut.

Tatapan gue tajam, seperti srigala yang kelaparan dan santapannya kali ini sudah dihidangkan diatas permukaan ranjang.

“Siapa takut” Dinda membuka selimutnya dan terlihat tubuh mulusnya yang masih dalam kondisi telanjang bulat.

Komeng berdiri dengan tegak, setegak–tegaknya dan keras, sekeras–kerasnya.

Gak boleh lagi ada yang ganggu setelah ini. Gue bergumam sambil melepaskan kaos yang gue kenakan, lalu gue mulai naikl ke atas ranjang.

“Ayo sayang.” Dinda mengerlingkan mata kirinya dan kedua pahanya membuka, lalu menutup.

Lalu di saat gue udah berposisi pas di tengah-tengah kedua tungkai kaki Dinda yang mengangkang lebar…

Kring, kring, kring.

Ah sial. Again?

Suara Hp Dinda diatas meja kecil sebelah ranjang kembali berdering dan Dinda langsung mengambil Hpnya.

“Assalamualaikum Umi.” Dinda menerima panggilan telpon itu sambil menatap nakal ke arah gue.

Astaga.

Kenapa lagi wanita satu itu menelpon? Kok gak ada puas–puasnya dia menjadi satu-satunya pengganggu persetubuhan gue ma bini sih?

Apasih maunya?

Apa dia mau segera gue eksekusi? Oke, oke. Dengan kejadin–kejadian seharian ini, keyakinan gue untuk menaklukan wanita alim itu semakin kuat dan gue gak akan memberinya ampun, ketika dia sudah berada diselangkangan gue.

“Oh iya Umi. Maaf ya.” Ucap Dinda lalu dia menutup telponnya dan tatapannya berubah menjadi sedikit tajam ke arah gue.

Oit. Ada apa ini?

Kenapa tatapan Dinda seperti jengkel ke gue ya?

Oh gusti. Wait.

Apa Umi Rahmi baru melaporkan, kalau gue sudah mengintipnya dan gue coli sambil menikmati tubuh polosnya tadi? Apa Umi Rahmi beneran melihat gue tadi?

Duh. Gila, bisa cilaka dua belas kalo kek gini ceritanya.

“Kenapa lagi bun.?” Gue bertanya dengan sangat berhati–hati. Serta, tentu saja persiapin diri ini dengan segala resiko yang sebentar lagi akan datang menghampiri.

“Charger nya diantar kemana yah? Umi Rahmi sudah nunggu dari tadi loh.” Dinda bertanya dengan mata yang melotot.

He?

Chargeran?

Gue raba kantong celana depan gue dan gundukan chargeran terasa dibalik celanaku.

Astaga.

Wanjiiiir…..

Gegara nafsu gue yang super kentang dan pertunjukan live show tubuh indah Umi Rahmi tadi, gue lupa tujuan utama gue, untuk mengantarkan Chargeran.

Ahhhhhh. Birahi…. oh birahi.

Eh wait.

Itu artinya? Ahhhhh Alhamdulillahhhhhhhhhhhhh…. ternyata, ketakutan gue tentang si cantik menyadari keberadaan gue yang mengintipnya tadi, tak kejadian. Hohoho!

Dan itu artinya lagi.

Gue harus kembali ke sana, buat nganterin chargeran si Dinda.

BERSAMBUNG CHAPTER 12​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *