Skip to content

NATHAN

BAB 2​

Nathan berdiri di depan cermin, mengenakan tuxedo sewaan yang terlihat pas di tubuhnya. Ida membantu merapikan dasi dan memastikan setiap lipatan jas terlihat rapi. Tangannya bekerja cekatan, memperhatikan setiap detail agar Nathan tampil sempurna. Setelah selesai, Ida melangkah mundur sejenak, memandangi Nathan dengan tatapan terkesan. Nathan, yang biasanya tampil sederhana, kini terlihat berbeda dengan setelan formal itu. Tubuhnya yang tegap dengan garis bahu yang kuat membuat jas itu melekat elegan, memancarkan kesan magis pada penampilannya. Tanpa berkata apa-apa, Ida mengagumi penampilan Nathan saat ini. Ida memandanginya dengan kagum, hatinya terpesona oleh transformasi Nathan yang begitu memikat, tak mampu mengalihkan pandangannya dari pria yang kini tampak bagaikan malaikat di hadapannya.

“Bagaimana penampilanku?” tanya Nathan tak percaya diri.

Ida memandanginya dari ujung kepala hingga kaki, tersenyum kagum. “Penampilanmu? Oh Nathan, kamu lebih dari sekadar tampan. Kamu terlihat seperti malaikat yang baru saja turun dari langit.”

Nathan tertawa kecil, menggaruk tengkuknya. “Ah, ibu terlalu berlebihan.”

Tiba-tiba Ida mencubit hidung Nathan, “Jangan panggil aku ibu … Sudah kukatakan berkali-kali, jangan panggil aku ibu.”

“Oh … I..iya … Maaf … Ida …” jawab Nathan sambil menahan sakit dihidungnya.

Ida pun melepaskan cubitannya, “Awas kalau diulang!”

“Iya … Aku lupa.” Ucap Nathan yang teringat kalau Ida tidak suka dipanggil dengan sebutan “ibu”. Ida adalah wanita cantik yang memilih melajang seumur hidup.

Ida pun kembali tersenyum lalu berkata, “Lihat dirimu di cermin … Kamu begitu tampan, Nathan. Kalau aku gak malu sama umur, sudah kupacari kamu sekarang juga,” katanya sambil tertawa ringan, namun pandangannya tetap tak lepas dari Nathan.

Nathan terkejut mendengarnya, tapi ikut tersenyum canggung. “Sehebat itu kah?”

Ida mengangguk cepat. “Jauh lebih dari itu. Aku nggak bercanda, Nathan. Kamu benar-benar… perfect malam ini. Dan aku yakin, siapapun yang melihatmu di pesta nanti akan setuju denganku.”

“Makasih …” Lirih Nathan malu-malu.

Nathan pun sebenarnya merasa kagum melihat Ida dengan gaun pesta biru tuanya. Penampilan Ida benar-benar menarik perhatian. Gaun itu membalut tubuhnya dengan anggun, dan rambutnya tertata rapi, menambah kesan elegan. Nathan melihat betapa cantik dan seksi Ida malam itu, dan dia mengagumi sosok Ida yang memancarkan pesona yang luar biasa.

“Bagaimana penampilanku?” tanya Ida sambil memutar sedikit tubuhnya untuk menunjukkan gaun biru tuanya.

Nathan menatap Ida dengan penuh kekaguman. “Kamu terlihat sangat anggun dan seksi.”

“Aih … Makasih sayang,” seru Ida sembari mengusap pipi Nathan dengan gaya kemayu.

Ida dan Nathan melaju menuju rumah Maya dengan mobil Ida. Sepanjang perjalanan, Nathan mengungkapkan rasa tidak percaya dirinya untuk bertemu dengan ibunya setelah bertahun-tahun terpisah. Nathan merasa cemas dan ragu apakah Maya akan menerima kehadirannya dengan baik. Ida berusaha menenangkan Nathan dengan meyakinkannya bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka dan bahwa Maya akan senang melihatnya. Ida berusaha membuat Nathan merasa lebih percaya diri dan siap menghadapi pertemuan tersebut.

“Oh ya … Kamu masih ingat kan dengan rencana kita yang tadi kita bicarakan?” tanya Ida ingin keyakinan.

“Tentu saja,” jawab Nathan pelan.

Ida dan Nathan akhirnya sampai di rumah Maya yang megah, menyerupai istana dengan arsitektur yang indah dan halaman yang luas. Mereka langsung menghampiri tiga orang bodyguard yang berjaga di pintu masuk. Ida menjelaskan rencananya kepada para bodyguard tanpa mengungkapkan identitas Nathan. Para bodyguard setuju mengikuti rencana Ida tanpa banyak bertanya. Setelah Ida memasuki rumah terlebih dahulu, Nathan menunggu di luar. Tiga menit kemudian, Nathan masuk ke dalam rumah dan langsung terpesona melihat banyaknya tamu yang hadir. Ruangan dipenuhi dengan orang-orang yang merayakan ulang tahun Maya, dan suasananya sangat meriah. Nathan terkejut dan terkesima oleh keramaian pesta tersebut.

Nathan memulai aksi dramanya dengan berjalan di area pesta dan mulai membuat kekacauan. Dia dengan sengaja menumpahkan minuman ke lantai, menyentuh makanan dengan kasar, dan membuat keributan dengan berbicara keras dan mengeluh tentang kualitas acara. Keberadaannya yang mencolok menarik perhatian para tamu, yang mulai memperhatikannya. Nathan terus menambah kekacauan dengan membanting beberapa gelas dan mengacaukan dekorasi. Suasana menjadi semakin tegang saat beberapa tamu mulai merasa tidak nyaman. Akhirnya, seorang bodyguard mendekati Nathan, mencoba menenangkan situasi dan mencegahnya dari membuat keributan lebih lanjut. Bodyguard itu sudah diberi arahan sebelumnya dan berusaha mengikuti skrip drama yang telah direncanakan.

“Tuan, Anda harus berhenti membuat kekacauan ini. Jika tidak, terpaksa saya akan membawa Anda keluar.” Kata sang bodyguard.

“Apa yang akan kamu lakukan? Aku tidak akan berhenti sampai aku puas.” Jawab Nathan lantang.

“Saya bertugas untuk menjaga ketertiban di sini. Anda tidak bisa terus seperti ini.”

“Bilan sama bos-mu kalau aku tidak peduli dengan aturan. Aku hanya ingin menunjukkan betapa buruknya acara ini.”

“Ini adalah peringatan terakhir saya. Jika Anda terus bertindak seperti ini, saya akan mengambil tindakan yang lebih tegas.”

“Cobalah kalau kamu berani. Aku sama sekali tidak takut!”

Bodyguard bergerak dengan cepat untuk mencengkram Nathan, berusaha menghentikan aksi kekacauan yang dilakukan Nathan. Namun, Nathan dengan gesit menghindar, bergerak lincah ke samping dan menjauh dari jangkauan bodyguard. Ketika bodyguard mencoba menangkap Nathan lagi, Nathan berbalik dan mendorong tubuh bodyguard dengan kekuatan yang sangat terlihat nyata. Bodyguard mengikuti skrip perkelahian dengan berusaha menahan Nathan dan memperlihatkan gerakan yang tampak meyakinkan, seperti jatuh dan berguling di lantai. Meskipun perkelahian ini adalah bagian dari drama, para pengunjung pesta mulai panik, berlarian menjauh dan berusaha mencari tempat yang aman. Suasana menjadi kacau dan tegang, dengan beberapa tamu mencoba menghubungi keamanan dan petugas lainnya. Akhirnya, Maya datang ke lokasi keributan, terlihat khawatir dan marah.

“Berhenti! Kalian merusak pestaku!” Pekik Maya penuh amarah.

Nathan berhenti dan berbalik menghadap Maya, yang baru saja tiba di lokasi keributan. Mata keduanya saling bertemu dan sesaat saling tatap. Dalam diam, Maya merasakan sesuatu yang abstrak dalam hatinya, perasaan yang terasa jauh namun sekaligus dekat. Ia menelisik wajah Nathan dengan seksama, memperhatikan setiap detail fitur wajahnya. Perlahan, bayangan wajah Ronny, mantan suaminya, muncul dalam ingatannya. Meskipun perasaan itu membangkitkan kenangan lama, Maya masih merasa ragu dan bingung akan apa yang dirasakannya.

“Siapa anda? Saya tidak mengenal anda?” tanya Maya dengan suara gemetar.

“Oh … Kamu tidak mengenaliku? Ya, sekarang aku tahu. Ternyata kamu memang tidak pernah menyayangiku,” ucap Nathan dengan nada arogan.

Setelah mendengar ucapan Nathan, Maya mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Awalnya, ia merasa bingung dengan suara Nathan yang penuh emosi. Namun, dalam detik demi detik yang berlalu, perasaan Maya semakin kuat. Dia merasakan kedekatan batin yang tidak bisa dijelaskan, seolah ada ikatan yang lama terputus tiba-tiba terhubung kembali. Wajah Maya perlahan berubah dari kebingungan menjadi kesedihan. Air mata mulai mengalir di pipinya saat dia menelisik wajah Nathan dengan lebih seksama. Perlahan, Maya merasa seperti ada sesuatu yang membuka kenangan dan emosi lama yang telah lama terkubur. Rasa bersalah dan rindu yang terpendam muncul dengan kuat, membuatnya berdiri terpaku dengan perasaan bahagia, sedih dan penyesalan.

Dengan suara bergetar, Nathan melanjutkan, “Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya dicintai olehmu. Aku hanya tahu dari cerita yang diceritakan oleh ayahku, bagaimana hidupku berubah setelah aku dibawa jauh dari Jakarta. Aku hanya ingin tahu mengapa kamu meninggalkanku dan kenapa kita terpisah begitu lama. Aku selalu merasa kehilangan, dan hari ini aku kembali untuk mencari jawaban dan mungkin mendapatkan penutupan.”

Mendengar kata-kata itu, Maya merasakan sebuah dorongan kuat dalam dirinya. Dia merasakan bahwa pria di depannya adalah anaknya yang hilang. Setiap kata yang diucapkan pemuda yang baru dilihatnya ini seolah mengungkap kembali memori dan perasaan yang telah lama terpendam. Maya merasakan perasaan yang mendalam dan akrab, seolah dia mengenal pemuda tersebut dari waktu yang lalu. Maya akhirnya yakin bahwa pemuda di hadapannya adalah anaknya yang hilang saat dia berusia tujuh bulan.

Maya berdiri diam, tubuhnya terasa lemah mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Nathan. Perasaan rindu dan bersalah yang selama ini ia coba pendam, kini pecah di hadapannya. Tanpa bisa menahan air mata, Maya berjalan mendekati Nathan, matanya tak lepas dari wajah yang kini ia yakini adalah anaknya. Dengan suara yang penuh getaran, Maya akhirnya berkata, “Nathan… maafkan Mama … Mama mencarimu selama ini. Mama tak pernah berhenti memikirkanmu.”

Tangis Maya semakin deras, dan tanpa ragu lagi, ia merentangkan tangannya, menarik Nathan ke dalam pelukan erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Tubuh Nathan kaku sejenak, sebelum akhirnya merespons dengan membalas pelukan ibunya. Dalam keheningan yang penuh emosi, mereka berdiri saling memeluk di tengah keramaian pesta yang kini terdiam, menyaksikan pertemuan yang begitu emosional. Suara isak tangis Maya terdengar jelas di antara pelukan itu, sementara Nathan perlahan merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan.

Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang memecah keheningan, dan ternyata itu berasal dari Ida yang berdiri tidak jauh dari posisi Maya dan Nathan yang sedang berpelukan. Tepuk tangan Ida menarik perhatian semua orang di ruangan itu, membuat mereka tersadar dari momen emosional yang baru saja terjadi. Satu per satu tamu mulai ikut bertepuk tangan, hingga akhirnya ruangan dipenuhi oleh gemuruh tepuk tangan yang semakin keras. Suara itu memenuhi seluruh area pesta, seolah memberi penghormatan pada pertemuan yang penuh haru antara ibu dan anak yang telah lama terpisahkan.

Setelah pelukan yang panjang, Maya perlahan melepaskan Nathan dari dekapannya. Dengan mata yang masih basah oleh air mata, ia menggenggam tangan Nathan, menatapnya dalam-dalam dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Di sekeliling mereka, suasana pesta mulai kembali normal, tetapi semua tamu kini terfokus pada keduanya. Maya merasakan kebutuhan untuk mengatakan sesuatu, untuk mengungkapkan kebahagiaannya yang meluap-luap. Maya menarik napas panjang, berdiri tegak dengan Nathan di sampingnya. Ia menyapu pandangan ke seluruh tamu yang hadir, beberapa dari mereka tampak bingung, namun kebanyakan sudah mulai memahami bahwa ini adalah momen bahagia.

Dengan suara yang sedikit gemetar Maya mulai berbicara. “Teman-teman, keluarga, dan semua yang hadir di sini… Ada sesuatu yang sangat penting yang ingin saya sampaikan.”

Para tamu mulai memperhatikan lebih saksama, suasana pesta berubah menjadi hening. Semua mata tertuju pada Maya dan pria muda dan tampan di sebelahnya.

“Selama bertahun-tahun, saya menyimpan rasa rindu yang tak terungkap… Saya kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan hari ini Tuhan memberi saya anugerah terindah dalam hidup saya,” Maya menoleh ke Nathan, menggenggam tangannya lebih erat. “Ini adalah anak saya. Nathan.”

Suasana ruangan seketika menjadi sunyi. Wajah-wajah para tamu menunjukkan berbagai ekspresi, dari keterkejutan hingga kegembiraan yang tulus. Beberapa orang yang mengetahui sedikit tentang masa lalu Maya terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Nathan, yang sejak awal tampak tegang, merasakan sorot perhatian semua orang di ruangan tertuju padanya. Dia berdiri tegak, berusaha tenang meskipun emosinya berantakan.

Maya melanjutkan, dengan suara yang kini mulai lebih stabil dan kuat. “Nathan adalah anak saya yang terpisah sejak masih bayi. Bertahun-tahun saya berdoa untuk hari ini, berharap bisa bertemu dengannya kembali. Dan akhirnya, di hari yang spesial ini, doa saya terjawab.”

Maya menghentikan ucapannya sejenak, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di matanya. Ia menghadap ke Nathan dan berbicara lebih pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh semua tamu.

“Nathan, Mama sadar Mama tidak bisa mengembalikan waktu yang hilang, tapi Mama ingin kamu tahu, sejak kamu pergi, tidak ada sehari pun Mama tidak memikirkanmu. Kamu selalu ada di hati Mama. Dan sekarang, Mama sangat bersyukur kamu ada di sini, bersama Mama.”

Nathan menundukkan kepala sejenak, menghela napas, lalu menatap ibunya. “Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak pernah membayangkan kita akan bertemu seperti ini… Tapi aku di sini, dan aku ingin kita mulai dari awal.”

Suara tangis terdengar dari beberapa tamu, sementara yang lain tersenyum haru. Ida, yang berdiri di sudut ruangan, ikut terharu, merasakan kebahagiaan yang sederhana tetapi dalam.

Maya lalu kembali menoleh kepada para tamu. “Terima kasih kepada kalian semua yang sudah hadir di sini, yang sudah menjadi bagian dari hidupku selama ini. Hari ini, pesta ulang tahunku bukan hanya tentang aku, tapi juga tentang kebersamaan kami yang baru ini. Terima kasih.”

Gemuruh tepuk tangan kembali terdengar, kali ini lebih hangat dan penuh arti. Tamu-tamu mulai bergerak mendekat, memberikan selamat kepada Maya dan Nathan. Pesta yang sebelumnya hanya untuk merayakan ulang tahun Maya kini berubah menjadi perayaan kembalinya seorang anak yang telah lama hilang.

Setelah sambutan emosional di depan para tamu, suasana pesta mulai berangsur kembali normal. Tamu-tamu berbaur, tetapi banyak yang masih menyempatkan diri untuk memberi ucapan selamat kepada Maya dan Nathan. Beberapa saat kemudian, Maya menggenggam tangan Nathan dan membawanya ke area taman rumah yang lebih sepi, jauh dari keramaian pesta.

Setelah hening beberapa saat, Maya memulai pembicaraan dengan suara rendah. “Nathan… Mama tahu kita baru bertemu lagi, tapi ada sesuatu yang harus Mama sampaikan. Sesuatu yang sudah lama ingin Mama katakan.”

Nathan menatap ibunya dengan serius, mencoba memahami apa yang akan dikatakan Maya. Ia tidak terbiasa melihat wanita ini, tetapi ada perasaan yang aneh, seperti ia bisa memahami beban yang Maya rasakan.

Maya melanjutkan ucapannya. “Mama meninggalkan ayahmu dulu karena keputusasaan, bukan karena Mama tidak mencintainya,” Maya berkata dengan mata berkaca-kaca. “Itu adalah keputusan terburuk dalam hidup Mama. Mama tidak tahu harus bagaimana saat itu. Kemiskinan menghancurkan kami. Dan ketika Mama bertemu Alex, Mama pikir itu adalah cara untuk mengubah hidup kita. Tapi ternyata Mama salah.”

Nathan duduk di bangku panjang di bawah sinar lampu taman yang lembut, mendengarkan Maya dengan seksama. Setiap kata Maya membangkitkan perasaan yang berbeda dari yang pernah didengar Nathan dari Ida. Maya mengungkapkan penyesalannya yang mendalam dan keinginannya untuk meminta maaf kepada ayah Nathan, Ronny. Ia menyatakan betapa sangat menyesalnya telah meninggalkan Ronny dan berharap bisa bertemu dengannya lagi untuk menyatakan permintaan maafnya. Nathan merasakan beban berat di hatinya, mengingat kenangan tentang ayahnya yang keras namun penuh kasih. Ia teringat bagaimana ayahnya jarang berbicara tentang Maya, tetapi tampak jelas bahwa nama ibunya selalu menimbulkan luka di hati ayahnya.

“Ayah tidak mengatakan banyak tentang Mama,” Nathan akhirnya bersuara. “Ayah hanya mengatakan kalau kalian berpisah karena keadaan. Aku tidak pernah tahu detailnya, sampai akhirnya Ida menceritakannya kepadaku.”

Maya menundukkan kepalanya, air mata menetes perlahan. “Ayahmu adalah pria yang kuat. Mama tahu dia akan membesarkanmu dengan baik, meskipun tanpa Mama di sisinya. Tapi Nathan… di dalam hati Mama, Mama selalu ingin kembali. Mama hanya tidak tahu bagaimana caranya.”

Nathan menarik napas panjang, mencoba meredakan emosinya yang mulai menguat. “Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah, Ma. Tapi aku yakin… kalau ayah masih di sini, dia akan memaafkanmu.”

Maya menatap Nathan, merasa bahwa ucapannya adalah sesuatu yang benar-benar dia butuhkan. “Kamu benar, Nathan. Mama hanya berharap Mama punya kesempatan untuk mengatakannya langsung kepadanya. Maaf… maaf karena Mama meninggalkan kalian.”

Nathan, yang tadinya hanya menjadi pendengar, kini merasakan dorongan untuk lebih terbuka kepada ibunya. “Aku tidak bisa mengatakan aku tidak marah, Ma … Waktu yang hilang itu tidak akan kembali. Aku tumbuh tanpa ibu, dan ayah sudah melakukan yang terbaik. Tapi aku juga tahu, semua orang punya alasan. Dan aku di sini sekarang, bersamamu. Mungkin, kita bisa mulai dari sini.”

Maya mengangguk pelan, air matanya mengalir dengan deras. Ia merasa beban yang selama bertahun-tahun menggelayuti hatinya perlahan terangkat.

“Mama tidak akan pernah bisa menebus apa yang hilang, Nathan. Tapi Mama bersumpah, Mama akan mencoba menjadi ibu yang seharusnya.”

Nathan tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dibayangi kebingungan dan perasaan yang tak menentu. “Aku tidak meminta lebih, Ma … Yang aku butuhkan sekarang adalah kehadiranmu.”

Maya kembali mendekat, meraih tangan Nathan dan menggenggamnya erat. Mereka berdua duduk di sana, diam dalam kebersamaan, namun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Meski kesalahan masa lalu tidak akan pernah sepenuhnya dilupakan, mereka berdua tahu bahwa inilah awal baru bagi hubungan mereka, sebuah kesempatan untuk menyembuhkan luka lama dan membangun jembatan yang telah lama terputus.

Pesta ulang tahun yang penuh emosi dan kejutan akhirnya mereda, meninggalkan jejak yang mendalam di hati Maya dan Nathan. Momen reuni mereka, yang diawali dengan kekacauan dan ketegangan, berubah menjadi kesempatan untuk memahami dan menyembuhkan luka lama. Maya, dengan penuh penyesalan, telah mengungkapkan rasa sakit dan penyesalannya, sementara Nathan menghadapi kenyataan masa lalunya yang penuh konflik dengan penuh pertimbangan. Dalam kehangatan malam yang tenang, keduanya merasakan sebuah langkah kecil menuju pemulihan. Meskipun masa lalu tidak bisa diubah, mereka kini berdiri di ambang awal yang baru, berusaha memperbaiki hubungan dan menciptakan kenangan baru yang lebih baik, penuh harapan untuk masa depan yang lebih harmonis.


Pagi itu, matahari memancarkan sinarnya yang hangat dan cerah, menerangi seluruh lingkungan dengan warna emas lembut. Langit biru yang jernih tanpa awan menghampar di atas, sementara udara pagi yang segar membawa aroma bunga dan dedaunan. Suara burung berkicau riang dari pepohonan, dan embun di rumput berkilau seperti permata kecil di bawah sinar matahari.

Nathan baru saja selesai mandi dan berpakaian rapi, merasa sedikit canggung dengan perubahan drastis dalam hidupnya. Kini, dia tinggal di istana ibunya, sebuah rumah yang megah dan luas, dengan interior yang mewah dan perabotan elegan. Setelah meninggalkan kamar yang terletak di lantai dua, Nathan merasa bingung harus melangkah ke arah mana, mengingat betapa luasnya rumah tersebut. Ia turun dari tangga, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Saat tiba di lantai bawah, dia mendengar percakapan suara wanita yang berasal dari bagian belakang rumah.

Dengan rasa ingin tahu, Nathan mengikuti arah suara tersebut hingga sampai di dapur. Di sana, dia menemukan dua wanita berpakaian seragam sedang sibuk memasak, menyiapkan hidangan di dapur yang bersih dan modern. Kedua wanita itu tampak terkejut melihat kedatangan Nathan. Nathan pun merasa canggung karena belum terbiasa dengan lingkungan baru ini. Dengan sedikit kebingungan, ia membuka pembicaraan.

“Selamat pagi,” sapa Nathan, berusaha terdengar ramah.

Wanita yang lebih tua di antara mereka tersenyum dan menjawab, “Selamat pagi. Saya Sari, dan ini Heni,” sambil menunjuk wanita muda di sampingnya.

“Nyonya Besar sudah memberitahukan kami tentang kedatangan Tuan di rumah ini. Kami sudah menyiapkan sarapan untuk Tuan.” Ucap Heni sambil tersenyum dan sedikit membungkukan badan. Nathan mengangguk, merasa sedikit lega dengan sambutan yang hangat dan penjelasan mereka.

“Terima kasih … Nyonya Besar kemana?” tanya Nathan pada keduanya sambil duduk di salah satu kursi meja makan.

“Nyonya Besar sedang berolah raga di gym, tuan …” jawab Sari.

“Oh ya … Apakah Nyonya Besar rajin berolah raga?” tanya Nathan lagi sambil memperhatikan sandwich di hadapannya yang baru saja disodorkan Heni.

Sari tersenyum dan menjawab, “Iya, Nyonya Besar suka berolahraga setiap pagi.”

Heni menambahkan, “Dia biasanya jogging di taman belakang atau ikut kelas yoga di rumah.”

Nathan mengangguk, “Bagus juga ya. Sepertinya Nyonya Besar rajin menjaga kesehatan dan kebugarannya.”

Heni berkata sambil menyajikan secangkir kopi, “Nyonya Besar sangat memperhatikan bentuk tubuh dan kecantikannya. Dia rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran dan penampilannya.”

Nathan mulai menyantap sarapannya sambil berbincang ringan dengan Sari dan Heni. Percakapan mereka mengalir begitu saja, membahas kegiatan sehari-hari di rumah besar itu dan kebiasaan Nyonya Besar. Tak butuh waktu lama, suasana menjadi semakin hangat, dan ketiganya merasa lebih akrab. Sari dan Heni tersenyum lebar, merasa nyaman dengan kehadiran Nathan yang ternyata sangat humble dan baik kepada siapa saja, termasuk mereka yang bekerja di rumah ibunya

Setelah selesai sarapan, Nathan naik ke lantai dua dan menuju ruangan gym yang letaknya diberitahukan oleh Heni. Pemuda itu menemukan ruangan tersebut dengan cepat dan membuka pintunya tanpa ragu. Namun, langkahnya terhenti seketika ketika ia melihat Maya sedang berlari-lari kecil di atas treadmill. Maya mengenakan pakaian senam yang minim, berupa legging shorts dan crop top yang hanya menutupi sebagian kecil tubuhnya, meninggalkan bagian perut dan paha yang terlihat jelas. Nathan terkejut oleh pemandangan tersebut, memperhatikan betapa indah dan menggoda penampilan ibunya.

Nathan berusaha untuk tetap tenang dan tidak membiarkan adrenalin mempengaruhi dirinya, namun pemandangan di depannya sangat menggugah kelelakiannya. Meski dia berusaha untuk tidak merespons, tubuhnya secara otomatis bereaksi, dan ia merasakan dorongan yang kuat. Penisnya menjadi kencang dan membengkak sebagai hasil dari respons birahi yang tak tertahankan. Nathan mengutuk dirinya sendiri karena respon tubuh yang tidak diinginkan ini. Merasa malu dan tidak nyaman, dia berbalik untuk keluar dari ruangan. Namun, saat hendak melewati pintu, dia mendengar Maya memanggil namanya.

“Nathan … Mau kemana?” suara Maya yang lembut menambah debaran jantung Nathan.

“Aku ada yang lupa, Ma …” Nathan mencari alasan.

“Kemarilah dulu!” pinta Maya.

Nathan yang tidak memiliki alasan lagi terpaksa berbalik badan secara perlahan dan berjalan ke arah Maya dengan pandangan tertunduk. Ia berusaha untuk tidak melihat kemolekan tubuh ibunya yang mengganggu konsentrasinya dan menambah rasa malunya. Nathan fokus pada lantai, berusaha keras untuk mengendalikan pikirannya dan menghindari kontak visual yang akan memperburuk situasi.

“Kenapa kamu, Nak?” tiba-tiba Maya bertanya heran.

“Ti..tidak apa-apa, Ma … Hanya saja …” Nathan hampir saja keceplosan.

“Hanya apa?” tanya Maya lagi sambil menghentikan treadmill lalu mendekati Nathan.

Nathan menjadi salah tingkah saat Maya berdiri tepat di depannya. Ketika Maya mengangkat dagunya, Nathan terpaksa melihat kemolekan tubuh ibunya yang sulit dihindari. Dengan susah payah, Nathan berusaha menahan gejolak dalam dirinya. Namun, sikapnya yang canggung dan tidak nyaman menimbulkan reaksi khawatir dari Maya, yang mulai memperhatikan perubahan pada ekspresi dan perilaku Nathan.

“Ah … Kamu sakit, Nak?” tanya Maya penuh kegundahan.

“Ti… tidak Ma … A..aku … Aku hanya …” Nathan gugup setengah mati merasa malu dengan dirinya.

“Hanya apa?” tanya Maya lagi karena Nathan terlalu lama menjeda ucapannya.

Nathan segera menggeleng, mencoba menenangkan situasi. “Tidak, aku baik-baik saja, Ma. Hanya… sedikit tidak nyaman.”

Maya tidak puas dengan jawaban itu. “Kalau begitu, Mama akan memanggil dokter pribadi untuk memeriksamu.”

Nathan cepat-cepat menolak. “Tidak perlu, Ma. A..ku… aku sebenarnya…”

Maya memandang Nathan dengan penasaran. “Apa yang terjadi? Bicaralah terus terang.”

Nathan menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Sebenarnya, a..aku merasa seperti ini karena melihat Mama setengah telanjang. A..aku malu karena aku tidak seharusnya melihat Mama seperti ini. Aku merasa sangat lancang.”

Maya terkejut sejenak, lalu wajahnya berubah menjadi senyum kecil. Dia terkikik lembut, menganggap pengakuan Nathan yang lucu. “Oh, Nathan. Apa yang kamu lihat ini adalah pakaian olahraga yang banyak digunakan orang-orang, sebenarnya sangat umum. Mama memakai legging shorts dan crop top yang memang dirancang untuk kenyamanan saat berolahraga. Mama tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Jangan terlalu dipikirkan.”

“Ja..jadi, ini tidak masalah?” tanya Nathan masih dengan perasaan canggung dan belum sepenuhnya tenang.

“Tidak sama sekali,” kata Maya sambil tersenyum. “Kamu tidak perlu merasa malu.”

Nathan tidak sepenuhnya merasa lega mendengar tanggapan Maya. Meskipun Maya mencoba menjelaskan bahwa pakaian tersebut adalah hal yang biasa, Nathan tetap merasa terombang-ambing karena melihat Maya dengan pakaian yang memicu gejolak emosional dan hormonalnya. Pemandangan seperti ini selalu saja membangkitkan hasrat hewani Nathan. Ia sangat jarang melihat tubuh wanita yang terbuka di media-media, dan selama ini ia menghindari paparan semacam itu karena sadar akan kemudahan dirinya terangsang. Namun, kali ini Nathan dihadapkan pada situasi yang membuatnya tidak bisa menghindari rangsangan yang sangat nyata. Melihat tubuh Maya yang sangat sempurna secara langsung seperti ini membuat dorongan hasratnya semakin kuat dan sulit untuk dikendalikan. Nathan berusaha keras untuk menenangkan diri, namun efek visual yang sedekat ini terus mengganggu fokusnya.

Maya, yang sangat peka dan ahli dalam membaca situasi, sebenarnya sudah menyadari apa yang terjadi. Dari ketidaknyamanan Nathan, ia bisa menyimpulkan bahwa rasa malu anaknya itu tidak hanya sekadar malu biasa, tetapi juga ada perasaan yang sering dialami pria saat melihat tubuh seksi wanita.

Maya mendekati Nathan dengan lembut, mengalungkan lengannya di leher Nathan, dan menempelkan payudara montoknya ke dada Nathan, ingin menguji perasaan anaknya. Saat Maya melakukan ini, Nathan merasakan perubahan emosi, tubuhnya menjadi panas dingin, dan darahnya terasa mengalir deras ke organ intimnya. Hasrat yang terombang-ambing membuat kejantanan Nathan semakin tegang, reaksi fisik Nathan semakin tidak terkontrol. Maya bisa merasakan dampak yang dirasakan Nathan yaitu sesuatu yang keras mengganjal perut bawahnya.

“Ma… A..aku harus ke kamarku…” Nathan benar-benar tergagap, tubuhnya bergetar dan wajahnya memerah, jelas terganggu oleh situasi tersebut.

“Nathan,” ucap Maya lembut, “Mama ingin memelukmu. Mama sangat membutuhkan pelukanmu.”

“Ta..tapi … Ma …”

“Kamu mengingatkan Mama pada ayahmu. Saat Mama melihat wajahmu, rasanya seperti melihat ayahmu kembali. Dan… Tapi… Kamu lebih gagah dan lebih tampan daripada ayahmu.” Maya tersenyum lembut sembari lebih menekan payudaranya agar Nathan merasakan kekenyalannya.

Nathan merasa seluruh tubuhnya menjadi kaku, dan perasaannya benar-benar tak menentu. Rasa malu dan keraguan semakin menggerogoti pikirannya. “Ma, aku… aku tidak …” katanya patah-patah dengan suara gemetar. “A..aku malu…”

Maya merasakan ketegangan yang sangat besar di tubuh Nathan. Maya melekatkan keningnya di kening Nathan, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Nathan. Maya pun berbisik, “Nathan, tenanglah. Cobalah rileks. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Ini hanya untuk merasakan kedekatan yang kita berdua butuhkan.”

Nathan mencoba mengatur napas, berusaha menghilangkan rasa terlarang dan malu yang masih membebani pikirannya. Nathan terdiam, mencoba mengatasi perasaan yang tak karuan. Maya, dengan sabar, tetap menjaga pelukannya yang lembut dan penuh kehangatan, berharap bisa membantu Nathan merasa lebih nyaman.

“Jangan terlalu banyak berpikir,” kata Maya dengan pelan dan setengah mendesah. “Nikmati dan resapi saja.”

Nathan merasakan desakan lembut dari ibunya. Bibir Maya sesekali menyentuh bibirnya sekilas. Payudara ibunya mengganjal mesra di dadanya. Nathan coba menikmati dan meresapi semua ini, dan perlahan-lahan mulai membuka diri, mencoba untuk mengatasi perasaannya yang membingungkan. Bagaikan air yang mengalahkan batu, sedikit demi sedikit keberanian pemuda itu muncul mengikis perasaan yang tadi bercokol di hatinya. Dengan perlahan, Nathan mengangkat tangannya dan membalas pelukan Maya. Nathan akhirnya menyerah pada momen itu dan menemukan kehangatan dalam pelukan ibunya.

Setelah beberapa saat dalam pelukan, Maya dan Nathan perlahan-lahan mengurai pelukan mereka. Mereka saling menatap dengan penuh makna. Maya mengusap pipi Nathan dengan lembut menggunakan kedua telapak tangannya. Nathan, dengan gerakan lembut, mengambil telapak tangan Maya dan mencium mereka dengan penuh rasa syukur. Keduanya kemudian mengaitkan tangan mereka dengan erat, senyum mengembang di bibir mereka, sebagai bentuk kedekatan dan kebahagiaan yang baru ditemukan.

“Mama ingin kita merasa dekat dan tidak ada jarak lagi. Agar kita bisa saling memahami dan mendukung satu sama lain seperti seharusnya.” kata Maya lembut, menatap mata Nathan dengan penuh harapan.

Nathan menatap ibunya dengan mata penuh emosi, suaranya bergetar saat ia menjawab, “Ma … Aku benar-benar ingin itu juga. Selama ini, aku selalu berpikir Mama sudah meninggal. Rasanya sulit untuk percaya kalau Mama ada di sini sekarang.”

Maya merasakan kepedihan dalam suara Nathan dan mengusap pipinya dengan lembut. “Mama tahu, Nathan. Mama bisa merasakan betapa sulitnya perasaanmu saat ini. Selama ini, Mama pun merasa kehilangan. Tapi sekarang, kita memiliki kesempatan untuk memperbaikinya.”

Nathan mengangguk. “Ini seperti mimpi bagiku. Aku ingin sekali mengenal Mama lebih dekat, berbagi lebih banyak waktu dan cerita.”

Maya memegang tangan Nathan dengan lembut, “Dan Mama ingin sekali mengenalmu lebih dalam juga. Kita akan mulai dari sini, membangun kembali apa yang hilang dan memperkuat hubungan kita.”

Maya dan Nathan akhirnya meninggalkan ruangan gym sambil bergandengan tangan dan berbincang-bincang ringan. Mereka berhenti sejenak di depan pintu kamar Maya, di mana Maya mengatakan akan mandi dahulu lalu masuk ke dalam kamarnya. Nathan, yang merasa penasaran, memutuskan untuk berkeliling rumah besar ibunya. Saat berkeliling, Nathan tiba di sebuah ruangan yang menampilkan sebuah foto keluarga berukuran besar yang menempel di dinding. Dalam foto tersebut, Maya duduk berdampingan dengan seorang pria tua di sofa, sementara di belakang mereka terdapat dua gadis cantik. Nathan memandangi foto itu dengan seksama, perlahan-lahan mulai memahami siapa orang-orang dalam foto tersebut.

“Ternyata aku punya dua orang adik …” ucap Nathan dalam hati.

Nathan melanjutkan perjalanannya mengelilingi rumah besar ini, menyusuri lorong-lorong panjang yang dipenuhi dengan dekorasi mewah. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan beberapa pegawai rumah. Ada security yang sedang berjaga di depan, tukang kebun yang sibuk merapikan tanaman, sopir yang tengah memeriksa mobil, dan beberapa pembantu rumah tangga yang hilir mudik menjalankan tugas mereka. Setelah berjalan beberapa saat, Nathan tiba di sebuah kolam renang yang luas dan indah. Kolam itu dikelilingi taman yang tertata rapi dengan berbagai tanaman hias, serta beberapa gazebo yang nyaman.

“Sungguh luar biasa tempat ini,” ucap Nathan dalam hatinya lagi yang tidak pernah berhenti memuji kemegahan dan keindahan rumah ibunya ini.

Nathan terus melangkah ke bagian belakang kolam, semakin menjauh dari rumah utama. Ia merasa kagum sekaligus aneh ketika melihat sebuah taman yang terbentang di hadapannya. Taman itu begitu indah, dihiasi berbagai macam bunga berwarna-warni yang tertata rapi. Pohon-pohon rindang dan semak-semak hijau mengelilingi area tersebut, membuat kesan asri tempat ini. Jalan setapak dari batu alam menghubungkan berbagai sudut taman, sementara patung-patung kecil tersebar di beberapa titik, menambah kesan mewah dan elegan.

Sekitar 100 meter di depannya, Nathan melihat sebuah pintu gerbang yang terbuat dari besi ukiran berwarna silver, dengan desain yang rumit dan indah. Di sisi kiri dan kanannya, terdapat tembok tinggi yang dihiasi dengan water wall, di mana air mengalir tenang di permukaannya. Rasa penasaran menyelimuti Nathan, dan ia berjalan mendekati gerbang tersebut.

Setibanya di depan pintu gerbang, Nathan mendorongnya perlahan. Gerbang itu terbuka sedikit, cukup untuk membuatnya bisa masuk. Tanpa ragu, Nathan melangkah melewati gerbang, tidak merasa curiga dengan apa pun di baliknya. Namun, tiba-tiba, terdengar suara hardikan keras dari sebelah kirinya, menghentikan langkahnya seketika.

“BERHENTI …!”

Nathan sangat terkejut mendengar suara hardikan itu dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Dua orang dengan tergesa-gesa menghampirinya, keduanya memegang stick baseball dengan ekspresi garang di wajah mereka. Nathan segera sadar bahwa dirinya dalam bahaya, namun ia memilih untuk tetap diam sesuai dengan perintah yang diberikan oleh salah satu dari mereka. Namun, keterkejutan Nathan semakin memuncak ketika, tanpa peringatan, salah satu dari mereka langsung mengayunkan stick baseball ke tubuhnya. Dalam keterkejutannya, refleks Nathan langsung bereaksi, dan ia berhasil menghindari serangan tersebut tepat waktu, mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak.

“Sabar om … Tahan sebentar …” pekik Nathan, suaranya memohon namun tetap waspada.

“Kurang ajar! Berani-beraninya menyusup ke tempat ini! Pengen mampus, hah!” teriak orang yang satunya, menyerang dengan cepat dan mengarahkan stick baseball ke kepala Nathan.

Nathan dengan sigap merunduk, menghindari ayunan keras yang hampir menghantamnya. Tubuhnya bergerak cepat, berusaha mencari celah untuk bertahan dan melawan. Serangan terus dilancarkan, kali ini kedua orang itu menyerangnya bersamaan, mencoba menjepitnya. Namun Nathan, yang terbiasa dengan latihan fisik, menggunakan kelincahannya untuk menghindari pukulan-pukulan mereka.

Saat salah satu dari mereka mengayunkan stick baseball dengan ceroboh, Nathan melihat celah. Ia menangkap pergelangan tangan pria itu dengan kuat, memutar lengannya hingga stick baseball jatuh ke tanah. Dengan satu gerakan cepat, Nathan mendorong pria itu ke dinding terdekat, membuatnya jatuh terhuyung.

Orang kedua, yang melihat temannya terjatuh, langsung menyerang dengan ayunan keras. Nathan, dengan refleks yang terlatih, menghindar ke samping dan melancarkan tendangan keras ke lutut penyerangnya. Pria itu terjatuh dengan erangan kesakitan, stick baseballnya terlepas dari genggaman.

Nathan tidak membuang waktu. Ia menyambar stick yang terjatuh dan dengan cepat memukul bagian belakang lutut pria pertama yang baru saja bangkit, membuatnya jatuh kembali ke tanah. Dengan gerakan cepat, Nathan melucuti keduanya, memastikan mereka tidak bisa lagi melawan.

Keduanya tergeletak tak berdaya di tanah, mengerang kesakitan. Nathan berdiri di atas mereka, napasnya memburu, tubuhnya tegang namun siap menghadapi apa pun yang datang berikutnya.

Benar saja, segerombolan orang berlarian menghampiri Nathan dengan langkah cepat. Nathan sempat menghitung jumlah mereka, lima orang semuanya. Menyadari jumlah itu, Nathan memutuskan tidak perlu melarikan diri. Ia tetap berdiri di tempatnya, waspada dan siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Saat mereka sudah semakin dekat, salah seorang dari gerombolan itu memberi isyarat kepada teman-temannya untuk berhenti. Dengan tatapan penuh keheranan, orang tersebut mendekati Nathan.

“Apa yang tuan muda lakukan di sini?” tanya orang tersebut membuat hati Nathan lega. Ternyata orang ini mengenal dirinya.

“Aku hanya jalan-jalan,” jawab Nathan.

“Maaf tuan muda … Ini kawasan yang tidak boleh dimasuki orang selain kami. Silahkan tuan muda keluar.” Kata orang berbadan besar itu sembari merentangkan tangan ke arah pintu gerbang.

“Oh … Maaf saya tidak tahu …” ujar Nathan sambil membungkukan badan.

Nathan berbalik badan dan sekilas melihat dua orang yang tergeletak akibat serangannya kini sedang dibantu berdiri oleh kawan-kawannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nathan melangkah kembali menuju gerbang. Tak lama, ia melewati pintu gerbang yang tadi ia buka, lalu terdengar suara gerbang dikunci dari belakang. Saat ia menjauh dari tempat itu, hati dan pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. Ada sesuatu yang terasa aneh. Mengapa ada lokasi di kawasan rumah ini yang begitu dijaga ketat dan dilarang dimasuki?

Nathan melangkah menjauh dari gerbang, namun hatinya dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang tidak wajar tentang tempat itu – lokasi di kawasan rumah ini yang begitu dijaga ketat. Pikiran Nathan terusik, seolah ada misteri tersembunyi di balik gerbang yang kini terkunci rapat, menunggu saat yang tepat untuk terungkap.

Bersambung​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *