Skip to content

Rahasia Asrama

Rahasia Asrama

CHAPTER 15

Hampir seminggu aku ada di sana. Setiap malam, kami semua harus membantu operasional tempat prostitusi tersebut. Aku dan yang lainnya dipaksa menjadi mainan untuk dimainkan tamu mauun para lonte di sana.

Kami dipaksa untuk menjadi anjing, dipukuli, memijar, bahkan meminum air kencing dan juga sisa persetubuhan tersebut. Kami juga diperintahkan untuk selalu berdiri dan ‘mengobservasi’ permainan sex yang dilancarkan.

Selama ada di sana, entah sudah berapa kali adegan sex yang harus kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Juga entah sudah berapa kali penghinaan dan penyiksaan yang harus kualami. Semua harus kujalani tanpa mundur sedikitpun karena statusku yang maish pegawai magang di sana.

Akhirnya setelah hampir seminggu di sana, kami pulang. Kembali ke kampus. Jika menghitung dari perjanjian yang kulakukan, berarti aku sudah ada di minggu ketiga. Tersisa satu minggu sebelum aku akhirnya memenangkan taruhan dan kembali pada kehiduan normalku.

Setelah magang bersama Kak Kamila, kehidupan entah kenapa berubah menjadi ‘normal’. Normal yang kumaksud adalah, tidak ada kegiatan aneh-aneh lagi.

Tidak lagi kutemukan para penghuni asrama yang bugil atau melakukan aktifitas aneh seperti menjaid anjing atau adegan penyiksaan khas BDSM lainnya. Aku bahkan tidak melihat ada yang melakukan mastrubasi.

Aku dan para penghuni asrama melakukan rutinitas selayaknya mahasiswa. Ke kampur, belajar bersama, makan, dan lain sebagainya. Begituun dengan yang kuperhatikan dari Ummi Nayla. Dia masih ramah dan lembut berinteraksi dengan siapapun termasuk dengan diriku. Tidak ada bahkan sebuah obrolan terkait dengan kegilaan yang kualami beberapa hari terakhir.

Mendapati situasi normal tersebut, justru membuatku tersiksa. Aku seakan dihantui akan tugas aneh apa yang harus kuselesaikan untuk memenuhi taruhan yang kubuat. Hari demi hari hanya kuhabiskan untuk menunggu dan menebak=nebak apa yang direncenakan Ummi Nayla dan penghuni asrama lain untukku.

Beberapa kali aku mencoba untuk berbicara dengan penghuni lain seperti Kak Kamila. Aku bertanya pada mereka, apakah ada tugas lain yang menantiku.

Namun jawaban yang kuterima selalu saja. Mereka hanya terbengong memandangku seakan aku berbicara dengan bahasa alien.

Keanehan akibat situasi normal tersebut membuatku justru frustasi. Pikiranku semakin dibayangi ketakutan akan kejadian yang akan menimpaku. Atau mungkin…aku merindukannya.

Apa mungkin akur merindukan semua kegilaan tersebut. Aku rindu dihinakan. Aku rindu disiksa. Aku rindu dengan permainan seks gila yang mewarnai hari-hariku. Aku rindu dari kenikmatan kntol para lelaki yang akhir-akhir ini membayangiku.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah aku seharusnya senang karena tidak perlu lagi mengikuti kegiatan gila para penghuni asrama di sini. Tapi mengapa aku justru dilingkupi dengan perasaan cemas yang sangat.

Malam demi malam berganti. Aku semakin tidak fokus dengan kegiatanku. Bahkan ketika kuliah, apa yang ada di kepalaku bukan lagi materi perkuliahan melainkan gambaran dari kontol yang tegak berdiri dan siap menembus memekku.

Malam hari kuhabiskan untuk memainkan putingku. Berusaha meluapkan semua rasa frustasiku dengan membakar birahiku. Tapi itu tak membantu. Aku tak pernah menggapai kenikmatan yang sebelumnya sering kulihat dari para wanita itu.

Chasitiy belt yang selama ini setia terpasang di memekku seakan menahan itu semua. Dia bagaikan kutukan yang tak membiarkanku untuk menggapai klimaks. Tak peduli seberapa lama atau sebrapa keras aku merangsang putingku. Semua itu percuma. Aku hanya akna berbaring terbaring kelelahan dengan fruastasi yang semakin memuncak.

Hingga akhirnya aku tiba d hari ke-29 dari perjanjian yang kubuat. Hanya tersisa satu hari lagi di hari esok ketika aku sepenuhnya bebas. Aku bahkan memiliki kesempatan untuk mengekspos semua kebusukan dari ummi Nayla tanpa takut lagi akan ancamannya.

Tapi, bukan kebahagiaan yang kurasakan di hari-hari terakhir perjanjian tersebut. Aku justru merasakan kehampaan.

Aku terbayang harus mengalami hal ‘normal’ seperti yang kuhalani seminggu terakhir. Beraktifitas seperti biasa dengan masih tetap terbayang kontol-kontol besar yang menghangatkan rahim dengan pejunya.

Aku mungkin bisa memainkan memekku bebas setelah chasity belt sialan ini dilepas. Tapi apakah kenikmatan dari tangan atau benda yang kumasukkan tadi akan sepadan dengan kenikmatan kontol asli?

Aku belajar kalau laki-laki adalah sumber kenikmatan sejati. Hanya merekalah yang bisa mengantarkan kaum wanita pada kebahagiaan dan kenikmatan sejati. Kenikmatan yang tidak bisa dicapai oleh kaum wanita itu sendiri tak peduli bagaimanapun mereka mencoba.

Apakah ini hikmah dibalik diciptakannya perempuan dan laki-laki? Agar mereka bisa saling merangsang dan melepaskan birahi? Bukankah itu semua masuk akal.

Kenapa aku harus terjebak dalam belenggu dogma dan moralitas. Keduanya seperti chasity belt yang selama ini membelenggu memekku. Dikatakan bisa menjagaku namun sejatinya hal tersebut takubahnya sepeti kutukan yang menyiksaku karena membelengguku dalam upaya menggapai kenikmatan birahi.

Aku yang baru saja ibadah berusaha menemukan jawaban dari kegundahanku. Namun bahkan setelah hal tersebut kulakukan, bayangan kontol masih saja menghantui kepalaku. Memaksaku untuk terus mengejar birahi yang tak dapat kuraih.

Hingga di mushla itu. Ketika aku sendiri, aku bahkan dengan lancang memainkan tokedku yang tidak terlindungi dengan bh. Berusaha kembali merangsang tubuhku utnuk mencapai klimaks yang selama ini begitu kudambakan. Namun lagi-lagi aku harus mendapati diriku jatuh tak berdaya dihadapan chasity belt yang membelengguku.

Di tempat itu, dengan bersandarkan di dinding, aku membuat sebuah keputusan. Aku akan melepaskan semua belenggu yang selama ini memenjarakanku.

Malam itu, usai dari kampus, aku mendapati diriku sendiri di asrama. Tidak ada penghuni lain biasanya terlihat berkumpul di ruang tengah sambil belajar atau sekedar mengobrol. Apa yang kemudian kulihat hanyalah susuk Ummi Nayla yang duduk dengan anggunya dalam balutan jubah dan jilbab lebar berwarna putih bersih di atas sofa tunggal.

Kedua matanya menyorot ke arahku. Sebuah senyum terbentuk di wajahnya. Ekspresi itu seperti tahu apa yang akan kulakukan malam ini.

“Assa*******”sapa Ummi Nayla dengan ramah namun tidak bisa menyembunyikan aura menekan yang semenjak tadi terpancar dari dirinya

“Waa******” Aku menjawab datar. Tak berani langsung bertatapan dengannya.

Aku langsung mengambil posisi duduk di salah satu sofa yang berada di sebelah kursi yang diduduki Ummi Nayla. Membuatku tidak harus langsung beradu pandang dengannya.

”Yang lain kemana Ummi?”tanyaku berusaha menyairkan suasana.

“Gak tahu. Mungkin pada acara di luar.”

Aku menghela nafas. Aku yakin ini semua adalah rencana Ummi Nayla agar dapat berbicara berdua saja denganku.

“Kapan pada kembali?”

“Sejam lagi mungkin. Biasanya mereka sudah balik sebelum jam 9.”

Aku melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 8. Masih belum terlalu malam namun suasana yang kurasakan begitu hening.

“Kenapa tanya-tanya begitu?”Ummi Nayla memandangku dengan penuh selidik.

“Gak apa-apa.”jawabku mengelak.

“Benar?”kejar Ummi nayla.

Aku diam membeku. Tak tahu harus menjawab apa lagi.

“Bagaimana kuliahmu, Anita? Kalau gak salah bulan ini kamu ada ujian kan?”

“Iya mi. Kemarin baru saja selesai UTS.”

“Susah gak ujiannya?”

“Lancar saja kok, mi.”

Ummi Nayla kembali tersenyum. Seperti senyuman puas.

“Memang gak salah ummi milih kamu untuk bergabung ke asrama ini,”gumam Ummi Nayla seakan seperti untuk didengar telinganya sendiri.

“Apa Ummi memang sengaja untuk memilih saya?”tanyaku berusaha mengejar.

“Tentu saja. Ummi gak sembarang memilih seseorang untuk bergabung di sini.”

“Dan apa kriteria yang Ummi mau?”

“Menurutmu?”Ummi Nayla bertanya balik.

Aku terdiam. Berusaha memikirkan jawabannya.”Ummi ingin anak yang pintar bukan?”

“Iya. Tentu saja. Ummi mana mau memberikan uang ummi begitu saja untuk membiayai mahasiswa dengan prestasi akademik yang buruk. Tapi kecerdasan bukanlah satu-satunya alasan ummi dalam memilih. Ada hal lain yang jauh lebih penting.”

Aku kembali termangu. Tak mengeri arah pembicaraan yang Ummi Nayla ingin giring.

“Ummi ingin mencari orang-orang berpendirian.”ungkap Ummi Nayla dingin.

“Orang berpendirian?”

“Iya. Orang yang memiliki prinsip dan gagasan yang kuat dan memperjuangkan hal tersebut. Ummi sengaja memilih orang yang konsisten dengan ajaran agama, moralitas, atau gagasan apapun.”

Aku menatap Ummi Nayla dengan ekspresi tercengang.

“Misalkan saja Kamila. Dia itu adalah anak seorang kyai tersohor di kampungnya yang bahkan hampir tidak pernah berpandangan dengan laki-laki selain keluarganya. Dia begitu suci menjaga dirinya. Ada juga Rara. Dulu ketika SMA dia adalah aktifis hak-hak perempuan dan di usianya yang muda dia telah ikut dalam banyak forum untuk mengutarakan gagasan-gagasannya.”

“Dan apa yang spesial dari saya?”

Ummi Nayla tersenyum lembut.”Kamu juga mirip seperti mereka. Kamu tahu, Ummi sudah tertarik denganmu semenjak melihat beberapa tulisan yang kamu unggah di internet mengenai bagaimana seharusnya peremuan berpegang pada ajaran agama dan tidak ikut dalam arus globalisasi yang dipenuhi dengan maksiat.”

Aku langsung teringat dengan beberapa blog dan postingan yang kubuat karena iseng. Kupikir tak akan ada yang mau membacanya. Namun tak kusangka justru itulah yang kemudina menarik perhatian dari Ummi Nayla.

“Kenapa Ummi mengincar orang yang seperti itu? Bukankah orang yang seperti itu sangat sulit untuk diubah?”

“Memang, tapi sekali mereka berubah, maka mereka akan memegang teguh nilai-nilai tersebut. Tak peduli segila apapun idenya.”

Aku seketika bisa merasakan aura iblis yang dipancarkan oleh Ummi Nayla. Aura yang membuatku merasa amat tertekan.

“Tentu saja itu tak mudah. Ummi perlu merancang banyak rencana untuk menundukkan perempuan seperti kalian. Tapi itu semua sepadan dengan hasilnya. Kalian menjadi perempuan seperti yang Ummi ingnkan dan itu juga menjadi nilai tambah di mata para lelaki.”

“Kenapa ummi bertindak sejauh ini?”tanyaku menuntut.

“Bukankah kamu tahu sendiri jawabannya.”Tiba-tiba saja Ummi Nayla berdiri dia menodorong meja di tengah sofa kemudian melangkah mendekatiku.

Aku diam tak bergerak seakan semua tubuhku lumpuh seketika.

Ummi Nayla menjulurkan tangannya, mengelus wajahku dengan jemarinya yang lentik. Senyum yang tersungging di wajahnya semakin lebar. Membuat ekspresi di wajahnya semakin mengerikan untuk disaksikan.

“Apa yang kamur rasakan akhir-akhir ini, Anita?”tanya Ummi Nayla dengan suara pelan layaknya berbisik.

Aku merinding hingga bulu kudukku berdiri.

“Kamu….merasa nikmat bukan?”tanya Ummi Nayla.

Tanpa kusadari tangan Ummi Nayla telah turun dan mulai menelusuri bagian dadaku. Kemudian jemarinya mulai menekan buah dadaku.

Aku ingin sekali menggeleng dan melawan. Entah kenapa tatapan Ummi Nayla seakan memaku gerakanku.

“Bagaimana rasanya birahi, Anita?”tanya Ummi Nayla kembali.

Telapak tangan Ummi Nayla membuka kemudian bagaikan mulut seorang predator, tangan itu langsung menangkap buah dadaku dalam cengkramannya.

“Aaaahhhhh….”Aku mendesah pelan begitu tokedku disentuh oleh tangan Ummi Nayla.

“Enak bukan?”tanya Ummi Nayla. Mulai meningkatkan kekuatannya untuk mencengkram tokedku.

Aku menggeleng kencang. Menggunakan semua akal sehatku untuk membantah setiap perkataan dari Ummi Nayla.

“Kamu yakin, Anita?”tanya Ummi Nayla menggoda birahiku.

Aku menutup rapat mulutku seraya memejamkan mata. Berusaha menahan semaksimla mungkin gejolak birahi yang kurasakan akiba remasan kencang di tokedku.

“Bukannya, kamu ingin mengatakan sesuatu ke ummi?”tanya Ummi tiba-tiba melepaskan cengkramannya.

Aku mengatur kembali nafasku yang tersenggal akibat birahiku yang dipacu dengan begitu kencangnya.

Ummi Nayla kembali duduk di sofa. Membiarkanku sejenak untuk memulihkan semua kekuatanku.

Aku memandang ke arah Ummi Nayla. Aura yang semenjak tadi menekan entah kenapa tidak lagi kurasakan. Apalagi ketia aku melihat senyumnya yang lembut dan rindang. Mirip seperti senyuman yang biasanya dikeluarkan seorang ibu untuk menenangkan anaknya.

“Anita…”panggil Ummi Nayla dengan suara yang pelan.”Apa kamu bisa jujur sama ummi sekarang, nak.”

Aku termangu sejenak. Begitu tersentuh dengan suaranya yang menenangkan.

“Bagaimana menurutmu dengan semua yang usdah kamu lakukan beberapa minggu terakhir. Jadi mainan dosen, magang ke tempa pelacuran, sampai ikut kajian pra nkah.”

“Aneh ummi.”jawabku dengan nada pelan. Hal yang seharusnya kulakukan sebaliknya. Namun berhadapan dengan suara Ummi Nayla yang lembut entah kenapa mmbuatku ikut menyesuaikan nada bicaraku.

“Aneh?”tanya Ummi Nayla mengangkat alisnya.

“Bagaimana gak aneh. Aku lihat pelecehan dimana-mana. Perempuan direndahkan serendah-rendahnya. Bahkan disiksa dengan kejamnya.”

“Tapi, apa mereka sengsara.”

Aku menggeleng.”Mereka justru bahagia ummi. Aku lihat mereka justru tersenyum puas seakan mereka menikmati semua perlakuan nista tersebut.”

“Jadi di situ anehnya?”

Aku mengangguk.

“Lalu, apa kamu gak ingin meraakannya?”tanya Ummi Nayla. Akhirnya sampai pada pertnayaan yang paling penting.

Aku terdiam lama. Terombang-ambing dalam kebimbangan untuk menjawab pertanyaan yang akan menjadi pengakuan terkelamku.

“Bukankah, kamu ingin merasakan kenikmatan itu?”tanya Ummi Nayla.

“Tapi….”

“Apa lagi yang kamu pikirkan.”potong Ummi Nayla.”Bukankah manusai hidup untuk mengejar kebahagiaan. Jika untuk itu harus menentang berbagai norma, maka apa salahnya jika itu berarti kita mendapatkan kebahagiaan kita.”

Aku kembali diam. Ummi Nayla semakin menenggelamkanku dalam lautan keraguan.

“Sekarang, tolong jawab pertanyaan Ummi dengan sejujur-jujurnya.”pinta Ummi Nayla meraih tanganku lembut.”Apa kamu ingin merasakan kenikmatan seperti itu juga.”

Aku meringis. Pandanganku menunduk. Jantungku berdebar amat kencang. Tapi akhirnya, aku membulatkan hatiku untuk menjawab.

“Iya, ummi.”

Aku menyerah. Aku tak kuat lagi menanggung itu semua. Semua kenikmatan yang selama ini kulihat 3 minggu terakhir. Kenikmatan yang entah kenapa aku begitu dambakan.

Aku tak peduli lagi dengan moralitas, atau prinsip yang selama ini kupegang teguh. Aku hanya ingin bahagia. Seperti para perempuan yang kusaksikan. Meskipun harus mengorbankan rasa malu. Meskipun harus mengorbankan akal sehatku. Aku siap melakukannya demi merasakan kebahagiaan seperti yang perempuan-perempuan itu rasakan.

“Apa kamu yakin, Anita?”tanya Ummi Nayla

“Iya Ummi.”Aku menjawab ragu.

“Meskipun kamu harus menjadi budak dari kaum lelaki?”

“Aku sudah tidak peduli lagi ummi.”jawabku dengan nada yang semakin mantap.”Aku Cuma ingin merasakan kenikmatan itu. Aku ingin bahagia seperti mereka.”

Ummi Nayla tersenyum. Sekaan telah mendapatkan hadiah yang selama ini dia perjuangkan setengah mati.

“Berarti, kamu siap untuk melayani nafsu para lelaki?”

“Siap Ummi.”

“Kamu siap untuk dilecehkan, dihinakan, dan disika untuk kesenangan para lelaki.”

“Siap ummi.”jawabku semakin yakin.

“Kamu siap untuk menanggalkan rasa malu dan akal sehat untuk menjadi budak hanya memikirkan kepuasan lelaki?”

“Siap ummi.”

Ummi Nayla tersenyum semakin lebar.“Kalau begitu, berarti ummi yang menang terauhannya bukan?”

“Iya ummi. Ummi yang menang. Saya tidak punya pilihan selain mengikuti perintah ummi.”

“Hahahaha. Baguslah kalau kamu sadar Anita. Sekarang ummi ada hadiah untukmu.”Ummi Nayla tersenyum puas.”Sekarang berdiri dan lepaskan gamismu. Mulai sekarang kamu adalah budak ummi yang harus mengikuti semua perintah yang ummi berikan.”

“Baik ummi.”Aku lantas berdiri sebagaimana yang diperintahkan. Kuraih resleting belakang gamisku dan kuturunkan. Disusul kemudian dengan gamis yang langsung terjatuh di antara kakiku. Menyisahkan ubuhku yang bugil dengan hanya berbalut jilbab dan juga chasity belt yang setia menutup memekku.

Ummi Nayla meraih sesuatu di sakunya yang merupakan sebuah kunci. Dia kemudian meraih bagian borgol chasity belt ku lalu membukanya. Membuat memekku yang selama ini terkekang akhirnya bebas.

“Selamat datang Anita.”

 BERSAMBUNG …. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *