Skip to content

Rasa Untuk Tania ~ Part 4 ~

Esok paginya, aku pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi aku tak terlalu khawatir.

Dosen memberikan materi panjang lebar hingga membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.

Ghea Saat keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja aku menabrak seseorang.

Ia tidak terjatuh, tapi sebuah majalah yang ada di tangannya yang jatuh.

Aku memperhatikan orang yang kutabrak itu.

Seorang mahasiswi, lebih tepatnya adik kelas. Aku tidak kenal dekat dengannya, tapi kami saling tahu nama.

Namanya adalah Ghea, satu tingkat di bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan pandai bergaul.

Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Tania, tapi wajahnya tak kalah manis, aku menebak dia ada keturunan cina karena kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit.

Ia memakai kemeja kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna maroon, namun sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku.

Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung di acara-acara kampus.

“Eh sori, ngga sengaja,” ucapku. “Ngga papa Kak, saya yang ngga liat,” jawabnya sambil memungut majalah yang jatuh.

Selama beberapa detik kami bertatapan.

Aku merasa ada yang aneh dengan tatapannya, hingga kemudian aku sadar kalau geng Power Rangers sudah menungguku di seberang sana.

Ada Tania juga yang sedang menatapku. Apa ya yang dia pikirkan? “Woy, sini!” ucap Rian sambil melambaikan tangan.

Sambil mengangguk pelan aku meninggalkan Ghea dan bergegas ke tempat mereka.

Semua anggota geng berkumpul, kecuali Galih. Santi sedang asik mengunyah biskuit dan Tania tampak serius mengetik di handphonenya.

Aku melirik sekilas, dan Tania ikut menoleh, tapi ia cepat-cepat kembali menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan dengan itu penisku mengeras sedikit.

Tapi kenapa dia tidak tersenyum? Apakah dia juga sama canggungnya denganku? “Gimana, sore ini ada acara nggak?” Rian bertanya sambil menepuk pundakku. “Ada apa Yan?” “Kok ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong.

Kan mata kuliah kita banyak yang sama. Gimana?” jawab Rian. “Kok tumben?” balasku. “Tau nih, anak ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya catetan dan males baca buku,” ujar Santi.

“Ayolah… Si Galih udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?” ucap Rian. Aku dan Santi mengangguk setelah mendengar kata konsumsi gratis. “Lo gimana Tan, bisa?” tanya Santi.

Tania agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, “Oh bisa kok bisa, ngga masalah.” Singkat cerita, setengah jam kemudian kami pun berangkat ke rumah Galih menggunakan mobilnya.

Rian duduk di depan bersama Galih, sementara aku, Tania, dan Santi duduk di belakang. Santi di kiri, Tania di tengah, dan aku di kanan.

Berada dalam jarak dekat dengan Tania membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Tania akhirnya membuka pembicaraan.

“Eh lo udah ngerjain tugasnya Pak Johan belum?” ucap Tania menyebutkan nama seorang dosen. “Oh, belum tuh,” jawabku. “Yah, tadinya gue mau nyontek. haha,” ia tertawa.

“Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran? Mendadak rajin ya?” gerutu Santi, dibalas cubitan dari Tania, lalu mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.

Tak sampai setengah jam, kami pun tiba di rumah Galih. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orangtuanya.

Saat kami masuk ke ruang tamu, Sherly, adiknya Galih sedang duduk di sofa sambil membaca majalah.

Sherly masih duduk di bangku SMA, rambutnya bergelombang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants. “Baca majalah jangan di ruang tamu,” ucap Galih ketus.

“Emang napa? Suka-suka gue dong!” balas Sherly.

“Nanti ngga ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!” Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Galih. Kakak-adik ini memang senang bertengkar sejak dulu, tapi kami tahu mereka sebenarnya akur.

Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kami beranjak ke kamar Galih. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar cowok lumayan rapi.

Kami pun memulai acara belajar kelompok. Ketika kami sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan, tiba-tiba saja Rian berteriak. “Apaan tuh!” teriak Rian sambil menunjuk-nunjuk. “Kenapa sih lo, kaya Jaja Miharja aja,” umpat Santi. Rian segera merangkak ke kolong tempat tidur Galih dan mengambil sesuatu dari dalam sana.

“Bokep coy!” ucap Rian sambil memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kami semua tertawa terbahak-bahak. “Kaya anak SMP aja lo, masih ngumpetin kaya gituan,” Tania tertawa.

“Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?” aku ikut menimpali. “Itu DVD original import dari Jepang langsung.

Ngiri ya lo semua? Bisanya cuma download bajakan kan?” ucap Galih sambil berusaha merebut DVD itu.

“Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,” balas Rian. Rian segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah dinyalakan.

Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki.

Payudara wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor lelaki. Kami semua fokus menonton adegan itu.

“Buset, gede ya toketnya. Kayanya enak tuh,” ucap Rian agak berbisik. “Iya, nggak kaya cewe-cewe di kelompok kita, rata semua kaya triplek!” ujar Galih.

Kami melirik pada Tania dan Santi. “Sialan lo!” ucap Tania sambil memukul pundak Galih menggunakan kertas.

“Tapi punya gue masih lebih gede daripada punya Tania, tau…,” ucap Santi pelan.

Galih dan Rian tertawa terbahak-bahak, sementara Tania melotot dan mulai mencubiti Santi.

Aku refleks bergumam, “Hehehe, tapi yg kecil-kecil tu bikin gemes.” Tania melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara anak-anak yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.

Acara ‘belajar kelompok’ masih terus dilanjutkan.

Adegan-adegan di monitor semakin hot, dan harus kuakui kalau penisku sudah menegang di balik celana. Tania kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas.

Saat ia merapat, dadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia mulai menggesek-gesekkannya. Penisku semakin keras.

Pelan-pelan aku ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan pura-pura menggaruk leher. Kenyalnya payudara Tania bisa kurasakan samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku.

Untung anak-anak yang lain tidak ada yang sadar. Saat suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Rian yang kaget segera menutup laptopnya.

Ternyata pembantu Galih membawakan minuman.

Aku menghela nafas, Tania juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aku dapat melihat wajahnya yang merona merah. Setelah itu, acara belajar kelompok dilanjutkan secara normal.

Kira-kira satu jam kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil Galih sedang dipakai, jadi kami harus pulang menggunakan kendaraan umum. Hampir lima belas menit di dalam bus, Rian dan Santi turun lebih dulu, sebab rumah mereka memang lebih dekat.

Tinggal aku dan Tania yang tersisa di bus, aku pindah duduk ke sebelahnya.

Bus yang kami naiki kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor.

Duduk bersebelahan dengan Tania tanpa ada orang lain di sekitar, membuatku merasa agak aneh.

“Kenapa Di, diem aja?” ucap Tania. Ia duduk di samping jendela, tirainya ditutup karena silau. “Ngga kok, ngerasa aneh aja,” aku tertawa. “Biasa aja lagi.” Selama beberapa menit, kami terdiam.

Mungkin Tania juga merasa tidak enak karena aku tidak menimpali obrolannya. Tapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian kemarin.

Rasanya ada yang masih mengganjal.

Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku ke pundak Tania, aku ingin merangkulnya, aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya lagi.

Tania hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang.

Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kami sedang berada di dalam bus.

Perlahan-lahan tanganku turun ke pinggangnya.

Aku dapat merasakan pinggangnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit.

Setelah memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya. Plak! Ia menamparku.

Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas.

Aku kaget bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.

Sambil menatapku, Tania berbisik kesal, “Kan gue udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kalo kita ketemu lagi, gue minta lo anggap yg kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?

” Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu.

Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya aku.

Kalau memang aku mencintainya, seharusnya aku bisa memahami perasaannya.

Aku kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi nafsu mesum semata.

Sepanjang perjalanan hingga Tania turun terlebih dulu, aku hanya menundukkan kepala.

Kami tidak berbicara sepatah kata pun.

Aku tiba di kostan dengan perasaan sedih.

Aku tidur-tiduran di atas kasur sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang.

Apakah persahabatanku dengan Tania akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin.

Aku mengambil HP dan mengirim SMS ke Tania.

‘Tan, maaf ya, tadi gw khilaf’ Aku diam menunggu balasan, tapi tak juga ada SMS yang masuk.

Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah hingga tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, aku melonjak kaget.

Telepon, dari Tania. “Di, lo lagi di kostan?” tanya Tania. “Iya.” jawabku. “Gue ke sana ya sekarang!” “Eh, tapi, tapi….” Tania menutup teleponnya.

Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku ingin meminta maaf soal kejadian tadi, tapi ia tampak terburu-buru.

Untuk apa ia datang ke sini? Aku menunggu dengan jantung berdebar. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tahu siapa dia.

Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Di balik pintu ada Tania yang berdiri sambil tersenyum.

Ia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aku sadar, senyumnya padaku menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi.

Aku langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.

“Di, sori ya soal yang tadi. Gue sebenernya gugup, jadi kebawa emosi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *