Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 12​

Aishhhh….

Again and again. Untuk kesekian kalinya gue harus merasakan kekentangan yang teramat nyiksain konti ini, padahal tadi, sedikit lagi gue berhasil menghujam kembali kemaluan licin penuh nikmat bini gue sendiri, sebelum ada pengganggu yang datang meski hanya sekedar telfon yang masuk pada ponsel Dinda.

Padahal…. Ahhh, masih terngiang di kepala ini, dimana tadi, posisi Dinda yang sebenarnya sudah terlentang, mengangkang dan siap diterjang, akhirnya harus gue tinggal lagi sendirian diranjang.

Kalo bukan karena adanya telfon masuk….

Kalo bukan karena gue juga lupa akan tujuan gue yang sebenarnya tadi, untuk kali pertama ikhlas ninggalin Dinda dengan perasaan super mengentangkan….

Pun, andai saja gue gak dalam penguasaan birahi laknat, dan malah jadi pencuri liveshow dalam kamar di tenda utama tadi, di jamin sejuta persen, gue pasti udah tepar setelah berhasil menguras isi dua bola zakar gue di bawah sana sampai nyaris tak tersisa.

Dan kesemua problem yang terjadi sejak tadi, tak lain dan tak bukan, the one and only. Umi Rahmi….. ohh Rahmi. Kenapa lo malah nyiksa gue kek gini.

Ya memang bukan sepenuhnya dia yang salah, sih. Bukan kawan. Cuma memang biang kerok nya tetap dia sih, karena gara–gara dia-lah, gue harus bolak–balik seperti hakim garis di sebuah lapangan yang luas, membawa bendera berwarna orange dan kuning. Cuma di sini, benderanya di ganti ama chargeran brekele milik bini gue.

Kalau saja tadi, si cantik tidak menyajikan tontonan liveshow secara gratis, serta menambah kadar birahi yang kian membara, gue tentunya gak akan lupa dengan tujuan utama gue, yaitu mengantarkan chargeran.

Tubuh polosnya itu mengalihkan dunia gue. Alhasil, seolah terfokus untuk menikmati pertunjukan yang semakin dan semakin membakar nafsu gue di dalam sana.

Ehh!… baidewei ani baswey, sebenarnya si cantik Rahmi sadar gak sih, kalau tadi sudah gue intip, bahkan udah gue lecehkan meski hanya sekedar dari sepasang mata gue yang laknat ini?

Kalau dia sadar dan dia mengetahuinya, bijimane? Terus kalau dia sudah melaporkan tindakan gue ke Buya, lalu pada akhirnya si Buya menyidang gue, bijimane? Terus kalau sampai Buya woro–woro ke semua anggota majelis, bijimane?

Duhhhhh gustiii….

Gue gak mampu mikirin gimana kalo emang kejadian seperti itu.

Boyok…. bonyok dah lo, Dam.

Kalo boleh ujur nih ya, gue sebenarnya agak berat, bukan agak lagi sih. Emang berat banget buat gue langkahkan sepasang kaki ini menuju ke tenda tempat ‘mereka’ menginap, setelah berjuta–juta pertanyaan yang langsung memberondong di tempurung kepala gue. Kalau seandainya gue punya pilihan, gue akan balik kanan dan menyelesaikan birahi yang berkali–kali tertunda ini.

Eh, iya kalau bisa menyalurkan, kalau Dinda justru marah dan suruh gue kembali, apa pejuh gue gak membatu diperjalanan?

Arrgghh.

Pilihan yang sulit, kawan.

Gue gak bisa berpikir dengan tenang, sebelum kentang ini terlasurkan dengan baik dan benar.

Apa baiknya birahi ini gue salurkan ke Umi Rahmi aja ya?

Bisa…….

Bisa kena kata–kata mutiara yang begitu dahsyat dari Buya, yang pasti masih berada dikamarnya itu. Atau mungkin saja, gue di keroyok massa yang hadir di acara MKTI. Haha!

Cukup bro…. cukup sudah uneg–uneg ini gue keluarin, karena kalau semakin panjang gue bercerita apa yang ada didalam pikiran gue, malasah ini gak akan kelar–kelar. Gue akan lebih lama sampai di tenda dan itu berarti gue lebih lama lagi tersika oleh kantang yang menggantung.

Sebaiknya gue percepat langkah gue untuk sampai ke tenda dan masalah gue yang seandainya ketahuan mengintip oleh Umi Rahmi, ya akan gue pertanggung jawabkan….

Caranya?

Meneketehe tong!

Tapi didalam hati kecil gue yang terdalam, gue sangat berharap Umi Rahmi mengetahui kalau gue tadi mengintip dan dia tidak melaporkannya ke Buya. Gue harap dia diam dan diamnya itu akan masuk dalam rencana gue, untuk menaklukkannya.

Loh, he. Kok makin panjang uneg–unegnya? Kapan sampainya kalau terus–terusan membahas uneg–uneg yang ada dikepala?

Tenang bro, tenang.

Sekarang gue sudah sampai didepan kamar tempat Umi Rahmi menginap kok.

Begitu sampai, tak perlulah kalian tanyakan lagi bagaimana perasaan gue sekarang ini ya. Pokoknya, selain deg-degan, si komeng malah menegang. Anehnya, pencetus tegangannya bukan karena bayangan tubuh telanjang Dinda yang tadi mengangkang di hadapan gue, melainkan…. dah lah, lo orang pasti pada tahu bukan?

Uhhh. Sekali lagi, ingatan itu kembali menyeruak masuk ke otak gue, yang akhirnya mengirim signal ke ujung konti di bawah sana buat melakukan kedutan ringan yang menyiksa tapi sekaligus menggelikkan.

Singkatnya….

Setelah gue mampu menguatkan hati. “ Assalamualaikum.” Gue memberi salam dari depan pintu satu, dengan suara yang agak keras.

“Wa’laikum salam.” Kali ini dengan cepat gue mendapatkan balasan salam dari Rahmi, yang tentu saja masih berada di dalam sana.

Ngemeng–ngemeng, dia lepas baju lagi gak ya? Karena tadi sih gue sempat melihat dia sudah berpakaian lengkap, bergamis putih yang menyelimuti tubuh telanjangnya itu.

Aissssshhhhhh, kok pikiran gue kesitu lagi sih? Bener-bener otak ini udah kegeser, dikit lagi mungkin gue bakal di boyong ke rumah sakit, bukan ‘umum’ tapi khusus orang-orang gila.

Begitu si empunya suara yang membalas salam gue sebelumnya, sudah keluar menghampiri, detik itu juga ada rasa kecewa di dalam sana. Tepok jidat! Hahaha, yahh, gak mungkin juga lah wanita ini keluar hanya berbugil ria. Pastinya umi Rahmi, bukanlah wanita semurah itu, kawan. Karena nyatanya, tampilan dia tak ada bedanya dari kali terakhir gue lihat. Dia sudah memakai gamis lengkap dengan jilbab lebarnya.

“Eh, Dek Adam… maaf loh, udah bikin repot” Ujarnya ramah.

Gue mencoba melempar senyum padanya,.

Si cantik Rahmi membalas. Tersenyum….

Senyumannya itu lho…. uhhhkkk! Bikin gue malah kehilangan kata-kata.

“Dek… dek Adam?” dia memanggil kembali. Mungkin dia menyadari kalo gue baru saja melamun. Atau malah menyadari kemana arah mata nakal gue tertuju sekarang?

Wadidaw. Mata laknat, kenapa lo berdua malah langsung ngeliatin dua bongkahan di bagian dadanya seh? Sue…

“Eh, i-iya. Ini umi…. Dinda nyuruh bawain ini” menahan getar gelisah – baca ; menahan sange, tangan ini gue angsurkan yang sudah memegang chargeran di hadapan Rahmi.

Kembali si mata laknat ini, malah bukan melihat ke wajahnya yang cantiknya masya Allah banget, eh, malah langsung melirik kembali ke bawah. Seakan, mata ini ingin menerawang isi di balik gamis putih yang ia kenakan itu. Hingga jenak berikutnya, dari mata ini, mulai mem-visualisasikan, apa yang terekam tadi, menjadi sebuah footage dimana si cantik malah saat ini, di hadapan gue tengah bertelanjang. Sepasang payudaranya yang teramat sangat menggoda, bikin gue nyaris blingsatan.. hahaha. Dasar sinting!

“Kenapa, Dek?” tanyanya saat melihat gue yang lagi bengong.

Tubuh montokmu menggiurkan banget, umi. Pengen gue jejelin si komeng di dalem rahim milikmu dan dirimu langsung menjerit kenikmatan. ‘Ahhh dek Adam. Otongmu sampai mentok di dalam rahim umi. Uhhh!’

Bangkeeeee…..

Hahahaha…. Untung saja kalimat itu cuma terucap dalam hati, bagaimana kalo gue ucapin langsung tadi? Bisa kena gampar bolak-balik dah.

“Eh, enggak. Nggak pa-pa,” Daripada salah tingkah terus, kelihatannya gue harus segera pamit.

“Nggak pa-pa?” Umi bertanya dengan kedua mata yang membulat sempurna, menambah kecantikan diwajahnya.

Ahhh, cukup-cukup.

“Eh anu Mi, saya pamit dulu ya. Gerah nih, saya belum mandi dari tadi.” Gue-pun berpamitan daripada otak gue semakin menjelajah ke tubuh montok miliknya.

“Oh iya Dek. Sekali lagi terimakasih dan maaf sudah merepotkan.”

“Nyantai aja Mi.” Dan kami pun berpisah.

Setelah ngucapin salam, maka segera saja gue melangkah balik ke hotel.

Saat berjalan ini, memang sih ada beberapa orang yang familiar ma gue. Dan karena familiar itulah, salah satu yang gue kenal, yang juga pernah sempat berinteraksi dengan Dinda saat gue nganterin dia di satu waktu di mabes MKTI. Namanya Leni, dia memanggil bahkan sampai mengajak gue buat ngobrol bentaran.

Wanita yang satu ini sudah tidak menarik, posturnya kecil dan badannya juga kurus sekali. Bukan seleraku. Mana tocil pula. Sorry kawan, gue bukan penggemar tocil. Jadi setelah berbasa-basi sejenak, gue-pun cepat pamit.

BERSAMBUNG CHAPTER 13​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *