Akhirnya….
Sebentar lagi peperangan di ronde kedua, antara gue ma Dinda bakal berlangsung, bro. Bahkan gue yakin akan sangat sengit, sodara-sodara.
Begitu sampai di kamar, walaupun nafsu gue sudah diubun-ubun, Gue pengen berisitirahat sebentar sembari menghisap rokok. Karena kalau dihitung perjalanan gue bolak–balik hotel ke tenda, mungkin gue sudah sampai di Jakarta.
Dua kali hembusan asap ke udara, Dinda yang masih rebahan di ranjang sambil menutup tubuhnya dengan selimut, kelihatannya sih dia masih telanjang bulat dibalik selimut itu – buat mengajak gue mengobrol ringan.
“Ayah. Tadi Umi Rahmi telpon. Beliau ngucapin terimakasih, karena sudah meminjamkan cargeran… beliau juga minta maaf ke Ayah, karena sudah repot-repot mengantarkan kesana.”
“Hem..” Gue malas membahas masalah itu, karena permohonan maaf dan terimakasih Umi Rahmi sudah diucapkannya berkali–kali.
Kalau tadi Umi Rahmi telpon ke Dinda menyampaikan kalau tubuhnya siap gue senggamai, gue jejalin si otong ke rahimnya sebagai pengganti peminjaman chargeran, gue pasti sangat antusias pake bengat buat membahasnya. Hehehe, busyet. Masih aja otak gue kepikiran tubuh Umi Rahmi. Gilssssss cueg!
“Tadi juga umi Rahmi nanyain, kita ngambil hotel dimana…. hehehe, ya udah deh, bunda akhirnya bilang aja kalo kita di Hotel ini, terus ceplos deh bilang kita di kamar 44. Hihihihi” Dinda mulai membuka selimutnya dan bertepatan dengan rokok gue yang sudah sedikit lagi menyentuh filternya.
Dinda mulai mengangkang dan dia membuka tutup pahanya, seperti mengundang untuk segera menyelesaikan birahi yang tertunda.
“Memangnya kenapa Umi Rahmi tanya gitu? Dia mau join?” Tanya gue sembari mematikan rokok diasbak, lalu gue berdiri dan melepas kaos.
“Join apa dulu nih?” Dinda melotot kearah gue.
Duh, salah ngomong ya gue?
“Join dihotel ini juga bun. Umi Rahmi dan Buya buka kamar maksudnya.” Gue pun langsung membuka celana, dari pada ngomong gue tambah ngelantur.
Tuinggg.
Komeng langsung menggeliat dan sudah saatnya pejuhnya keluar, tanpa ada yang menggangu lagi. Siapapun nanti yang akan telpon atau mengetuk pintu, gue gak akan perduli.
“Oh kirain. Hihihi.” Dinda tertawa dengan manjanya.
“Yuk bun.” Gue berdiri didekat ranjang, tangan kanan udah memegang si komeng sembari mengocoknya pelan.
“Loh, Ayah ngocok aja nih?” Dinda menggodaku dengan tatapan nakalnya.
“Enak aja. Ada lubang halal, ngapain ngocok sendiri…. tapi, sebelum ke menu utama…. sepertinya butuh Kocokan dari jemari bini dulu nih buat pemanasan”
“Hihihi.” Dinda langsung bangkit dari tidurnya, lalu dia merangkak kearah gue dengan gerakan yang dibuat binal, dan itu sangat seksi sekali.
“Uhhhh, sini sayang.” Gue yang masih menggengam penis ini, langsung menggerakan kepala bertopi bajanya keatas lalu kebawah.
“Mauuu.” Dinda dengan suara yang manja duduk dipinggir ranjang, lalu menepis tangan gue buat menggantikan dengan tangan kanannya, mengganti tugasnya buat mengocok batang gue yang sudah tegang banget.
“Uhhhhh. Jilbabnya kok ga dilepas yang?” Gue mengelus kepalanya yang masih tertutup jilbab.
“Tadinya mau dilepas, tapi dingin banget. Lagian Ayah suka kan, kalau main, Bunda pakai jilbab.” Tangan kanan Dinda mengocok penis gue, sedangkan tangan kirinya mulai memainkan dua buah zakarnya, sementara bola matanya tertuju ke mata gue.
“Uhhhhh. Iya Bun, Ayah jadi makin sange.” Gue menikmati permainan tangan Dinda dan ini salah satu permaiannya yang buat nafsu gue melambung tinggi.
“Ayah mau gaya apa?” Dinda mendekatkan bibir mungilnya ke helm baja gue, lalu jenak berikutnya, ia mulai menjilat sembari tetap menatap ke mata gue.
Dan.
Happp
Penis gue masuk kedalam mulut mungilnya itu.
“Ahhhh.” Gue mendesah, apalagi bersamaan Dinda mulai memaju mundurkan kepalanya, kedua tangannya itu masih beraktivitas sejak tadi, baik mengocok di batang, atau meremas dua buah zakar gue di bawah batangnya.
“Uhhhh. Bunda makin pintar aja nyenangin Ayah. Ahhhhh.” Gue memuji Dinda dan itu cara terimakasih gue, karena Dinda sudah melayani gue sepenuh hatinya.
“Hmph.. Hmph..” Mulut mungilnya itu bergerak liar dan tatapan matanya juga semakin nakal.
“Ngangkang aja bun. Ayah sudah gak tahan.” Gue pegang pipi Dinda, dengan lembut menengadahkan wajahnya kearah gue, sampai mulutnya terlepas dari penis gue, lalu jenak berikutnya, gue lumat bibirnya.
Slurppp….
“Phaaaaahhhhh!” Dinda kemudian memaksa bibir kami terlepas, untuk sekedar berucap, “Pintunya tadi sudah ditutup rapat belum Yah?”
Ya elah, dia malah menanyakan sesuatu yang tidak penting disaat nafsu sudah menggila.
“Sudah. Sudah Ayah tutup. Ketengah Bun.” Gue meminta Dinda untuk ketengah ranjang, karena kaki gue keram terlalu lama berdiri.
“Beneran Yah? Kok gak kedengaran bunyi klik tadi?” Dinda bertanya, tapi tetap menjalankan intruksi gue, menginginkan ia menggeser tubuhnya ke tengah ranjang.
Errr….
Ada aja hambatannya.
Ini, malah nanyain pintu. Gak penting banget sih. Gak mungkin juga gue gak tutup pintu sebelum memulai peperangan, bukan? Mana ikhlas gue, tubuh telanjang bini gue menjadi santapan mata pria lain di luaran sana. Kecuali gue sih. Gue rela kalo si komeng di liat ama si umi Rahmi. Hahay.
“Sudah Bun sudah. Ayah sudah sange nih.” Kata gue sembari menyusul Dinda ke tengah ranjang.
Dinda yang sudah terlentang pasrah, mulai gue angkat kakinya biar tertekuk, sambil mengambil posisi di tengah kedua tungkai kakinya itu.
“Iya Yah. Sabar dong. Uhhhhh.” Dinda Mendesah, karena gue menggesekan helm baja gue ke belahan vaginanya.
Gesekan helm baja gue menghasilkan sensasi yang sangat nikmat. Di tandai dengan vaginanya yang merespon, mengeluarkan cairan kewanitaannya yang membuat permukaan bibirnya mulai terasa basah pake banget.
“Ayahhh masukin sekarang…..”
Yah. Gue gak mungkin menundanya lagi.
And then!
Blesss.
“EHEEMMM.” Dinda memejamkan kedua matanya dengan kuat, ketika penis gue mulai menerobos celah vaginanya yang sempit.
“Uhhhh. Perasaan kok makin sempit aja Bun?” Gue terus menekan pinggul, sampai ujung kepala penis gue mentok didalam sana.
“Bukannya punya Ayah yang makin besar ya? Sssttttt, Ahhhhhhh.” Dinda membuka kedua matanya, lalu tubuhnya bergidik, karena merasakan sensasi besarnya kemaluan suaminya ini yang menjelajah ke liang peranakannya.
Seperti biasa, di awal gue membiarkan penis gue buat beradaptasi dengan sempitnya lubang kenikmatan Dinda.
Ahhhh…. nikmatnya.
Apalagi di dalam sana, gue rasain bagaimana remasan hasil dari kedutan dinding kemaluan Dinda, terhadap batang kemaluan gue.
Gue semakin terbakar nafsu, ketika batang kemaluan gue semakin dan semakin diremas-remas didalam sana, bahkan dengan kuat.
Sungguh!
Sensasinya itu membuat gue terasa melayang. Kedutan dinding vagina Dinda bagian ujung dalam, rasanya seperti menyundul–nyundul kepala si komeng dengan manjanya.
“Aku goyang ya sayang.” Cetus gue, bersamaan tangan kiri gue mulai bekerja. Mengerjai payudaranya bergantian, sedangkan jempol tangan kanan gue, memainkan tepi atas bibir vagina Dinda.
“Uhhhh, iya, yah.” Tubuh Dinda menggelinjang menerima rangsangan kedua tangan gue ini.
Nafsu yang sudah mengusai dikepala ini, tidak membuat gue terburu–buru dalam menyelesaikannya. Harus dikeluarkan, tapi harus sama–sama saling menikmati.
“Ayaaahhhh.” Jerit manja Dinda, ketika gue sudah mulai memompa pinggul meski masih dengan cara pelan.
Penis gue yang keluar masuk didalam kemaluan Dinda terlihat mengkilat, terkena cairan kenikmatan yang merembes dari dalam celah kewanitaannya.
“Nikmat banget sayang…. ah…. sumpah, jepitan memek Bunda emang gak ada obat, emang gak ada duanya. Aha, ah, ah, ah.” Gue sampai maracau keenakan, karena rasa jepitan vagina Dinda ini terasa sampai di buah zakar, yang berbenturan dengan belahan vagina Dinda yang paling bawah.
“Penuh banget punya Bunda Yah, ahh, ahh, ahh, ahh.” Racuan Dinda membuat gue semakin bersemangat menggenjotnya.
Dan….
Pada akhirnya, genjotan dari gue, mulai gue tingkatkan ritmenya.
Apalagi, permainan semakin panas meski suhu pendingin udara di dalam kamar yang telah gue setting di 16 derajat, tak berdampak signifikan terhadap kami berdua.
Peluh di tubuh kami makin membasah, dan itu semakin membuat kami semangat.
Gesekan demi gesekan kemaluan kami yang saling bertemu, disambut desahan yang bersahut–sahutan, semakin membakar pertempuran halal di dalam kamar.
Begitu seterusnya….
Kedua tangan gue sekarang bertumpu diranjang, tepatnya disebelah pinggul Dinda. Goyangan gue juga semakin cepat, di sambut vagina Dinda yang sudah mulai terasa berkedut.
“Ayah, Bunda mau keluar Yah.. Ahhhhh, ahhhh, ahhhh.”
Mendengar gitu. Gue makin bersemangat.
Pompaan penis gue di dalam sana kian meningkat, dalam dan semakin dalam. Atas aksi gue ini, membuat Dinda menggeling keenakan. Dinda terlihat begitu menikmatinya. Begitu amat sangat menyukainya.
“Terus Yah, terus.. Lebih cepat dan dalam.. Ahhhh, ahhhh, ahhh.” Lontaran jeritan penuh kenikmatan dari Dinda semakin menggema seantero ruangan di kamar ini.
“Enak gak bun? Ahhhhh”
“Enak banget yah, enakkk. Ahhhh, ahhh.”
Kepala Dinda mendonga dan kedua tangnnya meremas selimut yang ada dibawahnya.
“Bunda mau sampe yahhh. Ahhhhhh.”
Dinda mengangkat pinggulnya keatas menandai jika ia telah tiba pada titik puncak sebuah persetubuhan. Dinda mencapai titik orgasme, hal itu membuat gue secara spontan langsung menahan di pinggulnya, sembari mempercepat goyangan.
“Gilaaaa, enak banget bun.. Ah, ah, ah.”
“AYAHH, BUNDA PIPIIISSS.” Teriak Dinda lalu diikuti tubuhnya mengejang keatas. Merasakan desakan dari dalam yang gue sadari itu apa, akhirnya gue langsung mencabut kemaluan gue dari dalam vaginanya.
Ploppp….
Yeah!
Bener saja….
Creeeeshhhhhhh…. Creeshhhhhhh!
Orgasme yang begitu hebat kembali melanda Dinda dan itu ditandai dengan cairan yang mengucur deras dari dalam vaginanya.
Woooow…. Bini gue squirt lagiiiii.
Pemandangan yang begitu hebat dan sebagai seorang laki–laki, gue pastinya bangga, karena gue sudah memberikan kenikmatan yang selalu di impikan istri gue.
“Ayahh, uhhhhh. Bunda sudah keluar tiga kali, tapi Ayah belum juga keluar. Ahhhh” Dinda menatap gue dengan mata yang sayu.
Ekspresinya itu. Sulit buat gue gambarin bro. Ekspresi seorang wanita yang sedang menikmati sisa orgasme yang baru saja ia dapatkan.
“Iya Bun. Setelah ini, ayah juga akan keluar. Giliran ayah yang ingin ejakulasi” Gue mengusap perut Dinda yang rata.
“Uhhhhhhh.” Dinda mengedutkan vaginanya dan dia mengeluarkan sisa–sisa kenikmatannya.
“Kalau gitu kita lanjut ya sayang. Biar Ayah keluar juga.” Dinda terus menatap gue dan tatapannya masih sayu.
“Gak ngilu Bun?”
“Engga, Ayo sayang.”
“Oke deh.”
Gue angkat kedua paha Dinda dan gue letakkan dipundak gue.
Dengan posisi ini, sangat jelas bagaimana mengembungnya vagina Dinda, dan semakin jelas buat gue liat dan saksikan saat ini. Menambah kadar membaranya birahi gue buat nganterin gue sampe pada tujuan titik tertinggi persetubuhan, ejakulasi. Baca ; Ngecrootin si komeng.
Blesssss.
Penis gue masuk agak mudah, karena vagina Dinda masih benar–benar sangat basah.
“Ahhhhhh.” Kami mendesah bersamaan, lalu gue mulai menggoyang perlahan, kedepan dan kebelakang, sembari tangan gue meremas buah dadanya yang keras, tampak putingnya yang mengacung keatas, menambah kenikmatan, menstimulasikan otak gue buat memproduksi dengan cepat cairan sperma di dalam sana buat mengantarkannya ke ujung penis gue.
Gue menggoyang dengan cepat..
Dinda menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri, diikuti tubuhnya yang meliuk–liuk dengan indahnya.
“Ahhh.. ahh.. ahhh..” Dinda mendesah, wajahnya memerah terlihat nafsuin banget
Gue terus menggoyang keluar dan masuk vagina Dinda.
Begitu seterusnya…….
“Enakkk yang… gila… Bunda bisa ketagihan kalau gini terus.. Ahh, ahh, ahh” Dinda meracau sembari mengatur nafasnya yang memburu.
Buah dada Dinda yang mengeras dan putingnya yang mengacung, gak gue biarkan menganggur. Gue remas sembari terus menggoyang.
Ahh, gila. Isapan vagina Dinda bener-bener nikmat dan menjepit.
“Ahhh.. ahhh.. ahhh.. ahhh.. enak Yah.. enak banget.. Bunda mau keluar lagi Yah.. Bunda mau keluar… Ahhhh..” Dinda menatap gue sayu dan kelihatannya dia sudah keletihan banget.
“Sabar ya Bun.. Ayah juga mau keluar… ahh.. aah… ahh…”
Begitu hentakan terakhir penis gue di dalamnya, gue merasakan geliat tubuh Dinda yang mencapai lebih dulu orgasmenya, dan sejenak berikutnya, gue pun menyusulnya.
“Ahhhh….”
“Ahhhhhhhhhhhhhhhhh”
Entah berapa kali, penis gue menembakkan sperma di dalam sana, menembak liang kewanitaan Dinda. Intinya, akibat orgasme kami yang nyaris berbarengan ini, membuat kami berdua mengejang bersama-sama.
Dinda menengadahkan kepalanya keatas, tangannya meremas selimut dengan keras. Sedang gue menekan kemaluan gue sampai bener-bener mentok kedalam.
Nikmat sekali ejakulasi didalam vagina Dinda dan nikmatnya terasa sampai ketulang sum-sum.
Setelah semua proses pemerasan usai, gue mulai menurunkan betis Dinda yang ada dipundak gue, lalu gue membelai rambutnya, mencium keningnya. Dinda menatap gue dengan sayu. Terdengar jelas, nafas yang masih memburu.
Gue membiarkan komeng beristirahat sebentar didalam sana dan gue berharap pejuh gue kali ini, bisa menghasilkan keturunan yang sudah kami nantikan.
Singkat cerita lagi…..
Setelah beberapa jenak kami hanya diam seperti ini, akhirnya mulai gue rasakan jepitan didalam vagina Dinda sudah mulai melemah, seiring dengan mengecilnya penis gue.
Setelah bener-bener mengecil, guepun langsung menarik penis gue keluar.
“Bismillah jadi.”
Ploopp.
“Ahhhhh.” Desah Dinda panjang dan kedua kakinya langsung berselonjor diranjang.
Gue merebahkan diri disebelah Dinda, lalu gue kecup keningnya, setelah itu gue menatap matanya.
“Love you Bun.” Gue mengucapkan kata–kata yang keluar dari dalam hati yang terdalam.
“Love you yah.” Dinda merangkak naik kedada gue, lalu menindih tubuh gue.
Segera saja gue memeluknya. Pelukan gue penanda jika betapa gue amat sangat menyayanginya, sembari membelai punggungnya.
“Ayah gak bosan kan sama jepitan Bunda?” Dinda bertanya dengan tatapan mata yang sangat dalam sekali.
Duh, tumben banget Dinda nanya begini? Apa dia curiga, kalau gue akan merencanakan untuk menggilir teman–temannya?
“Enggak lah Bun. Jepitan Bunda itu gak ada duanya. Tumben Bunda tanya begini? Apa Bunda ada niat..” Mulut gue langsung dibekap tangan Dinda.
“Enggak Yah, punya Ayah itu terlalu nikmat dan buat punya Bunda sampai penuh sesak. Bunda aja sampai kewalahan, jadi bagaimana ceritanya Bunda sampai kepikiran yang lain?” Dinda membuka dekapan tangannya dimulut gue, lalu dia mengecup bibir gue pelan.
“Bunda sayang banget sama Ayah.”
“Ayah juga sayang banget sama Bunda.”
Beginilah kami, ketika selesai bersetubuh. Kami tidak langsung pergi dan membersihkan diri masing-masing, tapi kami berbincang sejenak sembari menurunkan birahi yang berapi–api tadi.
Lalu setelah nafas mulai tenang dan birahi juga sudah turun, Dinda menggeser tubuhnya dan gue langsung kekamar mandi. Gue mau membersihkan diri, karena badan gue lengket banget.
Setelah tubuh ini benar–benar bersih, gue keluar kamar mandi.
Loh he?
Kaget gue coeg!
Bagaimana tidak. Emang sih, awalnya pas gue ke kamar mandi gue gak gitu memperhatikan apa-apa yang gue lalui. Kan lagi buru-buru buat bersihkan diri. Tapi pas gue keluar dari kamar mandi ini, gue langsung di kejutkan oleh posisi pintu kamar. Posisinya malah terbuka sedikit, mungkin 20 centian ada kali.
Berarti? Ada tadi ada yang masuk kedalam kamar dan sudah jelas, begitu dia membuka pintu, langsung mendengar bagaimana erangan kami berdua dalam memacu birahi di atas ranjang.
Wahhh, apakah si cantik Rahmi yang datang?
Kenapa gue menyimpukan itu?
Karena mengingat tadi, si Dinda sempat nyinggung kalo dia mengatakan di mana hotel kami, beserta nomer kamarnya. Uhhh, ada yang tegang kembali padahal udah di kokang habis isinya tadi sama si empunya secara halal.
Umi Rahmi……
Kamu kah yang membuka pintu kamar kami?
BERSAMBUNG CHAPTER 14