Skip to content

Ida : Perselingkuhan dengan Partner Kerja yang STW

PART I – PROLOG

Kembali lagi dengan gw Deden dan kisah perselingkuhan gw lainnya. Mohon maaf kalau prolog nya bakal lumayan panjang, sedikit lebih mendalami kisah berbeda yg benar2 real gw alami pada saat itu.

Kali ini dengan cerita yg sedikit berbeda. Kalau sebelumnya cerita gw melibatkan cewe yg seumuran atau sebaya, cerita gw ini justru tentang perselingkuhan gw dengan wanita yg lebih tua atau STW.

Berlatar belakang pertengahan tahun 2017. Gw waktu itu masih berstatus pacar dengan istri gw yg sekarang, dan di kota yg sama dengan tempat tinggal gw di daerah Jakarta gw sedang mengerjakan proyek sampingan bersama teman2 gw. Berawal dari mimpi untuk membangun bisnis bersama, gw dan 3 orang teman gw lainnya sedang berencana membuat sebuah cafe di pusat kota. Kebetulan masing2 kami punya latar belakang spesialis yg berbeda2, ada yg menangani urusan pertanahan, ada yg mengurus perijinan, ada yg mempersiapkan kebutuhan2 operasional, sedangkan gw sendiri ditunjuk untuk mengontrol proses pembangunan tempat nya. Karena memang gw biasa bekerja di bidang pembangunan rumah tinggal, cukup banyak rekanan kontraktor yg bisa gw pilih untuk membantu proyek kami tersebut. Sampai pilihan gw jatuh pada salah satu perusahaan kontraktor yg gw kenal baik, sebut saja nama pimpinan nya yaitu Pak Yuda.

Pak Yuda dan perusahaan nya gw pilih karena memang punya modal kerja yg besar sehingga tidak kesulitan dengan masalah keuangan. Walaupun awalnya gw ragu2 karena dia biasanya mengerjakan proyek2 berskala besar dan cukup sibuk. Tapi saat itu ketika gw coba hubungi lewat telepon dan menceritakan rencana gw, ternyata dia pun ga keberatan dan sangat tertarik untuk membantu. Akhirnya diawali pembicaraan di telepon, kami pun menentukan jadwal bertemu langsung untuk membicarakan detail proyek gw di suatu tempat. Dipilih lah sebuah restoran di pusat kota dekat dengan lokasi proyek gw.

Tepat keesokan hari nya tiba lah hari pertemuan itu. Gw yg memang kejebak macet di jalan akhirnya sedikit terlambat tiba di restoran tersebut. Dengan kondisi restoran yg memang lumayan ramai jam makan siang, gw yg baru masuk pintu restoran awalnya cuma celingak celinguk mencari keberadaan Pak Yuda yg katanya sudah di tempat. Sampai kemudian satu suara memanggil2 nama gw.
“Pak Deden.. Pak Deden.. Halo Pak, di sini di sini”, tampak Pak Yuda ternyata yg berdiri memanggil2 gw dari kursi pojok belakang restoran.
Gw yg baru tersadar pun langsung dengan semangat menghampiri posisi meja Pak Yuda. Di satu meja yg berkapasitas medium itu sudah ada Pak Yuda dan 2 orang lain yg ternyata bagian dari tim nya, seorang pria yg lebih muda dan seorang wanita berusia paruh baya. Sesaat gw kira wanita itu adalah istri Pak Yuda karena tampilan modis nya yg ga keliatan seperti wanita pekerja biasa. Baru lah setelah diperkenalkan ternyata wanita yg dipanggil Bu Ida itu cuma salah satu karyawan Pak Yuda yg ditunjuk sebagai pengawas proyek gw nantinya, dan pria satu nya adalah Pak Wardi selaku mandor atau pelaksana lapangan nya.

Kesan pertama gw terhadap Bu Ida yaitu sama sekali tidak tampak seperti pekerja kontraktor atau konstruksi. Dengan tubuh yg ga terlalu tinggi namun proporsional, dipadu cardigan putih dan celana jeans yg menempel ketat di tubuh nya, serta rambut panjang yg diikat ekor kuda ke atas, hampir seperti kebanyakan ibu2 sosialita seusianya. Wajah nya cukup manis dengan hidung mancung dan dagu runcing nya, dengan make-up yg agak tebal dan perawatan2 yg mungkin dilakukan nya ga cukup menutupi wajah nya yg mulai sedikit keriput dan berminyak itu. Bu Ida pun bukan sosok yg banyak bicara bahkan tersenyum selayaknya pekerja kontraktor pada umum nya, sepanjang diskusi antara gw dan Pak Yuda dia cuma menyimak dengan raut wajah yg datar seolah ga paham inti obrolan nya. Justru Pak Wardi yg lebih aktif bicara dan berbagi pendapat dengan gw dan Pak Yuda saat itu.
“Nah, nanti selanjutnya untuk kebutuhan apapun Pak Deden silahkan sampaikan saja langsung ke Bu Ida. Dia juga akan rutin ke lokasi untuk bantu cek dan laporan ke saya kok”, tutup Pak Yuda setelah hampir 2 jam kami ngobrol.
“Boleh boleh. Tolong dibantu ya Pak Yuda, Bu Ida juga. Saya bisa minta nomer nya juga ya Bu kalau2 kita pas ga jumpa di lokasi”, sahut gw.
“Boleh Pak. Saya WA aja nomer saya ke Bapak ya, kebetulan Pak Yuda juga sudah kasih nomer Bapak ke saya”, jawab Bu Ida singkat dengan logat Jawa nya yg agak medok.
Setelah itupun obrolan kami berlanjut ke hal2 santai lain yg ga lama berakhir dan kami semua pun saling pamit untuk pulang. Sesuai hasil pembicaraan tersebut, ditetapkan lah pertemuan berikutnya akan kami laksanakan di weekend mendatang.

Seperti biasa kalau dapat nomer telepon orang yg baru gw kenal terutama wanita yg agak2 bikin penasaran, sesampainya di rumah gw iseng buka2 WA untuk melihat akun nya Bu Ida dan profile picture yg dia pasang. Sama seperti sosok asli nya, tampak foto standar ala ibu2 biasa yg berpose kaku dengan wajah dingin dan berpakaian kemeja ketat putih. Hmm gw tarik kesimpulan memang seperti itu lah penampilan sehari2 Bu Ida, ga ada yg spesial untuk bikin gw penasaran lebih jauh.
Singkat cerita selang 1 minggu setelah nya proyek gw pun dimulai, Pak Wardi dan banyak tukang nya sudah mulai bekerja bahkan cuma butuh waktu 2 bulan sampai bangunan cafe gw mulai berbentuk, hanya tinggal pekerjaan perapihan dan finishing saja yg mungkin butuh waktu selesai sebulan lagi. Di 2 bulan awal itu Pak Yuda masih rutin memeriksa langsung proyek gw didampingi Bu Ida seperti biasa. Sedikit curiga awalnya jangan2 Bu Ida ini wanita simpanan Pak Yuda saja, namun pikiran itu mulai menghilang setelah Pak Yuda mulai pelan2 jarang keliatan di lokasi proyek. Terlebih setelah gw terima informasi dari Pak Yuda bahwa dia mulai sibuk dengan proyek lain dan selanjutnya benar2 cuma Bu Ida yg akan rutin sendirian memantau proyek gw.

Tiba lah hari dimana akhirnya Bu Ida dan gw janjian untuk ketemu langsung di lokasi proyek tanpa Pak Yuda. Kebetulan hari itu memang hanya sedikit pekerja di lokasi, itu pun cuma tukang saja tanpa Pak Wardi sehingga gw cuma berdua dengan Bu Ida berkeliling keluar masuk di lokasi proyek. Cuaca siang yg panas terik dan kondisi proyek yg belum benar2 nyaman lumayan melelahkan untuk Bu Ida yg seperti nya salah kostum, dengan sepatu heels pendek nya dan baju kemeja pendek serta jeans ketat seperti biasa. Tampak Bu Ida sering kali kesulitan sendiri melangkah menghindari tumpukan material proyek, merapikan bawah baju kemeja nya yg berkali2 terangkat sampai memperlihatkan pinggang mulus nya, sampai mengusap2 bulir2 keringat yg mengucur dari dahi dan sekujur leher nya.
Bukan dengan niat macam2 gw kadang mengulurkan tangan berniat membantu Bu Ida setiap kali kesulitan melangkah. Awalnya tampak Bu Ida ga menggubris dengan tetap berusaha sendiri meski kesulitan, namun lama kelamaan ketika dia semakin lelah dan belum lagi ribet dengan tas tangan yg dia bawa akhirnya Bu Ida pun menyerah. Sesekali setiap gw ulurkan tangan tanpa menolak Bu Ida menyambut dengan menggenggam tangan gw untuk berpegangan. Terlebih ketika coba menapaki tangga menuju lantai atas, sepanjang menaiki tangga sampai ke atas Bu Ida dengan santai memegang tangan gw sambil gw tuntun perlahan, begitu pula ketika kembali turun. Perlahan Bu Ida yg kaku dan ga banyak bicara mulai melunak dan lebih sering tersenyum, meski tetap sibuk mengambil foto proyek dengan kamera hape nya yg dimaksudkan nya untuk laporan ke Pak Yuda. Gw pun lebih banyak hanya menemani berkeliling tanpa banyak komentar soal pekerjaan nya, karena seperti biasa gw ragu Bu Ida cukup paham mengenai hal tersebut. Cukup lah antara gw dan Pak Yuda saja yg nanti diskusi lewat telepon menurut gw.

“Baik Pak Deden. Nanti saya laporan ke Pak Yuda dulu hasil pekerjaan nya sejauh ini seperti apa ya”, ucap Bu Ida yg sudah bersiap2 pulang setelah gw antar menuju mobil nya yg terparkir di halaman proyek.
“Sekalian saya titip dokumen opnam pekerjaan Pak Yuda ini ya Bu. Sudah saya cek dan tandatangani juga”, sahut gw sambil menyerahkan sebuah amplop besar ke Bu Ida.
“Baik Pak. Mmm anu Pak Deden..”, sahut Bu Ida.
“Iya? Kenapa Bu?”, tanya gw penasaran melihat Bu Ida sekilas kebingungan.
“Gini Pak.. Saya dapat mandat dari Pak Yuda, kalau sedang berkunjung ke proyek yaa Pak Deden nya diajak makan gitu kaya biasa”, kata Bu Ida dengan wajah canggung nya. Memang setiap bertemu Pak Yuda di proyek, dia selalu saja mengajak gw makan di luar. Mungkin sebagai bentuk terima kasih atas kepercayaan gw memberinya pekerjaan.
“Hahaha.. Oalah, Pak Yuda selalu repot2 yaa walaupun ga di sini orang nya. Tapi serius ga apa2 Bu ga usah repot2, saya sudah makan kok siang ini”, jawab gw.
“Oh gitu. Yaa ngga apa Pak, makan sore kan belum. Masih jam 4 gini, saya nanti bakal ditanyain Pak Yuda kok udah selesai aja dari proyek”, sahut Bu Ida yg masih berusaha seadanya sambil tersenyum.
“Hahahaha.. Ohh paham paham. Yaudah kalau Bu Ida ga keberatan ayo, mungkin ngopi dimana sambil kita bahas kerjaan saja ya”, sahut gw setuju.
“Ayo boleh Pak. Naik mobil saya saja ya Pak”, tawar Bu Ida untuk menaiki mobil sedan putih nya. Gw yg tadi asal setuju pun ga terpikir soal bakal semobil berdua dengan Bu Ida. Iya juga ya, ngapain juga konvoi naik mobil masing2 kalau cuma berdua gitu, hehehe.
“Oh boleh Bu, bebas naik mobil siapa aja. Tapi saya saja yg nyetir ya”, jawab gw menawarkan diri, risih juga kalau disetirin cewe apalagi cuma berdua gitu di mobil.

Kami pun mulai beranjak dari lokasi proyek dengan gw menyetir mobil Bu Ida.
“Kemana nih Bu?”, tanya gw.
“Eh? Kemana aja bebas Pak. Yaa Pak Deden suka nya makan atau ngopi dimana gitu”, jawab Bu Ida.
“Waduh kemana yaa.. Saya juga jarang milih2 tempat makan sih, apalagi di daerah sini”, lanjut gw yg memang ga ahli kalau disuruh nentuin tempat makan atau hangout, termasuk kalau sama pacar atau teman2 gw.
“Di restoran XYZ tempat biasa nya sama Pak Yuda saja kalau gitu Pak”, usul Bu Ida. Sebenarnya restoran itu lumayan nyaman buat gw, masalah nya untuk berduaan dengan wanita asing di situ justru beresiko. Selain cukup terbuka, daerah situ masih kawasan yg akrab untuk gw bahkan pacar dan orang2 terdekat kami. Daripada dituduh macam2 nantinya mending gw coba cari alternatif lokasi lain yg lebih menjauh.
“Mmm bosen ah Bu di situ. Ya sudah, santai kan waktu nya? Kita coba cari tempat lain yg saya tau saja ya”, usul gw balik sambil ngasal tanpa tujuan, dan perlahan mengarahkan mobil masuk ke jalan tol.
“Iya ngga apa Pak. Santai kok, saya juga sedang ngga ada agenda lain”, jawab Bu Ida setuju.
Setelah masuk tol, perlahan gw setir mobil menyusuri jalan tol Jagorawi menuju ke selatan, sambil masih memutar otak mau mengajak Bu Ida kemana. Gw perhatikan sekilas Bu Ida juga cuek saja sambil sibuk dengan hape nya, ga sedikitpun coba memulai obrolan sampai akhirnya gw buka suara.
“Jadi.. Bu Ida sudah berapa lama kerja dengan Pak Yuda?”, tanya gw mencairkan suasana.
“Eh? Baru sih Pak, baru di proyek ini malah”, jawab Bu Ida.
“Loh saya kira sudah lama. Abis Pak Yuda langsung percayakan proyek saya ke Bu Ida gitu”, lanjut gw.
“Yaa Pak Yuda itu kenalan lama saya. Pas saya tawarin diri buat join di bisnis kontraktor nya beliau, diajak lah saya buat coba ikut bantu2 kaya gini”, jelas Bu Ida.
“Hehe maaf kalau saya kurang aktif ya Pak, memang bukan orang lama di bidang ini”, lanjut Bu Ida lagi.
“Iya iya paham Bu. Saya juga udah ngerasa aneh kok. Biasa nya orang proyek tuh cerewet2, banyak debat nya, jago lobi nya gitu”, kata gw yg kemudian disambut tawa Bu Ida. Baru kali itu gw lihat dia tertawa walaupun sambil coba menutupi mulut dengan tangan nya.
“Saya juga aslinya cerewet kok Pak, cuma karena ga paham aja jadinya lebih banyak diem”, sahut Bu Ida.
“Hahaha. Untung di saya ya, coba kalau Bu Ida bawel mungkin justru saya yg banyak diam”, lanjut gw.
“Loh kok gitu? Kaya nya Pak Deden justru seneng debat2an apalagi kalau sedang sama Pak Yuda”, tanya Bu Ida.
“Yaa karena lawan nya cewe sih apalagi ibu2 kaya Bu Ida. Ampun ga kuat saya, kalo cewe kan lebih jago adu2an bawel nya”, jawab gw sambil bercanda.
“Hahaha. Udah pengalaman ya Pak kalau sama yg di rumah”, balas Bu Ida bercanda.
“Sama yg di rumah?”, tanya ku heran.
“Eh? Iya, maksud nya sama istri gitu. Sudah menikah kan Pak?”, tanya Bu Ida balik.
“Ohh. Hahaha, belum Bu. Saya masih lajang, masih sendirian kalau di rumah”, jawab gw tegas sambil tertawa.
“Ah serius? Orang udah mapan dan sukses kaya Pak Deden begini masa belum merid”, sahut Bu Ida.
“Amiin Amiin buat sukses nya, hahaha. Tapi serius belum nikah saya Bu. Belum sepengalaman Bu Ida lah kalau urusan rumah tangga”, jawab gw lagi.
“Halah pengalaman apaan”, sahut Bu Ida singkat yg bikin gw penasaran.
Merasa obrolan sudah lebih akrab, gw pun ga ragu buat nanya hal2 personal lebih jauh ke Bu Ida. Ternyata Bu Ida adalah seorang janda beranak 2 yang sudah setahun cerai dengan mantan suami nya. Anak2 nya pun sudah berusia remaja sehingga perkiraan gw Bu Ida ini sudah berusia sekitar 45 tahun. Tapi kehidupan menjanda tanpa suami ga bikin Bu Ida kesulitan, justru kehidupan nya sangat berkecukupan karena dasarnya Bu Ida adalah orang yg gemar berbisnis di berbagai bidang bersama teman2 nya. Cukup terjawab lah modal penampilan modis nya selama ini bersumber dari mana.

Tanpa terasa perjalanan kami di jalan tol pun berujung di salah satu gerbang exit daerah Sentul. Gw mutusin untuk keluar tol dan mencari sembarang cafe saja sebelum hari semakin gelap, karena jam pun sudah menunjukkan pukul 5 sore lewat. Sampai lah kami di sebuah cafe yg tampak cukup bersih di deretan sebuah ruko setelah gw asal pilih. Bu Ida pun sama sekali ga keberatan dengan tempat yg gw pilih. Kami pun lalu masuk ke cafe tersebut dan memilih duduk di lantai atas yg memiliki balkon. Suasana cafe tersebut memang ga ramai, bahkan hampir ga ada pengunjung nya kecuali beberapa meja yg terisi seadanya. Terlebih di lantai atas yg benar2 kosong, yg ga sengaja gw pilih cuma karena perlu tempat yg bisa merokok. Setelah duduk di meja pilihan kami dan memesan sekedar minuman saja, kami pun lanjut ngobrol santai satu sama lain.

“Pak Deden serius ga pernah ke sini? Bisa aja nemu tempat sepi gini, sering yaa buat mojok2an”, sindir Bu Ida ke gw.
“Eh? Hahaha ga lah Bu. Serius saya juga asal nentuin tempat ini daripada kemaleman”, jawab gw.
“Lagian ngapain juga saya culik Ibu jauh2 ke tempat sepi begini. Hahaha”, lanjut gw lagi bercanda.
“Ya ga apa Pak kalau kemaleman juga, saya santai kok. Udah biasa pulang malam”, sahut Bu Ida.
“Eh iya. Ngomong2 Bu Ida tinggal di daerah mana?”, tanya gw.
“Saya malah deket loh dari sini. Tuh di daerah Kota D situ, cuma setengah jam paling”, jawab Bu Ida.
“Ohh bagus dong. Bisa sekalian langsung pulang habis dari sini ya”, sahut gw asal tanpa mikir gimana gw pulang nya nanti, hehehe.
“Yaa ngga lah Pak. Tetep kan nanti saya anter Pak Deden ke proyek dulu”, kata Bu Ida.
“Eh jangan Bu, bolak balik malahan. Udah ga apa saya bisa naik angkutan online atau taksi aja nanti. Mumpung Bu Ida udah deket rumah gini, bentar lagi juga udah malam”, tolak gw serius ga mau merepotkan Bu Ida. Disambut tawaran Bu Ida yg masih bersikeras mau mengantarkan gw pulang dulu dan tetap gw tolak karena kasihan.
“Ya sudah gini aja. Pak Deden nanti antar saya pulang saja, terus lanjut pulang bawa mobil saya. Ga apa2 kok, saya besok bisa susul ke proyek bareng orang kantor saja sekalian bawa pulang mobil”, usul Bu Ida lagi.
Gw yg lama2 ga enak sendiri menolak terus akhirnya mengiyakan usul Bu Ida tersebut. Merasa Bu Ida juga bebas pulang lebih malam, ga terasa momen nongkrong kami berlangsung hampir 2 jam lebih sampai hari mulai malam. Itu pun gw sudahi karena pasti bakal ditanyain sama pacar gw kalau pulang kemalaman, hehehe.

Gw dan Bu Ida lalu melanjutkan perjalanan mengantar dia pulang. Dalam mobil berhawa dingin dan remang2 jalanan yg cuma diterangi lampu jalan, tampak raut Bu Ida memang sudah cukup letih dengan wajah sayu nya. Sesekali gw perhatikan seksama, muncul juga perasaan berdebar2 berduaan dengan Bu Ida di malam gelap begini. Belum lagi perhatian gw mulai mencari2 spot yg menggoda dari tubuh Bu Ida, seperti daerah dada nya yg terlihat dari kerah kemeja nya yg terbuka, BH yg ga jelas warna nya namun mengintip dari celah2 kancing kemeja nya, sampai lekukan paha dan bokong nya yg menjiplak di celana jeans ketat nya. Gw yg cukup gelisah dan serba salah mulai ga banyak berkata2 dan fokus menyetir saja, sesekali hanya suara Bu Ida yg terdengar mengarahkan jalan. Beberapa kali gw coba menyetir sambil berkirim pesan dengan pacar gw, itu pun cuma menjawab seadanya saking pikiran gw sedang terlena dengan Bu Ida. Sampai akhirnya kami pun tiba di depan satu rumah yg cukup mewah di dalam sebuah komplek perumahan ternama. Waktu itu jam pun sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam.

(BERSAMBUNG KE : PART II)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *