Skip to content

PERSELINGKUHAN

MENYUSUN KESEMPATAN​

BAGIAN 6

MENYUSUN KESEMPATAN

“Kita nggak punya waktu banyak, Mas.”

Kami sedang bergumul memacu birahi yang lebih dari seminggu ini tertahan. Aku sedang memainkan vaginanya dengan hanya mengangkat rok yang Ia kenakan. Vaginanya sudah sangat basah. Ia tak kuat menahan nafsu, katanya.

Kami memang tak punya banyak waktu. Ini jam 12 siang. Aku menyempatkan diri mampir ke RS tempatnya bekerja. Jam 1, Ia sudah harus ada di kantor dinas kesehatan untuk rapat. Kami berpacu dengan waktu. Juga berpacu dengan nafsu.

“Dari belakang aja ya, Mas,”

Dokter Mirza memposisikan diri. Kalau kalian ingin tahu, kami bercinta di balik meja kerjanya. Entahlah, katanya ini posisi yang paling aman. Di pintu ruangannya memang ada kaca kecil untuk melihat bagian dalam, dan kaca itu tak bisa menjangkau area ini.

“Uhhh”

Ia mengerang ketika penisku berhasil menembus gundukan itu. Aku kangen sekali dengan daging tembem ini. Ia masih berpakaian lengkap saat berulang kali mendesah menghadapi sodokan penisku. Sedangkan aku hanya menurunkan bagian bawah tentunya. Sebenarnya, aku ingin mengerjadi payudara kenyal itu, tapi kondisi tak memungkinkan. Entah mengapa, nafsuku makin menjadi dalam persetubuhan kali ini.

“Mas, OHH. Kenapa saya jadi nafsu banget ya”

Aku masih memompa vaginanya dengan konstan sambil memukul pantatnya yang buat. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.

“Lebih cepat, Mas. Aduh. Oh. Kita harus sering-sering Uhh”

Ia meracau makin tak jelas. Sesekali, kepala menengok ke arahku. Sangat menggairahkan wajahnya. Rasanya, ingin kuterkam bibir dan seluruh bagian wajahnya. Oh ya, aku menaikkan kecepatan pompaan pada vaginanya.

“Mas, please. Harder, please”

Ia makin mendesah. Bahkan, Ia ikut menggerakkan tubuhnya maju mundur. Penisku rasanya seperti ditelan lalu diaduk dan dihempaskan. Begitu terus sampai merinding.

“Bareng Mas, Ahh. Saya mau sampai. Ayo Ah. Ah. Ah”

Spermaku sudah di ujung. Gerakanku juga makin cepat cenderung tak beraturan. Tangan Dokter Mirza diarahkan ke belakang, kutarik dan kujadikan tumpuan. Kami makin kacau, gerakannya tak terkontrol.

“OH MY GOD OOOHHHH”

Kami orgasme, bersamaan. Aku sampai tak percaya orgasmeku bisa semenegangkan begini. Sensasi bercinta dengan Dokter Mirza selalu menakjubkan. Atau memang berselingkuh selalu seperti ini? Entahlah.

Dengan nafas yang belum teratur benar, kami beranjak merapikan diri. Dokter Mirza memilih lebih dulu ke kamar mandi, aku mendapat giliran setelahnya. Tak ada kalimat keluar dari mulut kami berdua sampai keadaan kami benar-benar rapi. Lalu kami tertawa bersamaan. Sungguh lucu bagaimana puncak kenikmatan yang baru saja kami raih. Aku merasa seperti sepasang ABG yang baru saja mengenal seks. Tak mengenal tempat dan waktu. Tiap ada kesempatan, hajar saja. Belum pernah rasanya aku semenggebu ini dalam urusan seks. Wanita ini telah membuatku melupakan akal sehat.

“Saya pamit duluan ya Dok,” kataku mengundurkan diri

“Hati-hati, Mas. Nanti aku kabari perkembangannya,” jawabnya dengan senyuman menggoda

Kami punya kebiasaan langsung bertingkah formal setelah bersetubuh. Oh ya, hari ini adalah keempat kalinya kami mengadu alat kelamin. Dua kesempatan lain kami lakukan di sekolah miliknya dan ruangan ini juga. Dan sudah sebulan sejak pertama kali kami berselingkuh. Sejauh ini semua berjalan lancar. Kami sama-sama puas. Kemampuan oral Dokter Mirza juga kian baik. Jangan tanya lagi bagaimana Ia mempermainkan penisku di vaginanya. Sebenarnya belum terlalu banyak variasi gaya bercinta yang kami lakukan. Ini juga karena waktu kami tak pernah banyak ketika bersetubuh. Dengan postur tubuh seperti itu, doggy style adalah favoritku. Namun Ia lebih suka di atas, katanya. Kami sedang memutar otak mencari waktu yang lebih panjang untuk lebih mengeksplorasi fantasi masing-masing.

*

“Untuk rencana studi banding dan pelatihan teman-teman kader, Mas Bayu jadi ikut?”

Pesannya pagi itu kubaca dengan arti lain. Kesempatan itu tiba rupanya. Aku yakin Ia akan mengaturnya sedemikian rupa agar kami berhasil memiliki waktu yang diidam-idamkan itu.

“Sepertinya jadi, Dok. Kemarin atasan mengizinkan saya ikut”

Kami masih berhasil untuk terus menggunakan percakapan formal dalam setiap pesan yang kami kirim. Ini juga berlaku saat kami bertemu di tengah banyak orang..

“Baik. Nanti biar diatur teman-teman bagaimana enaknya”

“Terima kasih, Dok”

Waktu yang ditunggu tiba. Aku sedang berada di dalam bus yang membawa rombongan ke Kota S. Kami akan menginap dua malam di sana. Rombongan ini berisi 16 orang yang terdiri dari 10 kader, 4 pengurus organisasi, serta aku dan Dokter Mirza. Bisa saja Ia mengatur bagaimana kami bisa ikut serta dalam acara ini. Padahal tujuan awalnya adalah pelatihan untuk kader dan pengurus. Bisa-bisanya menambahkan studi banding segala. Kami akan menginap tiga malam nantinya. Benar-benar waktu yang panjang ketimbang satu jam yang kami lakukan empat kali ini. Tapi yang masih jadi pertanyaan bagaimana kami akan melakukannya. Bukankah kami akan juga akan mengikuti jadwal peserta lain. Aku juga masih bingung bagaimana caranya kami bisa berada di dalam satu kamar.

“Jadi nanti masing-masing kamar diisi dua orang kecuali Dokter Mirza dan Mas Bayu yang mendapatkan kamar masing-masing. Pembagian kamar ada di grup ya. Tapi untuk nomor kamarnya nanti setelah sampai di hotel,” kata Mas Yogi selalu koordinator perjalanan kali ini

“Berdasarkan rundown, kita akan langsung ke lokasi pelatihan di Hotel Ibis. Karena kita nggak dapat kamar di Ibis jadi kita akan menginap di Best Western. Jadi sore baru kita akan ke hotel,” Mas Yogi lanjut menjelaskan agenda kami hari ini

Kami tiba di Kota S pukul 9 pagi. Semua peserta langsung mengikuti pelatihan sedangkan aku, Dokter Mirza, dan Mas Yogi sedang duduk bersama trainer di restoran. Namaku dan Dokter Mirza memang tak ada di daftar peserta. Aku memilih menyimpan rasa penasaranku tentang bagaimana Dokter Mirza mengatur ini semua. Akan kutanyakan saja nanti malam. Aku sangat yakin semua itu akan terjadi.

“Mas Yogi, kita ke hotel dulu atau tetap bareng teman-teman nanti sore?” tanya Dokter Mirza

“Saya tetap harus ke hotel dulu buat ngurus kamarnya, Dok. Kalau Dokter dan Mas Bayu mau istirahat dulu bisa ikut sekalian,” jawab Mas Yogi

“Saya di sini dulu saja, Dok. Teman-teman nggak ada yang ngawal. Dokter biar istirahat dulu saja,” kataku berusaha memperkecil kecurigaan

“Baik kalau begitu. Kita berangkat sekarang, Mas Yogi?” ajak Dokter Mirza

“Siap, Dok. Mas titip teman-teman dulu ya,” kata Mas Yogi

“Kami duluan ya, Mas,” pamit Dokter Mirza

Entah kenapa, kami seperti paham apa yang harus dilakukan. Padahal, tak banyak yang kami bicarakan perihal hari ini. Perselingkuhan ini benar-benar menakjubkan.

“Kepada teman-teman peserta, nanti bus akan stand by di lobby setelah pelatihan selesai. Mas Bayu akan memimpin perjalanan ke hotel tempat menginap. Saya akan menunggu di lobi. Semua kunci kamar ada di saya. Pembagian kamar ada di bawah ini ya”

Kuamati pesan dari Mas Yogi di grup. Dokter Mirza paling bisa memang dalam mengatur hal-hal seperti ini. Kamar kami bersebelahan. Hanya ada satu kamar peserta yang selantai dengan kami. Lainnya tersebar di dua lantai berbeda. Apa ya tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau begini. Ah, biarlah. Pasti Ia sudah mengatur semuanya.

Perjalanan ke hotel tempat menginap hanya memakan waktu 15 menit. Hotelnya cukup bagus, sepertinya bintang 4. Dana dari program ini memang cukup untuk membiayai kegiatan dengan akomodasi begini. Apalagi, kader-kader yang ikut pelatihan saat ini telah bekerja begitu giat. Keliling dari satu desa ke desa lain. Mereka berhak mendapatkan apresiasi.

Setelah mendapatkan kunci dari Mas Yogi, aku berpamitan langsung ke kamar. Tidak ada Dokter Mirza di lobi tadi. Malam nanti hanya ada agenda makan malam di restoran hotel. Sampai di kamar aku segera merebahkan badan hingga tiba-tiba telepon kamarku berdering.

“Bisa bicara dengan Bapak Bayu?”

Aku sepertinya mengenal suara ini.

“Iya. Ada yang bisa dibantu?”

“Bisa tolong connecting door nya dibuka Pak? Saya tunggu ya”

Sialan. Bisa saja Dokter Mirza bermain-main. Ah, aku juga baru sadar bahwa kamar ini ada connecting doornya. Gila sih ini. Sebegitu detil Ia mempersiapkan. Atau hanya kebetulan saja? Mari dinikmati saja permainan ini.

Aku membuka connecting door dan menemukan Dokter Mirza sudah berdiri dengan memakai kimono handuk yang memang disediakan hotel. Selama berselingkuh, baru kali ini aku melihatnya full tanpa jilbab. Persetubuhan kami yang selalu darurat tak pernah membuatnya melepaskan jilbab. Sepersekian detik aku tertegun dengan pemandangan yang ada di depanku. Menyedari hal itu, Ia beranjak maju dan memelukku. Kami berciuman setelahnya. Aku masih belum sadar benar hingga kemudian Ia memainkan lidahnya dan mulai melucuti pakaianku. Wanita ini memang bernafsu besar. Badanku bahkan masih lengket karena belum tersentuh air setelah kegiatan tadi. Ia tak peduli dan hanya membutuhkan waktu singkat untuk membuat pakaianku lepas satu per satu. Kini, hanya tinggal celana dalam yang tersisa.

“Dari tadi saya sudah nggak tahan nunggu kamu pulang, Mas,” katanya di sela cumbuan ini

“Saya belum mandi, Dok. Jorok ih bau asem semua,” jawabku sambil tetap meladeni cumbuannya

“I dont care. Nanti juga mandi lagi,” katanya lalu mendorongku ke atas kasur

Begini ternyata kalau wanita sudah menemukan sesuatu yang begitu diidam-idamkan. Lepas kendali, menghalalkan segala cara agar keinginannya terpenuhi. Aku mendapatkan sisi lain Dokter Mirza yang rasanya tak akan mungkin diketahui orang lain. Benar-benar jawaban atas kegelisahan terhadap pasifnya istriku akhir-akhir ini.

“Nggak tahu kenapa saya suka sama baumu, Mas,” katanya sambil menjilati bagian tubuhku satu per satu

Ia sudah sampai di pusar. Aku sengaja membiarkan di bereksplorasi. Jangan-jangan Ia malah sudah bermasturbasi selama di kamar sedari tadi. Dengus nafasnya panas, pertanda nafsu sudah begitu naik.

Aduh. Ia mulai mengerjai penisku. Tongkat yang tidak begitu panjang namun agak gemuk itu sudah habis dilahap. Kemampuan oralnya memang meningkat dari pada saat pertama kali bersetubuh. Ia mulai bisa mempermainkan lidah tanpa halangan. Aku sudah merem melek dibuatnya.

“Dok, kamu makin jago uhh,” kataku memuji

Mendapat pujian, Ia makin binal. Penisku berkali-kali keluar masuk mulutnya sampai Ia hampir tersedak. Ia benar-benar ingin menguji kemampuan yang dimiliki. Sengaja kubiarkan sampai Ia berhenti sendiri. Namun yang kudapat adalah kombinasi permainan tangan dan mulut. Aku hanya bisa menjambak rambutnya, sambil sesekali menahan kepalanya saat penisku ditelan habis.

Setelah puas atau mungkin lelah, Ia mulai beranjak. Kini, aku menyaksikan pemandangan yang tak biasa. Ia berdiri dengan perlahan-lahan melepas handuk kimono yang ternyata adalah satu-satunya benda di tubuhnya. Tentu saja baru kali ini aku melihatnya telanjang bulat. Tak ada cela. Putih, mulus, bersih, dan menggairahkan. Payudara itu juga benar-benar bulat. Jangan tanya bagaimana pantatnya. Kombinasi yang pas. Perlahan, Ia mulai mendekat. Aku yang hendak bangun didorongnya kembali.

“Kamu diem dulu ya,” katanya dengan mimik binal

Yang terjadi kemudian tak pernah bisa aku duga. Ia kembali mengerjai penisku, namun dengan posisi berbeda. Disodorkannya vagina tembam itu ke mukaku. Tanpa babibu, langsung saja kusikat. Aromanya benar-benar membuat mabuk kepayang. Kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Vaginanya makin basah, erangannya makin keras.

“Saya mau di atas,”

Dokter Mirza dengan gesit mulai mengambil posisi. Sleb. Penisku bagai ditelan. Belum selesai aku menikmati, Ia sudah mulai bergoyang. Menari-nari bak striptease, aku dibuat kelojotan.

“Akhirnya saya bisa lepas begini, Mas,” katanya sambil terus bergoyang

Gerakannya tak bisa kuduga. Kadang memutar, lalu naik turun. Kadang sebaliknya. Atau Ia bisa tiba-tiba berhenti lalu menyedot penisku dalam-dalam sambil menyodorkan payudaranya ke mulutku. Aduh, aku bisa-bisa gila karena ketagihan kalau begini. Dan tentu yang kutakutkan adalah tak bisa bertahan lama. Menyadari itu, aku harus segera bertindak.

“Kamu diem dulu, Mas,”

Kalimat itu kembali keluar. Aku pasrah. Kubiarkan Ia terus beraksi.

“Aduh saya keluar lagi oooohhhh”

Sudah ketiga kalinya tubuhnya bergetar begini. Tapi Dokter Mirza belum mau berhenti. Tenaganya bagai kuda binal yang menyusuri perbukitan terjal. Juga dengusan panas yang menyerangku berkali-kali.

Aku mulai tak tahan. Spermaku sudah berontak ingin keluar. Tapi Ia tetap saja asyik dengan gerakan yang ritmenya makin kacau. Aku mengimbangi dengan tusukan sebisanya.

“Dok, saya mau sampai ohhh”

Aku tak kuat lagi. Kami makin cepat. Ia memilih ambruk, membiarkanku mengambil alih. Gerakanku makin cepat, Dokter Mirza malah kian kencang mengerang.

“Aduuuh Mas Bayuuu, ayoooo!”

“Dok, Oh. Oh. Oh. Oh”

Kami ngos-ngosan. Tubuhnya lunglai setelah berkedut beberapa kali. Spermaku sepertinya keluar banyak sekali.

Menyadari tubuhnya lebih besar dariku, Ia menyingkir. Lalu memelukku erat.

“Dokter nggak kepikiran buat pakai kondom?” Tanya memecah keheningan

“Nggak. Saya yakin kamu bersih. Lagian pakai kondom nggak enak,” jawabnya lalu memegang penisku

Kukembalikan tangan itu ke dadaku. Kalau penis itu berdiri, malah repot jadinya. Kami harus makan malam setelah ini. Ia tertawa, lalu mencubit putingku. Tak mau kalah, kubalas memencet putingnya. Kami tertawa.

“Maaf ya tadi kamu nggak tak bolehin ngapa-ngapain. Waktu kita masih panjang kan,” katanya sambil memencer hidungku

“Wujudkan fantasimu, Dok. Aku siap mengikuti,” jawabku

Lalu kami berciuman. Dalam sekali.

BERSAMBUNG….


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *