Skip to content

MENANTU YANG BERUNTUNG​ 

MENANTU YANG BERUNTUNG​ 

#PART 1

Sukardi merasa sebal ketika Imelda, mami mertuanya, membanding-bandingkan dirinya dengan Mas Alex, saudara iparnya. Selera makannya pagi itu langsung menguap entah ke mana. Padahal matahari baru saja bersinar dan roti panggang bikinan Mami mertua adalah yang paling enak se-pinggiran Jaksel.

“Alex kemalin ganti mobil lagi, Kal. Pajelo.” Katanya dengan cara bicaranya yang cadel sambil menyeduh kopi lalu menyodorkannya ke arah Kardi. “Lumahnya juga udah dilenovasi, jadi lebih bagus dan elegan.” Katanya lagi, kali ini sambil menatap Kardi dengan tatapan menuntut, “kamu kapan?”

“Kapan-kapan aja, Mi.” Jawab Kardi tak acuh.

“Kamu kan manajel, Kal. Cali dong uang yang banyak, bial bisa beli mobil sama lenov lumah mami.”

Sukardi ingin menjawab dengan kalimat seenaknya, namun saat itu istrinya, Melanie, masuk ke ruang makan dengan rambut acak-acakan dan daster panjang yang kusut. Melan melangkah dengan kaki seperti diseret. Setelah operasi kiret 3 bulan yang lalu karena bayi di dalam kandungannya meninggal, dia masih merasa sakit dan memeknya tidak bisa dipergunakan untuk diewe. Selama 3 bulan Sukardi menahan migrain yang berdenyut di kepalanya saat kontolnya tegang tapi tak ada liang hangat yang bisa digenjotnya.

“Halo sayang.” Kata Melanie sambil memeluk Sukardi dari belakang dan mencium pipinya, “belum berangkat?”

“Sebentar lagi, yang. Ini masih sarapan.”

“Nanti siang Melan mau ke dokter, periksa.”

“Mudah-mudahan kata dokter boleh dipake lagi.”

“Ayang, kenapa sih pikirannya ke situ mulu.” Kata Melanie sambil menerima sodoran roti panggang yang diberikan Mami. “Bukannya ngedoain cepet sembuh….”

“Ya ngedoain dong, kalau kamu sakit terus, aku juga bisa ikut tertular.”

“Ga mungkin ayang, ini bukan penyakit menular.”

“Menularnya karena aku sedih, beb, jadinya aku ikut sakit.” Sukardi menyesap kopinya lalu berdiri, dia kemudian mencium kening istrinya sambil meremas pantatnya dan mencolek memeknya dari luar daster lalu pamitan pergi.

Imelda melirik apa yang dilakukan Sukardi. Sebuah desiran lembut berkedut di selangkangannya. Rindu akan kehangatan tangan yang nakal menggoda kewanitaannya, mengusik memek Imelda yang mengkerut di balik celana dalamnya. Sudah 5 tahun dia menjanda. Sejak suaminya terkena serangan jantung dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, praktis sejak itu pula memek dan toketnya nganggur. Beberapa kali dalam malam-malamnya yang sepi dan gelisah, dia melakukan colmek di kamarnya. Tapi itu tidak pernah benar-benar bisa memuaskan. Hanya sedikit hiburan untuk sebiji itil yang meronta-ronta minta digesek. Tak pernah lebih dari itu.

Imelda pura-pura tak peduli. Dia memalingkan muka. Namun di sana ada cermin kecil yang menggantung di dinding. Di cermin itu, ada memantul bayangan raut wajah seorang wanita berusia 45 tahun tengah menatapnya. Bermata sipit. Berkulit putih seperti susu dan berbibir tipis dengan hidung yang mungil. Bayangan di cermin itu terlihat sendu.

Imelda segera memalingkan wajahnya dari cermin. Dia melihat Sukardi melangkah dengan kaki-kakinya yang panjang dan kokoh, menuju skuter matiknya yang terparkir di halaman. Menaikinya dan meluncur ke luar pintu gerbang. Menghilang di balik pagar.

Imelda menghela nafas.

“Mami mau pelgi ke toko, mau ikut?”

“Nanti, Mi. Melan mau rebahan dulu… ininya masih sakit. Nanti kalau pulang dari rumah sakit, Melan langsung ke toko.”

“Jangan tellalu sole, soalnya mami mau ke bank bayal-bayal tagihan.”

“I ya, Mi.”

“Kalau ke toko nanti, jangan lupa, kamu halus selesein lapolan balang. Itu keljaan kamu.”

“I ya, Mi. Tenang, kalau melan sudah sembuh, melan akan kerja seperti biasa. Eh, Mi, besok katanya Shela mau ke sini. Dia udah bilang?”

“Udah. Katanya sih mau culhat.”

“Curhat karena kebanyakan duit kali ya, Mi.”

Imelda tersenyum kecil dan mengambil tas tangannya, “mami pelgi dulu ya.” Katanya berpamitan.

***​

Kepala Sukardi berdnyut-denyut lagi. Dia menelpon Melan tapi tidak diangkat. Chat-nya juga tidak dibalas, bahkan dibaca pun tidak. Matanya menangkap sebuah pinggul berlalu di depan meja kerjanya. Pinggul anak magang semeter 7 jurusan akutansi yang membelakanginya dan menjatuhkan ballpoint. Saat menungging untuk memungut ballpoint itu, Sukardi tersentak oleh kontolnya yang berontak. Dia ingin berlari dengan kontol terhunus, mengangkat roknya dan langsung menusuk memeknya. Dia akan mengentotnya secara membabi buta.

“Sial!” pikir Sukardi saat hayalannya berlarian seperti sapi gila. Dia langsung berdiri dan berniat pergi ke toliet untuk mengocok kontol di sana.

“Asal bisa muncrat sudah cukup lumayan untuk mengobati migrain ini.” Pikir Sukardi. Namun bersamaan itu, Richard datang dan menegurnya.

“Dipanggil, Bos.” Katanya.

“Ada apa?”

Bawahannya yang paling senior itu hanya mengangkat bahu dan duduk di mejanya sendiri dekat dinding. Sukardi cepat berbelok ke arah ruang kerja bosnya, Bu Iriani Putri, yang tengah duduk di sofa dengan menumpang kaki. Betisnya yang putih mulus membuat denyutan di kepala Sukardi bertambah kencang.

Bosnya mengatakan sesuatu… bla bla bla… Seperti biasa, dia mengomel panjang lebar karena angka penjualan yang tidak naik-naik. Sukardi hanya mengangguk-angguk karena tak tahan dengan denyutan di kepalanya.

“Pokoknya angka penjualan harus ditingkatkan, apa pun caranya.” Kata Bu Ria dengan nada cemprengnya yang tinggi. Saat itu tak sengaja Sukardi melihat sepasang lutut Bu Ria saling menjauh, mengakibatkan kedua pahanya membuka dan rok span-nya yang pendek menganga. Sebuah pemandangan indah yang berupa segunduk memek tembem di balik celana dalamnya yang mahal, terpampang di depan mata Sukardi.

Sukardi menelan ludah. Kontolnya memberontak dari dalam celananya dan hayalannya yang edan ingin menerjang ke arah bosnya. Merampas celana dalamnya dan melemparnya sembarangan. Lalu mengentotnya secara brutal tanpa henti. Dia akan bertaruh dengan dirinya sendiri, siapa yang lebih dulu mencapai klimaks.

“Kamu paham?” kata Bu Ria dengan nada keras.

“Siap, Bu.” Jawab Sukardi.

“Apalagi yang ditunggu? Sudah sana, kerja lagi.”

Sukardi mengangguk dan pergi meninggalkan ruang kerja bos-nya. Setelah menghilang dari balik pintu, bosnya, segera mengerang sendirian sambil mengusap-usap kelentitnya dari luar celana dalamnya.

Oh tuhan, aku ingin diewe oleh kontol gede anak buahku sendiri…” keluhnya dengan setengah menangis.

***​

Imelda tak mempedulikan wajah Melanie yang kusut saat masuk ke ruang kerja di belakang minimarket yang juga sekaligus sebagai gudang barang. Melani baru pulang dari rumah sakit. Imelda langsung berdiri dan sebelum pergi, sempat mengingatkan Melanie untuk menyelesaikan semua pekerjaannya yang menumpuk.

“Mi, kalau mau pergi ke bank, pakai motor Melan aja. Mobil biar melan yang bawa. Soalnya kata dokter Melan jangan dulu banyak kena angin.”

“I ya.” Jawab Imelda pendek.

Dia pergi ke bank dengan menggunakan motor Melanie dan membayar sedikitnya sepuluh tagihan kepada produsen barang yang berbeda. Setelah selesai, dia pulang. Dia lalu memasak gulai kambing kesukaannya dan juga kesukaan menantunya. Selesai masak, dia membersihkan rumah dan mencuci baju kotor miliknya, milik anaknya dan milik menantunya dengan menggunakan mesin cuci. Saat dia memasukan celana dalam milik menantunya, Imelda tersenyum. Menghirup baunya dan menggosok-gosokannya ke memeknya sampai mengeluarkan lendir kenikmatan walau sedikit. Dia ingat, dia pernah melihat kontol menantunya yang besar dan panjang. Terbayang oleh Imel jika kontol itu menusuk-nusuk memeknya. Dijamin kenyang.

Selesai mencuci, Imelda lalu mengeringkannya dengan mesin pengering khusus yang berbeda. Setelah selesai, dia membawa baju kering yang sudah bersih itu ke tempat setrika di halaman teras belakang yang tertutup benteng setinggi 3 meter. Giliran Melanie nanti yang akan menyetrika. Selintas terpikir oleh Imel untuk mempekerjakan Pembantu Rumah Tangga seperti setahun ke belakang. Tapi mencari pembantu yang rajin dan cekatan serta bisa dipercaya, sanglah sulit. Tiga kali dia memiliki PRT, 3 kali itu pula barang-barang berharga di rumahnya dan sejumlah uang, raib dicuri. Akhirnya Imelda memutuskan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga bersama Melanie dan Kardi, dan telah melakukan pembagian tugas dengan baik.

“Sekalang mandi.” Katanya sambil menuju jemuran untuk mengambil handuk. Tapi handuk pink-nya ternyata tidak terkena panas matahari jadi agak sedikit lembab. “Ah, pinjam dulu punya Melan sebental, dia gakkan tau.”

Saat mandi, dia teringat dengan koleksi majalah porno milik almarhum suaminya yang dia simpan di bagian paling bawah lemari pakaian di kamar Melanie, yang tak diketahui siapa pun selain dirinya. Lemari tua yang besar dipakai oleh Melan karena ada tambahan baju-baju suaminya. Imelda berencana akan memindahkan setumpuk majalah porno dari luar negeri itu ke dalam kamarnya sendiri. Tapi selalu saja lupa dan tak sempat. Untung saja Melani yang mengisi kamar itu sejak menikah dengan Sukardi tidak tahu keberadaan majalah-majalah itu. Imelda berencana akan melihat-lihatnya dan mungkin akan segera memindahkannya nanti setelah mandi.

BERSAMBUNG ….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *