BIMBANG BAGIAN 3
Hari ini, Ia masih berhasil menjadi istri yang baik. Tak terlalu baik sebenarnya. Tapi cukup berhasil menahan diri. Kelepasan sedikit saja, Ia pulang sebagai istri yang telah main serong. Kian hari, godaan makin besar untuk meneguhkan hatinya menjadi istri yang baik. Sumpah yang Ia ucapkan 14 tahun lalu. Hari yang tak akan pernah dilupakan oleh Mirza. Ia menjatuhkan pilihan pada seorang laki-laki, yang meski Ia tahu nama dan profilnya, tapi tak lama dikenal. Pilihan keluarga adalah yang terbaik baginya. Sebagai anak penurut dan begitu berbakti kepada kedua orang tua, Ia menerima tawaran yang sebenarnya lebih terkesan sebagai paksaan. Tapi Ia menerimanya. Dengan ikhlas, dengan lapang dada. Ia putuskan mengabdikan hidupnya pada lelaki itu.
Dua malam setelah hari itu, Ia baru merasakan menjadi seorang istri sesungguhnya. Pesta keluarga besar membuat Ia dan suami tak sempat melakukan ritual sepasang pengantin baru. Sebagi seorang dokter, sang suami juga tentunya, mereka hafal sekali persoalan tubuh manusia. Rasanya tak perlu diajarkan lagi. Dibesarkan dalam keluarga religius membuatnya segan untuk berbicara soal urusan ranjang. Yang Ia ingat hanya pesan Sang Ibu beberapa hari sebelum pernikaha. “Tugas istri adalah mengabdi pada suami. Tubuhmu menjadi milik suamimu sepenuhnya. Buat suamimu merasa senang ketika berada di dalam kamar,” begitu bunyi pesan itu. Ia memegangnya teguh. Sampai hari ini.
Mirza bukan wanita bodoh dan miskin pengetahuan. Selama sekolah, Ia belajar banyak hal. Juga bertemu dengan berbagai jenis manusia. Ia tahu bahwa dalam hubungan suami istri di atas ranjang, kedua belah pihak berhak mendapatkan kepuasan. Namun pesan ibunya malam itu melekat lebih kuat dari ilmu. Ia memendamnya. Suaminya tak mampu memenuhi ekspektasi. Tentu dalam urusan ranjang yang dimaksud di sini. Selama berhubungan, Ia merasa hanya beberapa kali merasakan apa yang Ia tahu sebagai orgasme. Hal yang kemudian membuatnya berani membahas masalah itu setelah 10 tahun menikah. Iya, Mirza baru erai setelah se lama itu. Sekal lagi, Ia tak mendapatkan hasil sesuai ekspektasi. Suaminya berang. Merasa disentil ego tertingginya sebagai lelaki, Ia memakai dalih beraneka rupa. Mirza kembali mengingat pesan ibunya. Ia minta maaf. Beberapa hari setelah itu, hubbungan mereka baik kembali. Tapi tubuhnya mengatakan tidak. Usianya 37 tahun. Ia merasa melewatkan banyak hal. Mungkin usia aktivitas seksualnya tak lama lagi. Tinggal 10 tahun mungkin, atau bahkan kurang dari itu. Dengan kondisi seperti ini, tak ada yang bisa diharapkan. Ia kembali mengingat pesan ibunya. Kehidupan kembali berjalan seperti biasanya.
Ujian memang datang pada manusia setiap waktu. Apa pun bentuknya. Dalam kehidupan yang sudah dijalani, rasanya sulit bagi Mirza mendapatkan ujian ekonomi atau kesusahan sejenis. Ia mendapatan ujian dalam bentuk lain. Penceramah seringkali berkata bahwa kenikmatan juga ujian. Begitu yang sedang dihadai Mirza saat ini. Laki-laki muda bernama Bayu Widiansyah yang baru Ia kenal selama 6 bulan ini begitu memenuhi pikirannya. Bukan. Ia tak sedang jatuh cinta. Meski menikah dengan perjodohan, waktu berhasil membuatnya jatuh cinta pada suaminya itu. Meski dengan kekurangan yang selalu Ia keluhkan. Bayu adalah soal yang selama ini tak begitu Ia dapatkan dari lelaki yang dicintainya. Pertemuan hari ini membuat sisi lain dari Mirza perlahan keluar. Bayu berhasil memancing itu. Untungnya, Ia cepat sadar. Tapi Bayu telah membuatnya keluar. Ia hampir melakukannya. Tubuhnya, dan tentu saja bagian otak yang memintanya berpikir jorok, menyetujui itu. Tapi Ia berhasil menahannya hari ini. Entah besok atau lusa.
Bayu tidak terlampau tampan. Ia laki-laki biasa dengan tinggi setara dengannya. Bukan laki-laki idaman ibu-ibu paruh baya di luar sana. Tubuhnya biasa, tak kurus juga tak gemuk. Katanya, Bayu masih suka olahraga meski tak rutin. Tapi cara bicara, gestur, hingga bagaimana Ia memperlakukan orang lain, terutama wanita, membuatnya terkesan. Dalam pikirannya, Ia merasa Bayu sangat menarik secara seksual. Bayu bukan laki-laki yang rapi seperti suaminya. Gaya pakaian dan tingkah lakunya terkesan sekenanya. Rambutnya juga agak panjang. Tak layak sebagai orang kantoran. Tapi itulah pesonanya. Mirza merasa laki-laki seperti ini yang membuat tubuhnya panas. Entahlah.
Mirza sedang susah memejamkan mata. Suaminya sudah lelap. Ia masih kepikiran kejadian sore tadi. Bagi wanita sepertinya, itu adalah hal yang luar biasa. Sesuatu yang paling berani yang pernah Ia lakukan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tubuhnya birahi. Tak mungkin Ia mengajak suaminya bersetubuh malam ini. Selain tak akan mampu memenuhi hasratnya, Sang Suami tak suka jika sedang tidur dibangungkan. Kecuali untuk hal yang amat penting. Kepuasan batinnya tak termasuk hal yang amat penting itu.
Ia memejamkan mata. Hanya satu doanya sebelum tidur malam ini. Ia tak mengigau dan menyebut nama Bayu dalam mimpinya. Ini akan menjadi petaka luar biasa. Hidupnya mungkin akan hancur tak bersisa.
BERSAMBUNG….