CHAPTER 15
Aku menggeliat bangun dengan badan yang sangat lelah. Cahaya matahari terasa begitu terik ketika masuk melewati jendela yang bagian tirainya terbuka. Aku menatap sekelilingku. Rupanya aku telah kembali ke villa kami.
Aku melirik ke bawah. Rupanya bajuku telah berganti dengan piyama berlengan panjang yang biasa kukenakan. Tubuh bagian bawahku juga ditutupi dengan selimut lebar yang terasa amat nyaman.
“Oh syukur deh kamu gak mati, Fah.”ujar sebuah suara yang menjerit bahagia.
Aku melirik ke arah pintu tepatnya pada Kak Azizah yang langsung melangkah menghampiriku dna memelkku erat.
“Aduh kak lepas. Sakit nih.”keluhku jengkel.
“Hehehehe. Maaf. Habis kamu pingsang lama banget sih.”
“Ini sudah jam berapa kak?”
“Sudah jam 7.”
“Hah!”Aku berseru tak percaya.”Lama banget dong aku pingsan.”
“Iya nih. Kakak sampai ingin bawa kamu ke rumah sakit. Tapi tadi kakak panggil dokter dan dokternya bilang kamu istirahat saja.”
“Oh iya. Kok aku bisa sampai di sini sih. Bukannya aku ke mall ya.”
“Iya. Peter langsung bawa kamu ke sini.”
“Terus bajuku?”Aku langsung teringat sesuatu. Apa Peter membawaku dengan kondisi telanjang.
“Ya gak mungkinla kamu dibawa sambil telanjang.”ujar Kak Azizah seakan bisa membaca pikiranku.”Peter pakaiin kamu bajumu.”
“Mmmpppphhh…gitu ya.”
“Sudah. Gak usah banyak mikir dulu. Sini makan.”
Kak Azizah menunjuk meja kecil di sampingku yang rupanya sudah terhidang semangkuk bubur dengan teh.
“Ok kak.”
Aku pun dengan cepat langsung menghabiskan semangkuk bubur itu dan teh di dalam gelas. Kak Azizah dengan setia duduk menungguiku.
“Kamu tadi main sexnya memang sekeras apa sih?”tanya Azizah begitu aku meminum tegukan terakhir tehku.
“Errhhhh…”Aku langsung tersedak mendengar pertanyan Kak Azizah.
“Aduh. Jangan begitu napa.”Kak Azizah segera bergegeas mengelap cecran teh yang tertumpah dari mulutku dengan tisu.
“Lagian sih kakak kenapa coba malah tanya begitu.”
“Ya kan kakak juga penasaran.”Kak Azizah menyengir lebar tanpa ada rasa bersalah.”Jadi kamu main sama Peter.”
“Iya.”jawabku masih sedikit kesal.
“Main di karaoke?”
“Kok kakak tahu?”Aku balas bertanya.
“Nebak saja. Soalnya biasa orang main ke sini.”
“Ihhhh…jangan-jangan kakak pernah ya.”kataku menggoda.
Kak Azizah hanya tersenyum mendengarnya.”Jadi, bagaimana si Peter. Kontolnya enak gak.”
“Enak banget kak.”jawabku yang justru bersamangat seakan aktifitas yang kulakukan kemarin adalah aktifitas normal yang menyenangkan.
“Kontolnya gede?”
“Banget kak. Berurat begitu. Bayanginnya saja sudah bikin aku basah.”
“Terus. Terus. Kalian apa saja di mall?”
“Emmm…Aku sempat ngemut kontolnya di jalan sih. Terus Peter beliin baju seksi begitu kak. Kayak rok mini. Emmm seneng banget aku.”
“Yeeee. Dulu kamu kakak kasih baju begitu malah gak mau.”
“Hehehehe. Kan yang ngasih cowok ganteng.
“Giliran sama cowok langsung nakal ya.”Kak Azizah menggelengkan kepalanya. Nampak tak menyangka melihat perubahanku yang drastis.”Terus kalian apa saja.”
“Banyak kak. Ngemut kontol, terus sex biasa, pantatku juga ditusuk loh sama kontolnya Peter. Malah Peter ngajak cleaning servis masuk.”
“Serius?”
“Iya kak. Langsung kupake saja kontolnya. Lagian si Peter malah cabut kontolnya lagi pas lagi sange-sangenya.”
“Kamu ini. Kok sekarang sudah berani ngomong kotor sih.”
“Ihhh kenapa sih kak. Ngomong halus salah. Kotor salah. Maunya kakak apa sih.”
“Iya iya. Kakak minta maaf.”Kak Azizah menjulurkan tangannya dan menepuk-nepuk kepalaku.”Ini baru adik kakak. Ngomongnya harus jorok.”
“Hehehehe. Lagian males aku kalau begitu-begitu saja. Ternyata seru juga ya ngomong jorok.”
“Ya sudah deh. Kamu tidur lagi sana. Kakak ada urusan di luar.”
“Ok kak.”kataku menarik kembali selimutku sembari Kak Aziza yang keluar kamar.
Namun baru saja aku hendak tidur, aku melihat hpku berdering nyaring. Cepat-cepat saja kau meraihnya dan melihat nama ab di sana.
Aku langsung mengangkat ponsel tersebut.
“Ass********”ucap suara abi di seberpang telpon sana.
“Waa*******”
“Bagaimana kabarmu fah. Sehat-sehat saja?”
“Emmmhh iya….”kataku berusaha menutupi kebenarannya.
“Suaramu kenapa fah?”tanya Abi langsung yang sepertinya memiliki insting bagu soal keadaanku.”Kamu sakit?”
Aku menghela nafas. Sepertinya percuma berbohong dengan abi.”Iya ini ya. Aku lagi sakit.”
“Hah, kok bisa?”
“Iya. Kayaknya kecapaian sih yah. Apalagi tempatnya panas bi.”
“Aduhhh….terus keadaanmu bagaimana sekarang?”
“Sudah enakan kok bi. Kemarin Kak Azizah sudah panggilin dokter.”
“Ya sudah. Kamu istirahat saja yang banyak. Makan yang bener. Jangan lupa obat dari dokternya diminum.”
“Iya bi.”kataku berusaha menenangkan.
“Oh ya, di sana kamu gak aneh aneh kan?”tanya Abi tiba-tiba.
“Aneh-aneh bagaimana bi?”
“Kamu ini kayak gak tahu lombok saja sih. Itu kalau di pantainya kan banyak yang pakai bikini. Banyak club-club juga di sana. Pokoknya kamu jauh-jauh ya dari sana.”
Aku terdiam sejenak. Apa yang abi khawatirkan sudah kuwujudkan semuanya.
“Alifah? Kamu dengar nak?”
“I..ii..iya bi. Dengar.”jawabku tergagap.
“Pokoknya kamu jaga pergaulan baik-baik ya. Ingat, kamu ini anak solehah. Kalau sampai kamu kebawa nakal di sana, habis ayah. Ingat ya, Alifah. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai kamu kebawa nakal. Sekalian itu juga perhatiin kakakmu. Ayah takut dia makin nakal kalau gak ada dekat ayah.”
“Iya ayah. Alifah paham.”kataku dengan nada yang penuh rasa bersalah.
“Baik kalau begitu. Abi percaya sama kamu. Ingat, jangan nakal ya.”
“Iya abi.”jawabku semakin tertekan dengan kepercayaan yang abi miliki.
“Ya sudah. Kamu baik-baik di sana. As******”
“Wa********”Akhirnya sambungan telpon ditutup.
Aku mengehala nafas panjang. Percakapanku dengan abi benar-benar mendesakku.
Abi adalah sosok yang tegas dan keras. Sebagai orang yang cukup ditokohkan di desa, abi sellau menjaga image yang baik sebagai pengikut ajaran agama yang taat. Bahkan dalam hampir setiap acara keagamaan di desa, abi selalu diundang.
Ketenaran abi tak terlepas dari latar belakangnya. Dia mewarisi darah seorang pendiri pesantren yang cukup tersohor meskipun pada gilirannya abi tidak membuka pesantren dan lebih memilih jalur akademisi hingga kuliah ke luar negeri dan kembali menjadi salahs atu dosen di kampur yang cukup bergengsi.
Karena latar belakangnya yang mentereng membuatnya menaruh harapan besar padaku dan Kak Azizah untuk meneruskan nasib hidupnya. Abi berharap banyak agar aku mengikuti jejaknya menjadi dosen agama yang terpandang.
Karena itulah kami berdua selalu dididik dengan begitu keras. Kami diapksa untuk belajar berbagai pelajaran di bawah pengawasan abi langsung. Dalam bersikap dan pergaulan pun abi menjadi sosok yang sangat mengambil kendali terutama ketika ibu kami telah tiada.
Sebagai seoragn anak, meskipun harus kuakui aku cukup tertekan dengan metode pengajaran yang api terapkan, aku sama sekali tidak maslaah dengan tujuan dari abi. Sudah sejak lama aku mengidolakan sosoknya yang begitu kharismatik dan berharap dapat seperti dirinya kelak di masa depan.
Karena itulah aku tak pernah mengeluh dengan semua tekanan yang abi lakukan. Aku mengingatkan diriku sendiri kalau apa yang abi lakukan tak lebih dari wujud cintanya agar menjadi orang yang baik dan tidak terjerumus dalam pergaulan sesat.
Kini aku merasa menjadi seorang pengkhianat durjana. Tidak Cuma membohongi orang tuaku sendiri aku juga merasa begitu rusak sekarang.
Bagaimana tidak. Aku kini telah kehilnagan keperawananku pada laki-laki yang bahkan baru kutemui beberapa jam. Aku kini telah dengan lancang memamerkan auratku agar bisa dinikmati orang-orang. Bahkan aku juga telah melakukan sex anal yang begitu dilarang oleh ajaran agama.
Entah apa yang terjadi padaku sekarang. Aku benar-benar berubah semenjak aku dipulau ini. Semua hal yang selama belasan tahun kujaga dengan begitu teguh kini tercecr begitu saja. Satu per satu pantangan yang dulu tidak pernah kupikirkan untuk kulanggar kini kuterabas semuanya.
Aku menghela nafas pelan. Sepertinya, aku harus segera mengakhiri semua kekacauan ini. Dimulau dengan berbicara dengan Kak Azizah.
Tapi ketika aku sedang hendak keluar dari kamar, aku bisa mendengar suara Kak Azizah yang nampak kesal berbicara dengan seorang laki-laki. Dengan penuh kecurigaan, aku langsung menempelkan telingaku ke pintu kayu untuk mendnegar apa yang sebenarnya mereka bicarakan.
“Bagaimana ini, Zah. Bos sudah nunggu loh?”tanya sebuah suar ayang samar kukenali sebagai suara milik Alan.
“Sabar dulu lah. Ini baru semingguan.”
“Tapi bos sudah mau hasilnya sekarang.”
“Gak bisa begitu lan. Harus pelan memang.”
“Kalau misalnya telat bagaimana? Pestanya kan seminggu lagi.”
“Tenang saja lah. Dia sudah berubah kok,”ucap Kak Azizah seperti meyakinkan.”Kemarin itu adikku sudah main sama si Peter.”
DEG! Aku langsung terpaku setelah tahu Kak Azizah sedang membicarakanku.
“Tapi kalau sama Peter doang kurang lah,”keluh Alan.
“Tenang saja. Dia bahkan sudah berani main dengan cleaning servis. Paling dikit lagi dia sendiri yang ketagihan dikontolin.”
“Ah, moga saja begitu. Takutnya aku perlu tambah dosis obat perangsangnya.”
“Gak perlu lah. Segini saja sudah binal. Aku takut dia malah makin gila nantinya. Buat sekarang sudah cukuplah.”
Apa. Obat perangsang. Aku semakin mendidih mendnegar percakapan dari Kak Azizah.
“Ya sudah lah Zah. Aku percaya ke kamu bisa buat adikmu binal agar mau kerja sama kita. Cuma pastikan ini berhasil ya. Bos sudah siapin duit banyak ini buat merekrut adikmu sebagai pemuas.”
“Aman Lan. Pasti berhasil kok. Paling ini anaknya butuh tambahan stamina sama biasa dikontolin saja biar kuat melayani kontol-kontol nanti.”
“KAKAK!!!”Aku yang sudah tidak tahan dengan perrcakapan yang Kak Azizah lakukan langsung keluar dari kamar dan melabrak mereka.
Kak Azizah dna Alan yang sedang berdiri berhadap-hadapan langsung menoleh ke arahku dengan ekspresi yang begitu terkejut.
“Alifah? Kapan kamu bangun?”tanya Kak Azizah penuh rasa terkejut seperti maling yang ketahuan saat beraksi.
“Aku yang harusnya tanya kenapa!”bentakku dengan mata melotot marah.”Apa coba maksudnya kakak buat aku binal hah! Apa maksudnya sama obat perangsang itu hah!”
“Alifah, tenang dulu ya. Kakak bisa jelaskan,”pinta Kak Azizah dengan nada membujuk.
“Oh, aku tahu sekarang. Kakak pasti sudah rencanakan semua ini kan! Sama Alan atau mungkin juga Peter supaya bisa bikin aku nakal begini.”
“Alifah!”Kak Azizah mencoba mendekat dan meraih tanganku.
“Gak usah deket-deket!”Aku membentaknya keras seraya mendrongnya menjauh dariku.
“Alifah….”rayu Kak Azizah kembali.
“Aku sudah percaya banget sama kakak! Tapi ternyata kakak Cuma manfaatin aku!”Aku semakin marah.
“Alifah. Tolong tenang dulu.”Alan yang melihat situasinya semakin meamnas mencoba masuk untuk menengahi.
“Gak usah ikut campur kamu!”Aku beralih kepadanya dengan telunjuk teracung membuat Alan langsung bungkam.
Aku membanting pintu kamar dengan suara keras. Sekejap aku sudah memukul dinding kamar dengan marah. Semua sekarang masuk akal. Kenapa semua yang terjadi seakan menjerumuskanku. Rupanya itu semua memang muslihat yang dirancang oleh Kak Azizah.
Aku lantas memeriksa bajuku di dalam tas. Segera kuraih setelan gamis dan jilbab dan kukenakan menggantikan baju tidurku. Setelah itu, aku membuka ponselku dan memesan taxi.
Begitu pintu kubuka kembali, aku melihat Kak Azizah dan Alan yang memandangku dengan pandangan mengiba. Berharap akan maafku. Tapi kesalahan yang sudah mereka lakukan memang terlalu besar untuk bisa kumaafkan.
“Kamu mau kemana?”tanya Kak Azizah terlihat khawatir.
“Aku mau pulang. Sekarang. Aku gak sudi tinggal sama kakak. Biar kulaporin semuanya ke abi.”kataku judes
“Tolong jangan pergi, Alifah,”pinta Kak Azizah seraya menggenggam tanganku.
“Lepas!”bentakku menarik tanganku.
Aku sudah tidak mau berada di tempat itu lagi. Di ponselku, terlihat notifikasi kalau driver yang kupesan sudah mendekat. Aku segera berjalan menjauh. Meninggalkan Kak Azizah dan Alan yang hanya bisa terdiam.
Bersambung …