BAGIAN 12 KEBERANIAN
Pelatihan hari ini berlangsung menyenangkan. Meskipun badan terasa sangat lelah akibat pertempuran dengan Dokter Mirza semalam, aku larut dalam keasyikan bersama peserta lain. Ini hari terakhir pelatihan. Besok, kami akan studi banding ke dua tempat lalu meluncur pulang. Mungkin malam baru akan sampai rumah. Aku izin untuk tak masuk kerja besok, nanggung, pikirku. Lagi pula, aku sudah membayangkan bagaimana lelahnya.
Untungnya nanti malam tak ada lagi persetubuhan dengan Dokter Mirza. Aku jadi bisa sedikit istirahat. Meski menyenangkan dan tentu memuaskan, bercinta dengannya membuat kelelahan teramat sangat. Birahinya besar sekali. Energinya juga rasanya tak habis-habis. Menahan birahi yang tidak terpuaskan sekian lama begini ternyata.
Hanya ada satu hal yang membuat pikiranku tidak tenang sedari tadi. Siapa lagi kalau bukan Mbak Eva. Beberapa kali aku memperhatikannya. Beberapa kali pula mata kami bertemu. Aku masih penasaran atas yang kami lakukan tadi malam. Ia sama sekali tak merespon pesanku. Padahal fakta menunjukkan Ia tak mematikan panggilannya hingga aku dan Dokter Mirza selesai bercinta. Aku harus mencari cara.
Selepas jeda makan siang, aku tak melihat sosok Dokter Mirza. Kata Mas Yogi, Ia sedang menemui suaminya di bawah. Aku sudah tak peduli sebenarnya. Kami sepakat tadi pagi akan kembali bertingkah seperti biasa. Tentu agar tak ada kecurigaan yang timbul. Aku tak ingin ada orang lain lagi yang mencurigai kami selain Mbak Eva.
“Ada yang ingin saya bicarakan sama Mbak Eva. Saya ada di kamar 1805 di hotel ini. Kalau mau, saya tunggu nanti setelah selesai pelatihan ya Mbak”
Aku memberanikan diri mengambil sebuah keputusan gila. Entah Ia mau atau tidak, tapi hanya ini yang ada di pikiranku untuk memuaskan rasa penasaran. Aku sudah tak terlibat di sesi terakhir. Hanya evaluasi dan sesi pepisahan untuk peserta. Tak kuketahui juga keberadaan Dokter Mirza dan suaminya. Besok pasti kami ketemu. Aku akan menyiapkan sikap terbaik saja.
Sesi terakhir selesai lebih cepat dari biasanya. Aku sudah pamit ke Mas Yogi setelah makan siang tadi untuk memesan kamar. Saat ini aku sedang harap-harap cemas menunggu keputusan Mbak Eva. Aku juga tak tahu apa yang akan kulakukan kalau Ia benar-benar kemari. Soal bagaimana caranya Ia menghindar dari rekan-rekan yang lain biarlah menjadi urusannya. Kalau sampai jam 5 Ia tak kunjung datang, berarti rencanaku gagal. Jika begitu, mari lupakan dan berharap Ia masih memegang janji untuk menyimpan rahasia ini sendiri.
Tok. Tok. Tok.
Ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku sempat lelap sebentar karena kelelahan. Dadaku bergemuruh. Aku yakin itu Mbak Eva. Tidak ada lagi yang tahu aku sedang berada di sini kecuali dia.
Yes. Aku berhasil. Kuintip dari pintu Ia sedang berdiri gelisah di depan pintu. Aku sedikit menyiapkan diri. Pakaianku masih sama, hanya tidak bersepatu.
“Silakan, Mbak,” kataku sambil membuka pintu
Ia buru-buru masuk. Aku segera menutup pintu. Kulirik arloji sudah hampir pukul 5 sore. Mbak Eva telah berganti pakaian, berarti Ia kembali ke hotel dulu tadi. Ia duduk di sofa yang ada di sebelah ranjang. Aku memilih ke kamar mandi dulu untuk membasuh muka.
“Silakan, Mas, apa yang mau dibicarakan. Biar cepet selesai,” wajahnya nampak gelisah
“Tenang dulu, Mbak. Saya nggak akan perkosa Mbak Eva, kok,” kataku berusaha setenang mungkin
“Lalu apa yang Mas Bayu inginkan?” tanyanya penuh selidik
“Tidak ada kecuali ngobrol dengan Mbak Eva,” aku masih berusaha santai
“Itu pertanyaan saya tadi, apa yang mau diobrolkan?” tanya Ia mengulangi
Aku menarik nafas panjang. Lalu duduk di sisi ranjang dekat tempat Ia duduk sedari tadi.
“Saya mau minta maaf soal tadi malam. Saya benar-benar kehilangan akal sehat. Saya pikir hanya itu tindakan yang bisa membuktikan perkataan saya soal hubungan dengan Dokter Mirza,” kataku mulai menjelaskan
Mbak Eva diam namun memperhatikan. Ia lebih sering menunduk, seperti pertemuan lalu.
“Saya tahu Mbak Eva tidak mematikan panggilan sampai kami selesai. Tapi saya nggak tahu apa Mbak Eva lihat yang kami lakukan atau tidak. Saya cuma mau bilang begitu kenyataannya. Saya hanya berharap Mbak masih pegang janji kemarin,” aku mulai mengiba dengan nada rendah
Ia menarik nafas dalam lalu menutup mukanya dengan kedua tangan. Aku hanya bisa diam, menunggu kalimatnya.
“Saya percaya, Mas, karena saya lihat semuanya,” Ia mulai bicara tapi belum menatapku
Aku masih diam, menunggu Ia melanjutkan.
“Belum pernah saya lihat orang begituan secara langsung. Saya cuma nggak nyangka ternyata Dokter Mirza begitu. Pandangan saya salah selama ini,” katanya menunjukkan raut kekecewaan
“Pandangan Mbak Eva tidak salah. Dokter Mirza tetap orang baik seperti yang Mbak lihat sebelumnya. Itu hanya sisi lain dari dia yang kebetulan muncul ketika bertemu saya,” kataku membela, “Kadang setiap orang nggak bisa cuma dilihat hitam dan putih, Mbak. Selalu ada warna lain,” tambahku
Kami sama-sama diam untuk beberapa saat.
“Sudah berapa kali Mas Bayu seperti ini?” tanyanya tiba-tiba
“Kalau yang Mbak Eva maksud adalah selingkuh, ini baru pertama kali selama saya menikah,” jawabku
“Sebelumnya, saya menganggap apa yang suami berikan sudah cukup. Tak ada keinginan meminta lebih. Kepikiran saja tidak. Tapi setelah tadi malam, pikiran saya berubah,” katanya sambil tetap sesenggukan
Aku jadi merasa bersalah. Tapi, bukankah itu juga membantu memperlihatkan kenyataan hubungan suami istri yang seharusnya. Mbak Eva berdiri, lalu lari ke kamar mandi. Aku tak tahu apa yang Ia lakukan. Ia keluar setelah hampir 15 menit. Setelah itu kami justru lebih rileks dan berbincang santai. Aku berusaha tidak membahas perihal tadi malam.
Aku akhirnya tahu latar belakang keluarga dan sedikit kehidupan pribadinya. Selain mengenyam pendidikan pesantren, Ia juga relatif tak begitu banyak bergaul dengan dunia luar. Menikah di usia 22 tahun membuatnya kian terdomestifikasi. Beruntung kemudian Ia ikut aktif di kegiatan sosial ini. Alih-alih melarang, suaminya malah mendukung penuh. Asalkan tak melupakan kewajiban utama sebagai istri. Melayani suami dan mengasuh anak, begitu katanya. Tipe keluarga tradisional di daerah. Namun pengetahuannya soal berkeluarga dan hubungan dengan lawan jenis memang tak banyak. Meski Ia telah lama aktif di kegiatan seperti ini, Ia memilih menutup diri dan menghindar dari hubungan berlebihan dengan lawan jenis. Prinsip yang dipegang teguh katanya.
Lagi-lagi, aku yang menghancurkan semua itu. Setelah Dokter Mirza, kini Mbk Eva. Meski tak ku apa-apakan, setidaknya Ia punya pandangan lain soal hubungan antara laki-laki dan wanita. Terutama seks.
“Saya pesankan makan ya, Mbak? Atau mau makan di luar?” tanyaku menawarkan
“Makan di sini saja, Mas. Setelah itu biar saya balik ke hotel,” jawabnya
Akhirnya kutelepon resepsionis untuk memesan makanan. Kami berbincang hampir satu jam sedari tadi. Aku hanya menjadi pendengar setia sembari sedikit-sedikit menimpali. Aku pamitan mandi karena sambil menunggu makanan datang. Kini pikiranku melayang kemana-mana. Aku masih bingung tindakan apa yang akan kuambil setelah ini. Hanya sekadar berbincang dan memastikan Ia masih dalam kendali atau berbuat lebih. Kesempatan itu terbuka lebar. Secara tidak langsung Ia telah bilang kalau kehidupan seksnya monoton. Dan aku yakin setelah melihat Dokter Mirza teriak keenakan, ada perasaan ingin menikmati juga. Setan-setan mulai membabi-buta mempengaruhi pikiranku. Setelah dipikirkan lagi, ada risiko Ia menolak dan menjadikan kelakuanku sebagai alasan untuk membongka rahasia. Ah. Kenapa aku jadi pusing begini.
“Makanannya sudah datang, Mas. tadi terpaksa saya buka pintu,” katanya setelah aku keluar dari kamar mandi
“Silakan makan dulu, Mbak. Aku pakai baju dulu,” aku sengaja keluar hanya memakai handuk
Setelah berpakaian lengkap yang artinya pakai kaos dan celana kolor, aku menyusul Mbak Eva makan. Kami tak banyak berbincang. Aku bingung memperbincangkan apa lagi. Kepalaku dipenuhi pikiran kotor untuk memanfaatkan situasi ini. Tapi tak tahu bagaimana cara memulainya. Pandanganku kepada Mbak Eva sudah lain. Meski Ia memakai baju tertutup dan longgar, mataku tetap bisa menemukan tonjolan-tonjolan di beberapa bagiannya. Karena tubuhnya yang cukup ramping membuat tonjolan itu tetap terlihat waau disembunyikan seperti apa pun. Apalagi oleh mata dan pikiran yang kadung penuh hal-hal mesum begini.
“Mau saya antar balik ke hotel habis ini, Mbak?” tanyaku basa-basi
“Eh, nggak usah, Mas. Malah bahaya kalau sampai ada yang lihat,” jawabnya gugup
“Mbk Eva kok kelihatan bingung gitu, kenapa?” tanyaku
“Nggak kok, nggak apa, Mas,” Ia menyelesaikan makan, lalu ke kamar mandi
Ia kembali dari kamar mandi saat aku menyelesaikan makanku. Tapi wajahnya masih terlihat bingung.
“Saya sebenarnya tadi pamitan nginap di rumah teman sama Mbak Yulia,” katanya sambil duduk di tepi ranjang
“Apa Mbak Eva tidur sini saja biar saya balik ke hotel?” jawabku spontan
Aduh. Kenapa jawaban itu yang keluar. Aku melepas kesempatan yang sudah di depan mata.
“Saya nggak enak sama Mas Bayu,” Ia masih bingung
“Atau begini saja kalau Mbak Eva tidak keberatan. Saya biar tidur di sofa saja deh,” jawabku tak mau kehilangan kesempatan dua kali
“Mas Bayu nggak apa?” tanyanya
Ah gila. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi kesempatan ini harus diambil.
“Santai saja, Mbak. Saya nggak macem-macem, kok. Mbak Eva teriak saja kalau saya aneh-aneh,” kataku dengan nada bercanda
Ia tersenyum. Manis juga ternyata. Kami berada dalam suasana canggung untuk beberapa saat.
“Mbak saya mau tanya tapi kalau Mbak Eva nggak mau jawab juga nggak apa,” aku kebingungan merangkai kalimat yang baik
“Kenapa, Mas?” tanyanya
Kami sudah sama-sama rebahan. Ia di ranjang, aku di sofa.
“Setelah tadi malam, pandangan Mbak Eva kepada saya bagaimana? Dan kenapa Mbak Eva memutuskan ke sini?” tanyaku dengan sedikit gugup
Ia diam beberapa saat. Hanya suara nafas kami berdua dan televisi yang tak ditonton yang ada di ruangan ini.
“Saya bingung, Mas. Ada perasaan takut dan penasaran di pikiran saya sampai sekarang,” jawabnya
“Maksudnya, Mbak?” tanyaku antusias
Ia diam lagi, kali ini lebih lama. Aku tak berusaha mendesak.
“Bagaimana rasanya begituan dengan Dokter Mirza?” Ia malah tak menjawab pertanyaanku
Aku tersenyum. Ini hanya soal waktu.
BERAMBUNG….