BAB 3
Nathan kembali ke rumah utama, melewati lorong-lorong yang indah dan menuju ruang tengah yang megah. Di sana, ia menemukan Maya sedang duduk di sofa, tenggelam dalam buku yang dibacanya. Penampilan Maya begitu memikat perhatian Nathan. Maya mengenakan blouse berleher rendah yang menampilkan sebagian payudaranya yang menawan, dipadukan dengan rok sebatas lutut berwarna senada. Apa yang ditampilkan Maya sungguh menggugah selera. Meskipun hatinya bergejolak resah dengan penampilan ibunya, kali ini Nathan berusaha untuk tetap tenang. Ia mendekati Maya dengan langkah lembut dan duduk di depannya.
“Mama mendapat laporan kalau kamu main-main di belakang dan memukuli dua anak buah Mama,” ucap Maya sambil meletakkan buku di atas meja.
Perlahan, Maya menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat yang terukur, memperlihatkan kilasan kulit pahanya dengan sangat jelas, cukup untuk menarik perhatian Nathan. Nathan menelan ludah, matanya sejenak terpaku pada paha Maya yang mulus, tetapi Maya berpura-pura tidak menyadari efeknya. Maya kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa, senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah menunggu reaksi Nathan selanjutnya sambil tetap menjaga tatapan penuh rasa percaya diri.
“Oh itu Ma … A..aku tersesat …” suara Nathan tergagap bukan karena terkejut oleh teguran Maya tetapi oleh pandangannya yang tertuju pada paha ibunya yang terbuka lebar di balik roknya. Kulit halus Maya yang terlihat jelas membuat gairah Nathan muncul secara tiba-tiba.
“Kalau kamu mau melihat ke sana, kamu harus bilang dulu sama Mama, oke …” ucap Maya sembari perlahan menggeser posisi duduknya.
Gerakan Maya itu membuat roknya naik sedikit lebih tinggi dan semakin memperlihatkan pahanya pada Nathan. Dengan gerakan halus namun disengaja, ia menyilangkan kakinya kembali, memperlihatkan lebih banyak kulit, seolah menantang Nathan untuk bereaksi. Senyum tipis tersungging di bibir Maya, sementara matanya mengamati dengan tajam setiap perubahan ekspresi di wajah Nathan.
“Ya, Ma …” jawab Nathan sembari mengalihkan pandangannya dan berusaha menentramkan gejolak dalam dadanya. “Oh ya, Ma … Apakah yang di foto itu, adalah adik-adikku?” tanya Nathan kemudian sambil menunjuk sebuah foto keluarga berukuran besar yang tergantung di dinding barat ruangan.
Maya menoleh sekilas ke arah yang ditunjuk lalu berkata, “Benar … Mereka adalah adik-adikmu. Yang memakai baju pink namanya Chelsea dan yang di sebelahnya namanya Lusi. Mereka sekarang sedang kuliah di Australia.”
“Oh … Ternyata aku mempunyai adik,” ucap Nathan tanpa mau melihat lagi bagian bawah Maya.
Maya tersenyum lembut, mengamati reaksi Nathan yang kini tampak lebih tenang. “Iya, sayangnya, mereka jarang pulang karena kesibukan kuliah. Semalam Mama bicara dengan mereka tentangmu, dan mereka ingin sekali bertemu denganmu.”
Nathan mengangguk pelan. “Aku berharap bisa bertemu dengan mereka suatu saat nanti.”
“Tentu bisa, Nathan. Suatu hari kita semua bisa berkumpul bersama,” Maya menambahkan, kali ini dengan nada yang lebih hangat. “Ngomong-ngomong, kamu belajar silat ya?” tanya Maya tiba-tiba, dengan nada penasaran sambil menegakkan tubuhnya dengan kaki sedikit terbuka.
“Tidak, Ma …” jawab Nathan sambil tersenyum, berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari paha Maya yang terlihat jelas. “Aku nggak belajar silat, tapi lebih ke bela diri campuran. Dulu aku berguru pada seseorang beberapa gerakan dasar, tapi sisanya aku belajar sendiri.”
Maya mengangguk dengan senyum menggoda, sedikit menggeser posisinya di sofa sehingga roknya bergerak, memperlihatkan lebih banyak kulit. “Hebat juga kamu, Nathan. Mama selalu kagum sama orang yang bisa bela diri. Menurut Mama, laki-laki itu harus kuat, tahu cara melindungi dirinya sendiri, juga orang lain.” Ia mengedipkan mata sambil memandangi Nathan dengan tatapan lembut, menyadari efek dari posisinya.
Nathan menatap Maya sejenak, pandangannya sedikit ragu namun tak mampu berpaling. Matanya sesekali melirik paha Maya yang terbuka karena posisi duduknya yang agak terbuka. Degup jantung Nathan semakin tak beraturan, dan tanpa sadar pandangannya jatuh ke arah yang lebih pribadi. Kilasan warna putih dari celana dalam Maya terlihat samar di balik lipatan rok yang naik sedikit. Rasa canggung dan ketertarikan bercampur menjadi satu. Nathan berusaha mengendalikan pikirannya, namun matanya tak bisa menghindar dari godaan di depannya.
Nathan akhirnya berbicara, “Ya, Ma … Dulu Ayah sering bilang hal yang sama. Makanya dia selalu mendorong aku buat belajar bertarung. Bukan buat nyari masalah, tapi lebih untuk jaga-jaga kalau ada situasi berbahaya.”
Maya tersenyum tipis, sambil sedikit menggeser posisinya di sofa sehingga blouse-nya semakin menempel pada payudaranya, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan lebih jelas. “Dan kamu kelihatan sangat menguasai, apalagi kamu bisa mengalahkan dua anak buah Mama tadi.” Maya menambahkan dengan nada bercanda.
Nathan tertawa kecil, tetapi sulit untuk tidak memperhatikan gerakan Maya yang menggoda. “Mereka yang mulai duluan, Ma. Aku cuma refleks aja, nggak mau ada yang kejadian buruk.”
Mata Nathan tanpa sengaja tertuju pada leher blouse Maya yang sedikit terbuka, memperlihatkan kulit lehernya yang halus. Tatapannya perlahan turun, mengikuti garis lembut kain yang terbuka, hingga payudara Maya terlihat samar di balik kain blouse yang tipis. Keindahan siluet itu seolah menarik Nathan, membuatnya sulit berpaling. Ia merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, dan otaknya dipenuhi oleh campuran rasa bersalah dan ketertarikan yang tak bisa ditahan.
“Bagus. Itu yang Mama suka. Pria yang tahu kapan harus bertindak dan kapan harus menahan diri,” ujar Maya dengan mata berbinar, tubuhnya sedikit bergerak maju dan sedikit membungkuk sehingga belahan leher blouse-nya semakin terbuka memperlihatkan dua gunduk daging kenyal yang terbungkus bra berwarna putih, “Apalagi di dunia ini, nggak semua orang baik. Mama jadi merasa tenang kalau tahu kamu bisa menjaga diri.”
Nathan merasakan jantungnya semakin berdegup kencang melihat payudara Maya yang menantang, meski berusaha keras untuk menjaga tatapannya tetapi payudara itu terlalu sayang untuk dilewatkan. “Aku cuma beruntung bisa belajar bela diri itu, Ma. Lagipula, aku nggak pernah nyari masalah, jadi bela diri itu ya cuma untuk menjaga diri aja, bukan buat unjuk gigi.”
Maya menatapnya penuh kekaguman, dengan gerakan lembut dia meluruskan tubuhnya, dan kini malah memamerkan paha mulusnya lagi membuat Nathan merasa semakin tergoda, namun dia berusaha menahan diri. “Itu lebih dari cukup, Nathan. Kamu bukan cuma kuat secara fisik, tapi juga tahu batasnya. Itu yang penting. Mama selalu percaya, pria yang tahu caranya mempertahankan diri adalah pria yang benar-benar tangguh.”
Nathan mengangguk pelan, merasakan dorongan gairah yang tak bisa dihindari, tetapi tetap mencoba untuk fokus. “Terima kasih, Ma. Aku akan tetap berusaha menjaga diri, apalagi kalau itu demi keluarga.”
Maya tersenyum dengan bangga, matanya berbinar penuh makna. “Dan sekarang Mama punya kamu, yang kuat dan bisa diandalkan. Mama merasa sangat beruntung.” Senyumnya semakin menggoda, dengan gerakan tubuh yang seolah-olah ingin lebih dekat, meninggalkan Nathan dalam keadaan tak menentu antara gairah dan rasa hormat.
Jantung Nathan terus berdebar cepat, gairah pemuda itu benar-benar terusik. Dia menatap Maya sambil berkata, “Aku akan selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang bisa Mama andalkan.”
“Tapi sebagai laki-laki, kamu juga harus bisa menaklukkan wanita loh … Apakah kamu pernah menaklukkan wanita di atas ranjang?” ucap Maya, sambil tersenyum dengan penuh makna.
Nathan merasa jantungnya berdetak kencang. Dia sangat tahu arah pembicaraan Maya, dan ia pun berusaha keras untuk menjaga kendali. “Eh … Apakah perlu aku mengatakannya?”
Maya menatap Nathan dengan tatapan yang penuh tantangan, senyumnya semakin lebar, seolah menikmati situasi yang mulai memanas. “Tentu saja perlu,” jawabnya dengan nada lembut namun provokatif, tubuhnya sedikit mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. “Aku penasaran… bagaimana seorang Nathan beraksi di saat-saat seperti itu,” lanjut Maya, suaranya sedikit berbisik, nyaris memancing.
Nathan menelan ludah, mencoba mengendalikan napasnya yang mulai terasa berat. Ia tahu bahwa percakapan ini semakin mengarah ke sesuatu yang berbahaya, namun bagian dari dirinya juga merasa tergoda oleh tantangan Maya. “Menaklukkan di atas ranjang?” Nathan berusaha mempertahankan nada suaranya tetap tenang. “Bukankah itu soal…chemistry dan kepercayaan?” Ia mengangkat sebelah alis, mencoba mengalihkan fokus.
Maya tersenyum lagi, kali ini lebih halus, namun matanya tetap berbinar penuh arti. “Ah, jadi begitu menurutmu? Chemistry dan kepercayaan? Kedengarannya klasik, tapi mungkin itu benar.” Ia berhenti sejenak, menatap Nathan dari atas ke bawah, seolah menilai, lalu berbisik lebih pelan, “Tapi… aku ingin tahu, apa kamu benar-benar sebaik itu?”
Kata-kata Maya menggantung di udara, membuat Nathan terdiam sejenak, berusaha memutuskan bagaimana ia akan merespons, sambil mencoba mengendalikan pikiran-pikiran yang mulai tak teratur di dalam kepalanya. Namun sebelum Nathan menjawab, Maya melanjutkan ucapannya, “Kamu tahu, Nathan, ada banyak hal yang bisa kamu pelajari, bagaimana kamu bisa menaklukkan wanita. Kadang-kadang, pengalaman tidur dengan wanita itu penting untuk mengetahui bagaimana caranya menikmati hidup.”
Nathan mencoba menenangkan diri, namun tatapan dan gerakan Maya membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih. “Mungkin Mama benar. Aku … aku …” Nathan tak mampu lagi menjawab, sementara Maya terus mengirimkan sinyal-sinyal menggoda yang membuat Nathan semakin gelisah.
Maya tersenyum puas, matanya berbinar dengan penuh arti, dan ketika Maya sedang menikmati reaksi Nathan yang semakin tidak bisa mengendalikan diri. Tiba-tiba, ponsel pintar Maya berdering. Maya tampak kesal dan segera mengambil ponsel dari meja dengan gerakan yang tenang namun cepat. Ia memeriksa layar smartphone, alisnya mengernyit, menunjukkan ketidakpuasan.
“Aku tidak ingin tahu alasanmu! Aku hanya ingin pekerjaanmu selesai!” Maya mengucapkan kalimat itu dengan nada yang tajam, nyaris tanpa ampun. Wajahnya yang tadinya penuh senyum kini tampak serius dan tegang, matanya memicing tajam dengan sorot kemarahan yang jelas. Nathan hanya bisa menyaksikan dalam diam, terkejut dengan perubahan sikap Maya yang begitu cepat.
“Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan?” lanjut Maya, suaranya semakin dingin. “Ini sudah kesekian kalinya aku harus menagih hasil kerjamu. Jangan buat aku menyesal mempercayakan proyek ini padamu.”
Nathan diam, memperhatikan Maya yang sekarang jelas sekali sedang menahan amarah. Suasana yang sebelumnya penuh ketegangan pribadi di antara mereka langsung bergeser ketika Maya menjawab panggilan dari anak buahnya. Suaranya yang semula lembut berubah drastis, menjadi dingin dan penuh otoritas.
“Aku tidak peduli berapa banyak masalah yang kau hadapi. Yang aku inginkan adalah solusi, bukan alasan!” Maya melanjutkan, suaranya semakin meninggi, menunjukkan ketidaksabarannya. Nathan bisa merasakan bagaimana Maya mengendalikan situasi dengan penuh otoritas, tidak memberi ruang sedikit pun untuk kesalahan.
Mata Nathan terus memperhatikan setiap ekspresi Maya. Di balik ketenangannya, ada kekuatan dan ketegasan yang sebelumnya tak ia sadari. Maya tidak hanya seorang wanita penggoda yang tahu bagaimana membuat seseorang merasa tak nyaman, tapi juga seorang pemimpin yang menuntut kesempurnaan dari setiap orang di sekitarnya. Dan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan harapannya, sisi kejamnya akan muncul, tanpa ragu.
Setelah beberapa saat, Maya akhirnya menutup telepon dengan gerakan cepat, wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kemarahan. Nathan menelan ludah pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Wanita di depannya bukan hanya sosok yang menarik secara seksual, tapi juga seorang yang sangat berbahaya jika dilawan.
Maya mendesah pelan, lalu menoleh ke arah Nathan. Senyumnya kembali muncul, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. “Maaf, Nathan. Kadang mereka butuh sedikit ‘dorongan’ supaya tahu siapa yang sebenarnya berkuasa,” ucapnya santai, seolah baru saja selesai berbicara soal hal sepele.
Nathan tersenyum tipis, berusaha meredakan ketegangan yang masih terasa di ruangan itu. Dia menatap Maya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Aku bisa melihat itu,” katanya dengan nada tenang. “Terkadang, memang perlu bersikap tegas untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”
Maya mengangkat alisnya, seolah menunggu apa lagi yang akan dikatakan Nathan. Meskipun senyum di wajahnya sudah kembali, Nathan bisa merasakan bahwa amarah Maya belum sepenuhnya mereda. Dia memutuskan untuk berbicara lebih hati-hati.
“Kurasa, semua orang di tim itu pasti menghormati Mama. Mama jelas punya kemampuan memimpin yang kuat,” lanjut Nathan, memilih kata-katanya dengan cermat. “Tapi kadang, terlalu banyak tekanan juga bisa membuat mereka kesulitan fokus. Mungkin mereka hanya butuh sedikit bimbingan tambahan, bukan hanya dorongan.”
Maya tertawa kecil, tapi kali ini tawanya terdengar lebih sinis. Tatapannya tajam, dan senyumannya menghilang dengan cepat. “Bimbingan?” katanya dengan nada dingin. “Nathan, ini bukan tentang bimbingan. Ini tentang hasil. Aku tidak punya waktu untuk memanjakan mereka. Ketegasan, kalau perlu, kekerasan itu solusi yang paling tepat. Orang-orang tidak akan bergerak jika tidak dipaksa.”
Maya kembali duduk lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, matanya menatap Nathan dengan penuh keyakinan, kemudian berkata lagi, “Aku tidak suka orang yang bekerja setengah hati, dan jika mereka tidak bisa mengikuti kecepatan dan standarku, mereka lebih baik pergi. Aku butuh hasil, bukan alasan atau pembenaran. Kelembutan tidak akan menghasilkan apa-apa.”
Maya mulai menjelaskan dengan detail tentang standar kinerjanya, matanya penuh dengan determinasi. Ia berbicara dengan keyakinan mutlak, menekankan betapa pentingnya kecepatan, ketepatan, dan kesempurnaan dalam setiap proyek yang ia tangani. Baginya, toleransi terhadap kesalahan adalah tanda kelemahan. Setiap tugas harus diselesaikan sesuai dengan target, tanpa pengecualian. Tidak ada ruang untuk kesalahan, apalagi alasan. Maya percaya bahwa setiap orang harus bekerja di bawah tekanan jika ingin menghasilkan yang terbaik.
Nathan mendengarkan dengan saksama, menyimak bagaimana Maya menguraikan filosofi kerjanya yang kaku dan tanpa kompromi. Kata-kata Maya terkesan tegas, seolah menggambarkan bahwa baginya, hasil adalah segalanya. Siapa pun yang tidak bisa mengikuti irama dan tuntutannya dianggap tidak layak untuk bertahan.
Sambil mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Maya, Nathan mulai mengambil kesimpulan tentang wanita di depannya. Di balik pesona dan sikap menggoda yang sempat ia tunjukkan sebelumnya, Maya adalah sosok yang keras hati, seseorang yang lebih mengutamakan hasil dibandingkan proses. Dia tidak hanya tegas, tapi cenderung otoriter, segala sesuatunya harus berjalan sesuai dengan kehendaknya, tanpa toleransi bagi kelemahan atau ketidaksempurnaan.
Nathan merasa ada sedikit egoisme dalam pandangan Maya. Baginya, semua harus berjalan seperti yang ia inginkan, dan jika tidak, Maya tak ragu untuk memaksakan kehendaknya. Maya tampak seperti orang yang sulit dibantah, seseorang yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya melalui kendali penuh. Dalam benak Nathan, sisi keras ini memperlihatkan Maya sebagai pribadi yang tidak hanya menuntut kesempurnaan dari orang lain, tetapi juga sedikit dari dirinya sendiri, dan mungkin itulah yang membuatnya sulit untuk menerima kelembutan atau kompromi.
Maya mendesah pelan setelah menyelesaikan penjelasannya tentang standar kinerjanya yang keras. Dia kemudian tersenyum tipis, seolah ingin melupakan ketegangan yang baru saja terjadi. “Nathan, lupakan kejadian barusan,” katanya dengan nada yang lebih ringan. “Mama terlalu keras pada mereka, tapi itu yang harus Mama lakukan.”
Nathan mengangguk pelan, masih mencerna sisi lain dari Maya yang baru saja ia lihat. Namun, sebelum sempat berbicara, Maya melanjutkan dengan sebuah pernyataan yang membuatnya terkejut.
“Ngomong-ngomong, Mama ingin menguji sesuatu,” ujar Maya sambil menatap Nathan dengan tatapan yang tajam, namun kali ini berbeda, ada kilatan antusias di matanya. “Bagaimana kalau kita sparring? Mama ingin tahu, seberapa tangguh kamu sebenarnya.” Maya berhenti sejenak, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Mama masih tidak habis pikir, bagaimana bisa kamu mengalahkan dua anak buahku Mama,” lanjutnya, sedikit sinis namun juga penasaran. “Mereka bukan sembarang orang, Nathan. Keduanya sudah terbiasa bertarung dan tak mudah ditaklukkan. Mereka tidak seharusnya kalah begitu saja. Jadi, sekarang Mama penasaran… apakah itu hanya keberuntungan atau ada sesuatu yang lebih darimu.”
Nathan terkejut bukan main, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Sparring? Maksud Mama… bertarung?” Nathan bertanya, memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
Maya tertawa kecil, kali ini dengan senyum yang lebih hangat namun tetap penuh tantangan. “Ya, sparring. Mama punya tempat latihan di sini. Mama suka melatih tubuh Mama, dan Mama ingin tahu apakah kamu bisa mengikuti ritme Mama, seperti di pekerjaan.” Tatapannya tajam, penuh keyakinan, seolah tak menerima penolakan.
Nathan terdiam sejenak, masih belum yakin apakah ini serius atau sekadar gurauan. “Aku tidak tahu…,” Nathan ragu, merasa tidak yakin dengan tantangan ini. “Aku bukan petarung, Ma … Maksudku, aku berolahraga, tapi sparring? Aku rasa itu bukan keahlianku.”
Maya tersenyum lebar, lalu berdiri dan menatap Nathan penuh keyakinan. “Jangan khawatir. Mama tidak akan membunuhmu.” Suaranya penuh tantangan. “Ayo, hanya sekadar latihan. Mama ingin tahu seberapa kuat mental dan fisikmu.”
Nathan terkejut dan bingung, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Maya. Hati Nathan pun berkata, “Apakah benar dia bisa bertarung? Kalau dia benar-benar bisa bertarung, ini adalah kejutan besar.”
Rasa penasaran mulai menguasai pemuda itu. Nathan semakin tertarik untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan Maya dalam bertarung. Setelah beberapa detik, Nathan akhirnya mengangguk. “Baiklah,” katanya dengan nada lebih tegas. “Aku akan menerima tantangan Mama. Mari kita lihat apa yang Mama punya.”
Maya tersenyum puas. “Kita lihat nanti,” jawabnya penuh semangat. “Ayo, ikuti Mama.”
Mereka pun keluar dari ruangan dan menuju ke salah satu bagian gedung yang terlihat lebih tersembunyi. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan yang terlihat seperti gym pribadi. Lantainya dilapisi matras, ada berbagai alat latihan, dan di tengah ruangan terdapat arena sparring. Arena ini berbentuk lingkaran dengan diameter yang cukup luas. Permukaan arena terbuat dari bahan yang anti-slip dan mudah dibersihkan, memberikan pijakan yang stabil saat bergerak cepat atau melakukan teknik bertarung. Di sekeliling arena terdapat garis-garis yang menandai batas-batasnya, dan di sudut-sudutnya ada tiang-tiang kecil yang sering digunakan untuk latihan kekuatan atau teknik.
Nathan menatap ruangan itu dengan takjub. “Wow… Mama benar-benar serius dengan ini, ya?” tanyanya, masih belum percaya dengan apa yang akan terjadi.
“Tentu saja …” jawab Maya santai.
Maya melangkah ke tengah arena dengan ketenangan. Dengan gerakan lembut, dia mulai melepas roknya, membiarkannya meluncur ke lantai. Saat rok terjatuh, Maya menendang rok itu ke samping, ia hanya menyisakan blouse putih yang membalut tubuhnya dan celana dalam putih yang di bagian pangkal pahanya terlihat sedikit menonjol. Blouse yang Maya kenakan, tipis dan sedikit transparan, menempel pas pada lekuk tubuhnya, mempertontonkan bentuk payudaranya dengan elegan. Celana dalam putihnya, walau sederhana namun menampilkan keanggunan, melengkapi penampilannya yang sempurna.
Nathan merasa terpesona dan agak canggung, tidak bisa mengabaikan daya tarik magnetis yang ditunjukkan Maya di tengah arena sparring. Dalam suasana yang penuh ketegangan ini, Maya memancarkan aura yang sulit diabaikan. Nathan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Maya. Perasaan canggung semakin mendalam ketika dia menyadari bahwa ketertarikan yang ia rasakan bukan hanya terhadap penampilan fisik Maya, tetapi juga terhadap cara Maya mengekspresikan dirinya.
“Kesini anak nakal!” perintah Maya yang langsung saja membuyarkan lamunan Nathan.
“Apa … Mama yakin?” sekali lagi Nathan bertanya ingin keyakinan sambil berjalan ke tengah arena sparring.
“Kamu tahu? Mama tidak suka pada orang yang banyak bicara!” ucap Maya yang tiba-tiba menyerang Nathan yang baru saja sampai di tengah arena.
Maya melesat maju dengan kecepatan yang mengejutkan, melancarkan serangan yang cepat dan terarah. Nathan, terkejut oleh serangan mendadak itu, namun berhasil menghindar dengan gesit, melangkah ke samping untuk menghindari pukulan pertama Maya. Dia membalas dengan sebuah serangan balasan, namun Maya dengan cekatan menghindar dan segera melancarkan tendangan rendah yang membuat Nathan harus melompat ke belakang untuk menghindari dampaknya.
Nathan sangat terkejut melihat betapa sempurnanya gerakan menyerang dan bertahan Maya. Setiap gerakan Maya, baik dalam menyerang maupun bertahan, tampak seperti hasil latihan bertahun-tahun. Tidak hanya itu, Nathan kini menyadari bahwa Maya benar-benar ahli dalam bela diri, kemampuan yang sama sekali tidak ia duga sebelumnya.
Nathan mulai menyesuaikan ritmenya, berusaha membaca gerakan Maya yang ternyata sangat terampil. Dia berusaha untuk menangkap momen di mana Maya lengah, namun setiap kali pemuda itu melancarkan serangan, Maya selalu siap dengan tangkapan atau blok yang efisien. Beberapa kali, Nathan berhasil memberikan pukulan dan tendangan ringan yang membuat Maya sedikit mundur, tapi serangan-serangan itu tidak cukup untuk benar-benar membuat Maya tertekan.
Maya, tampak semakin bersemangat, mengubah pola serangannya dengan lebih agresif. Setiap gerakan Maya menunjukkan teknik yang terlatih dan keahlian bertarung yang sangat mumpuni. Nathan merasa semakin sulit untuk mengimbanginya, terutama saat Maya mulai mengarahkan serangan yang lebih kuat dan terkoordinasi.
Dalam satu momen ketika Nathan mencoba melakukan serangan yang lebih berani, Maya memanfaatkan kesempatan itu dengan sangat baik. Dia melancarkan sebuah tendangan melingkar yang tepat mengenai sisi Nathan, membuatnya terhuyung dan terjengkang. Nathan terjatuh ke matras, terengah-engah dan sedikit terkejut. Maya berdiri di atasnya, masih dengan ekspresi penuh percaya diri, mengingatkan Nathan tentang kekuatan dan keahlian yang dimilikinya.
“Hi hi hi … Hanya segitu kemampuanmu anak nakal?” ejek Maya sambil bertolak pinggang.
Nathan berdiri sambil mengatur napas, “Aku belum kalah.”
“Hi hi hi … Mama belum keluarkan seluruh kemampuan Mama, maka jangan coba-coba meremehkan Mama. Bertarunglah dengan sungguh-sungguh jika tidak ingin terluka,” Maya menebar ancaman.
Nathan, yang masih merasa terengah-engah, mencoba menenangkan diri. “Ingat, ini hanya latihan. Jangan terlalu serius, Ma …”
Maya meluruskan tubuhnya dan menatap Nathan dengan serius. “Latihan dengan Mama bukan untuk bermain-main. Dalam latihan ini, harus ada yang terluka dan benar-benar kehabisan tenaga. Kalau kamu tidak serius, kamu yang akan merasakan akibatnya.”
Mendengar ucapan Maya, Nathan merinding dan merasakan ketegangan yang nyata. Dia menyadari bahwa Maya tidak hanya serius dalam bertarung, tapi dia juga memiliki sikap yang tegas dan tidak kompromi. Dengan rasa terkejut dan sedikit ketakutan, Nathan mengangguk perlahan, “Kalau begitu, aku akan bertarung dengan sepenuh hati. Jangan salahkan aku kalau Mama terluka.”
Maya tersenyum penuh percaya diri dan sedikit menantang. “Oh, jangan khawatir, sayang … Yang akan terluka nanti adalah dirimu, bukan Mama.”
Dengan perasaan tak menentu, Nathan mempersiapkan diri untuk melanjutkan pertarungan. Dia tahu sekarang bahwa dia harus menghadapi Maya dengan segenap kemampuannya. Nathan melesat ke depan, melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan dan tendangan yang bertenaga, berusaha membungkam omongan Maya yang menantang. Dia memusatkan seluruh energinya untuk setiap pukulan dan tendangan, berharap bisa merobohkan pertahanan Maya yang nampaknya tak tergoyahkan.
Maya tampak tenang, hampir santai, menghadapi serangan-serangan Nathan dengan gerakan yang sangat terampil. Dengan hanya menggunakan telapak tangannya, Maya menangkis setiap pukulan Nathan seolah-olah ia hanya menghadapi angin kencang. Setiap kali pukulan Nathan menghantam, Maya mampu menangkisnya dengan mudah, mengarahkan serangan Nathan ke arah yang melenceng, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membelokkan serangan tersebut.
Nathan, merasa semakin frustasi, meningkatkan intensitas serangannya. Dia mengarahkan serangan yang lebih kuat, mencoba berbagai kombinasi pukulan dan tendangan dengan harapan bisa mengganggu keseimbangan Maya. Namun, Maya bergerak dengan kecepatan dan ketangkasan yang mengesankan, menghindari serangan-serangan Nathan dengan gerakan gesit dan akurat. Setiap serangan yang dilancarkan Nathan seolah hanya menambah ketegangan pertarungan, sementara Maya tetap dalam kendali penuh.
Dalam sebuah momen yang dramatis, Maya akhirnya memutuskan untuk menyerang balik. Tubuh Maya berkelebat dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan dalam sekejap, dia melancarkan sebuah tendangan yang sangat kuat dan tepat sasaran. Tendangan itu mengenai sisi Nathan dengan keras, membuatnya terlempar beberapa meter dan jatuh ke matras dengan keras. Nathan terbaring di lantai, merasakan rasa sakit yang tajam dan mengerang kesakitan. Maya berdiri di tengah arena dengan sikap penuh percaya diri, menunjukkan bahwa menguasai teknik bela diri dengan sangat baik.
“Hi hi hi … Kemampuanmu cuma segitu anak nakal, kamu bahkan tidak bisa menyentuh Mama …” ucap Maya sembari mendekati Nathan yang terbaring dan mengerang kesakitan.
“Ahkkk … Ini sakit sekali …” erang Nathan sambil memegangi tulang belikatnya.
“Bangunlah … Rasa sakit itu belum seberapa …” ucap Maya sembari memberikan tangannya pada Nathan. Nathan menyambut tangan Maya dan dibuat sebagai tumpuan untuk berdiri.
Dengan bantuan Maya, Nathan berhasil berdiri meskipun masih terhuyung-huyung. Rasa sakit di tubuhnya masih terasa tajam, namun dia memaksakan diri untuk berdiri tegak. Maya, meskipun masih dengan ekspresi penuh kesombongan, menunjukkan sedikit kelembutan saat membantu Nathan.
“Bagaimana? Sudah siap untuk melanjutkan?” tanya Maya dengan nada yang masih penuh tantangan, namun ada kilatan kebanggaan di matanya.
Nathan menarik napas dalam-dalam, berusaha menghilangkan rasa sakit dan kelelahan yang melanda tubuhnya. “Jika ini yang Mama sebut latihan, aku rasa aku harus menyiapkan diri lebih baik lagi.”
Maya tersenyum, memandang Nathan dengan penuh rasa hormat. “Itu semangat yang Mama ingin lihat. Latihan ini bukan sekedar melatih kekuatan fisik, tetapi juga tentang mental dan tekad. Jadi, jika kamu masih ingin bertarung, kamu harus siap untuk lebih dari ini.”
Nathan mengangguk, merasakan rasa sakit bercampur semangat yang baru muncul. “Aku mengerti … Aku akan berusaha lebih keras.”
Maya memberikan dorongan terakhir dengan sebuah tepukan ringan di bahu Nathan, lalu mundur beberapa langkah. “Baiklah, jika kamu sudah siap, ayo kita lanjutkan. Tapi ingat, itu tadi hanya permulaan. Jangan marah jika kamu merasa lebih sakit lagi nanti.”
Nathan mengatur ulang posisinya, berusaha mengumpulkan energi yang tersisa. Nathan, kini dengan semangat baru dan tekad yang diperbaharui, menyerbu Maya dengan kekuatan dan keseriusan penuh. Serangan-serangan Nathan kali ini dilancarkan dengan kecepatan dan tenaga yang lebih besar, seolah ingin membuktikan kemampuannya. Namun, Maya masih saja tampak tenang, tanpa kesulitan yang berarti mampu menghindari setiap pukulan dan tendangan yang dilancarkan Nathan. Wanita itu bergerak lincah, memanfaatkan setiap peluang untuk mengalihkan serangan Nathan, seolah-olah gerakan Nathan terlalu lambat untuknya.
Sambil menghindari serangan-serangan Nathan, Maya tidak bisa menahan pujian. Dalam hatinya dia berkata: “Kemampuan bertarungnya cukup mumpuni.” Sambil tersenyum senang Maya melompat ke samping atau berputar dengan gesit. Diam-diam, Maya merasa kagum dengan kegesitan dan kelincahan yang ditunjukkan Nathan, menyadari bahwa putranya memang memiliki potensi yang sangat baik.
Setelah beberapa waktu, Maya mulai mengubah pendekatannya. Dengan santai, dia mulai menyerang Nathan menggunakan tidak lebih dari seperempat dari kekuatan yang sebenarnya dia miliki. Serangan-serangan Maya yang awalnya lembut dan terkontrol mulai semakin agresif. Kini, keadaan terbalik; Nathan harus berjuang keras untuk menghindari dan menghalau serangan Maya yang datang bertubi-tubi. Maya tampak menguasai arena dengan kecepatan dan teknik yang sangat mengesankan, membuat Nathan benar-benar tak percaya bahwa ibunya memiliki keterampilan bela diri yang luar biasa.
Dalam pertarungan yang berlangsung hampir tiga puluh menit, Nathan mulai merasa kelelahan. Maya, dengan kecepatan yang hampir tidak bisa ditahan oleh Nathan, melancarkan serangan bertubi-tubi yang sangat cepat. Nathan hanya mampu menangkis serangan-serangan yang terus menerus mengarah pada tubuhnya, dengan setiap pukulan Maya seolah membawa kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Dan pada akhirnya, sebuah pukulan Maya yang sangat kuat mengenai dada Nathan, membuat pemuda itu terjajar mundur beberapa langkah.
Nathan merasakan rasa sakit yang tajam di dadanya juga merasa sesak, napasnya tersengal-sengal. Nathan akhirnya tersungkur di atas kedua lututnya, memegangi dadanya yang terasa sakit. Tubuh pemuda itu terkulai lemas, sementara Maya berdiri di seberangnya dengan napas yang masih sangat stabil, menunjukkan bahwa dia memiliki kendali penuh atas pertarungan ini.
“Aku menyerah …” kata Nathan sembari mengangkat tangan kanannya.
“Hi hi hi … Mama terima …” jawab Maya setelah terkekeh ringan.
Maya berjalan ke arah roknya yang tergeletak di sisi arena. Dengan gerakan yang elegan, dia mengenakannya kembali, mengatur lipatan roknya dengan sempurna sebelum akhirnya mendekati Nathan yang kini tertelungkup di atas matras. Nathan, yang masih merasakan kelelahan yang teramat sangat, merasakan sakit yang tajam di dadanya, membuatnya semakin kesulitan untuk bergerak.
Maya berjongkok di samping tubuh Nathan, memperlihatkan sisi lembutnya yang jarang terlihat selama pertarungan. Dengan lembut, dia mengusap punggung Nathan, memberikan sentuhan yang menenangkan di tengah kepenatan. Entah apa yang terjadi, seolah ada kekuatan menenangkan dari sentuhan Maya, dada Nathan perlahan-lahan terasa lebih baik, dan rasa sakitnya mulai berkurang. Perlahan, rasa sakit yang menyiksa itu menghilang, memberikan sedikit kenyamanan setelah usaha kerasnya.
Nathan mulai duduk bersila, perlahan mencoba mengatur napasnya dengan hati-hati. Dia menarik dan menghembuskan napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya dan memulihkan ritme pernapasannya yang sempat kacau. Melihat usaha Nathan untuk rileks, Maya tersenyum lembut. Dia pun duduk di sampingnya dengan anggun, melipat lututnya dan duduk bertumpu pada telapak kakinya, menunggu dengan sabar hingga Nathan merasa tenang. Setelah beberapa saat, pemuda itu membuka matanya dan menatap ibunya. Rasa hormat bercampur kelelahan terpancar dari wajahnya yang masih terlihat letih. Maya terus tersenyum, matanya memancarkan perhatian yang hangat, mengamati putranya dengan penuh kasih.
Nathan menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Dengan masih menatap Maya, dia menggeleng pelan, seolah tidak percaya. “Aku masih nggak percaya, Ma,” ucapnya, suaranya terdengar lemah namun penuh kekaguman. “Bagaimana bisa Mama sehebat itu? Aku bahkan nggak bisa menyentuh Mama sedikit pun.”
Maya tersenyum, matanya berbinar seolah menikmati reaksi putranya. “Kamu masih punya banyak hal yang harus dipelajari, Nak,” jawabnya tenang, tapi dengan nada penuh keyakinan. “Kemampuan bertarung Mama tidak datang begitu saja. Ini hasil latihan bertahun-tahun.”
Setelah percakapan itu, Maya berdiri dan meraih tangan Nathan, membantunya bangkit. Keduanya meninggalkan gedung latihan dan berjalan kembali ke rumah utama. Langkah mereka terdengar tenang, seolah pertarungan yang baru saja terjadi hanya kilasan waktu yang tak berarti. Saat mereka memasuki ruang kopi, aroma harum biji kopi yang diseduh memenuhi udara, menenangkan suasana yang sebelumnya dipenuhi ketegangan. Nathan duduk di kursi sambil mengamati ibunya dengan pandangan yang penuh pertanyaan.
Maya menuangkan dua cangkir kopi, lalu menyerahkan salah satunya kepada Nathan. Mereka duduk berhadapan, diam sejenak menikmati rasa kopi yang hangat. Obrolan ringan pun dimulai, tentang kehidupan di rumah besar itu. Perlahan, pembicaraan semakin dalam, dan Maya mulai menceritakan berbagai hal yang selama ini tidak diketahui putranya. Nathan mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi di balik setiap kata yang keluar dari bibir ibunya, ada kejutan demi kejutan yang membuatnya terdiam. Dia baru menyadari kalau ibunya terlibat dalam jaringan bisnis yang tidak semuanya berjalan sesuai hukum. Ada kesepakatan-kesepakatan tersembunyi, dan aktivitas yang berada di luar batas legalitas.
Nathan, yang tadinya hanya menganggap ibunya sebagai sosok kuat dan dominan, kini melihat sisi lain yang jauh lebih kompleks dan berbahaya. “Jadi, ini semua yang Mama lakukan selama ini?” tanyanya dengan nada sedikit tegang, pandangannya tertuju pada cangkir kopi di tangannya.
Maya hanya tersenyum tipis, menyesap kopinya, tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan secara langsung. “Dunia ini lebih rumit dari yang kamu kira, Nak. Ada kalanya, untuk bertahan, kita harus tahu cara bermain di dua sisi.”
Bersambung