Skip to content

LELAKI DI BUS MALAM YANG DUDUK DI SEBELAHKU PART 96

Jemarinya menyibak rambut hitam lurusnya yang dibiarkan tergerai melewati pundak. Kontras dengan kulit wajahnya yang putih berpulas bedak putih tipis dan bibir berlipstik merah. Di bawah cahaya yang remang, aku menaksir usianya sekitar 30 tahun. Tapi bisa juga 25 atau 35 tahun. Penaksiranku memang selalu payah.

Entah apakah hanya perasaanku, entah memang kenyataannya seperti itu, para penumpang laki-laki serentak bergerak menggeser di kursi mereka untuk memberikan ruang dengan harapan perempuan itu akan duduk di sebelah mereka. Jika memang demikian, pastilah sebagian besar penumpang lelaki itu kecewa karena dari deretan depan perempuan itu terus melangkah, melewati satu demi satu kursi yang kosong, agak pelan di dekat kursiku, terus melangkah, hingga kemudian tidak terdengar lagi langkahnya karena pasti sudah menemukan tempat duduk yang dianggapnya nyaman. Entah siapa lelaki yang beruntung duduk bersebelahan dengan perempuan itu.

Kutarik napas dalam-dalam. Kali ini bukan karena lega, melainkan untuk meredam rasa kecewa. Ah, aku sama saja dengan mereka, berharap perempuan itu duduk di sebelahku, lalu kecewa karena perempuan itu terus berjalan ke arah belakang. Padahal, andaipun perempuan itu duduk di sebelahku, aku tidak yakin akan dapat mengajaknya ngobrol, apalagi sampai meminta nomor teleponnya, lalu melanjutkan hubungan lebih intim, seperti yang sering kudengar dari pengalaman romantis orang-orang.

Aku bukan orang yang mudah bergaul. Tiap berhadapan dengan perempuan, meskipun tujuanku sekadar berbasa-basi mengobrol buat mengisi waktu sebelum diserang kantuk, aku selalu lebih dulu digempur rasa takut. Takut apa saja: perempuan itu tidak suka, menjawab sekadarnya sambil menjebikan bibir, atau malah tidak mau menjawab sama sekali.

Namun alasan yang lebih utama, aku tidak pernah mengharapkan pengalaman romantis seperti itu. Tujuanku naik bus ini adalah…. Ah, ke mana sebenarnya aku hendak pergi?

Setelah sekitar melaju satu jam di dalam kota, bus hampir penuh. Setidaknya aku menduga hampir penuh dan hanya tinggal satu kursi kosong: kursi di sebelahku.

Dan ketika bus berhenti untuk menaikkan penumpang lagi, lelaki di jok sebelah itu berdiri, lalu mengisi tempat duduk kosong di sebelahku.

Siapa sebenarnya dia?

Dia duduk menyandarkan tubuhnya seraya menarik napas panjang. Tapi wajahnya tetap mengarah ke depan.

Tanpa kukehendaki, aku juga menarik napas panjang. Entah untuk apa.

Bus mulai melaju di atas kecepatan sedang. Tampaknya sopir belum bisa menekan gas maksimal karena di depan masih berderet kendaraan, yang didominasi barisan truk sarat muatan. Lagi pula, jalan yang berkelok-kelok dan menanjak membuat sopir mengalami kesulitan untuk menyalip mobil di depannya.

Setelah memasuki jalan lurus dan lebar, sopir seperti leluasa memainkan setir dan gasnya. Bus meluncur di jalan yang mulus, nyaris tanpa suara. Sebagian besar penumpang tampaknya sudah terlelap.

Lelaki di sebelahku berkali-kali menoleh dan memandangku. Atau aku merasa bahwa ia berkali-kali menoleh dan memandangku.

“Mau ke mana?”

Aku menoleh. Benarkah dia yang bertanya? Suaranya pelan dan rasanya aku mengenal suaranya. Tapi aku tetap tidak bisa melihat wajahnya. Kerudung jaketnya benar-benar memberikan bayangan gelap yang menutupi wajahnya. Apalagi setelah kemudian ia memalingkan lagi wajahnya ke depan.

“Saya tidak tahu mau ke mana.”

Lelaki itu menoleh lagi. Mungkin ia terkejut mendengar jawabanku.

“Semua penumpang pasti punya tujuan hendak pergi ke mana.” Suaranya tetap pelan dan aku mencoba mengenali suaranya yang rasanya tidak asing lagi bagiku. “Semua orang pasti punya tujuan dalam hidup.”

Aku tidak menyahut. Pasti sulit untuk menjelaskan kepada siapa pun bahwa aku sekadar naik bus, melakukan perjalanan malam, berharap bahwa di tengah jalan aku menemukan arah dan tujuan hendak ke mana.

Tiba-tiba aku terkejut dan berdebar-debar. Rasanya aku bisa memastikan suara siapa yang keluar dari bibir lelaki itu. Tapi bagaimana mungkin?

Aku menoleh hendak bertanya. Namun lelaki itu tampaknya sudah terlelap. Kepalanya menyandar ke sandaran kursi. Dengkur halusnya terdengar teratur.

Bus tetap melaju dengan kecepatan konstan, tetap nyaris tanpa suara. Kalau saja aku tidak memandang keluar melalui kaca, aku akan menyangka bus diam di tempat.

Setelah perjalanan sekitar lima jam, bus memasuki sebuah kota kecil dan melambatkan lajunya. Lelaki itu berdiri, mematung sejenak, menoleh kepadaku. Atau setidaknya aku merasa bahwa ia menoleh ke arahku seraya mengambil tas di rak bagasi.

“Ayo, turun di sini. Kita punya tujuan yang sama.”

Makin jelas itu suara siapa.

“Aku tidak mengenali tempat ini.”

“Ini kampung halamanmu. Kampung halaman kita. Kita sama-sama lahir di sini.”

Ya, suara lelaki itu mirip sekali dengan suaraku.

“Kita?”

Bus berhenti menjelang lampu merah perempatan.

lanjut part 97

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *