Aku menarik celana dalamnya sampai ke lutut, ia tampak terkejut. Tapi tanpa buang-buang waktu, aku segera menciumi kemaluannya.
Aku jilati bibir vaginanya yang sudah lembab itu. Aku cium, aku hisap, aku jilat klitorisnya.
Tania menjerit. “Adiii… ahhh gila lo… lo apain mem3k gue… aaaggghhh…” Sambil mengelus-elus pahanya, aku terus menjilati bibir vaginanya sampai beberapa menit,
dan dengan jilatan yang semakin cepat, tiba-tiba saja tubuhnya melengkung dan pahanya menegang, menjepit kepalaku hingga aku sulit bernafas. “Aaaaahhhh! Gue sampeee… uuh…”
Beberapa detik kemudian ia telentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia tersenyum padaku, dadaku terasa hangat. Bersamaan dengan itu nafsuku semakin meledak-ledak.
Kudekatkan penisku ke vaginanya, lalu kugesek-gesek pelan. Ia kembali mendesah. Lalu kucium bibirnya sambil kuremas kedua payudaranya.
“Tan… gue pengen coba masukin… boleh ya?” ucapku dengan nafas memburu. “Jangan Di, gue masih virgin, gue ngga mau.” “Pliis Tan, gue ngga tahan…,” aku masih menggesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya.
“Jangan Di, jangan. Lo sahabat gue, makanya gue percaya sama lo, lo kan udah janji. Stop ya, plis…” Aku menatap matanya dengan wajah memelas, “Tan… sebenarnya gue….” “Gini aja, lo boleh minta apa aja sama gue. Tapi jangan yang satu itu ya? Itu mau gue jaga untuk seseorang yang spesial buat gue, buat cowo yg benar-benar gue sayang.
Maaf banget, lo ngerti kan?”
Deg! Ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Apa maksudnya dengan perkataan tadi? Apa baginya aku bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia sayangi? Apakah ada lelaki lain yang ia sukai? Bodoh, apa yang aku pikirkan? Sejak awal ia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, dan aku belum pernah mengungkapkan apa-apa.
Tiba-tiba saja aku patah hati.
Apakah perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tapi aku tetap menghargainya, aku tak ingin menyakitinya.
“Kalo… kalo pake mulut mau ngga Tan?” ucapku. Ia terdiam sejenak, namun dengan sedikit ragu-ragu ia mengangguk.
“Iya…, tapi keluarin di luar ya…” Aku mengangguk.
Tania bangkit dari posisi tidurnya, lalu ia meraih penisku yang masih tegang.
Tangannya yang halus dan jari-jarinya yang lentik mulai mengocok batang kemaluanku.
Aku mendesah pelan.
“Gue coba praktekin yang di film tadi ya, hehe,” iya tersenyum.
Pelan-pelan bibirnya mendekat ke ujung penisku, lalu ia mengecupnya pelan.
Lidahnya ia gunakan utuk menjilat bijik kemaluanku.
Lalu dengan agak canggung ia mulai memasukkan penisku ke mulutnya.
Ia menyedot pelan, bibirnya terlihat monyong.
“Mmmm.. Slrppp… Sruupp”
Tubuhku gemetar merasakan nikmat, sekarang gadis yang kusukai ini sedang duduk di hadapanku dan menghisap penisku dengan mulutnya.
Tapi perasaan getir karena patah hati itu juga menodai pikiranku.
Dengan nafsu dan kekecewaan yang membara, aku memegang kepala Tania, kutahan agar kepalanya tak bergerak.
Lalu aku memompa pinggulku hingga penisku keluar masuk di mulutnya.
Ah, maafkan aku Tania, tapi aku benar-benar tidak tahan. “Mmmm Mmppppp!!!” Tania berusaha berontak dan mendorong pinggangku. tapi tenagaku lebih kuat.
Kupercepat genjotanku, untungnya penisku tak terlalu panjang, jadi mudah-mudahan tidak membuat ia terlalu mual. Dari bawah, tania mendongak dan menatapku tajam.
Sepertinya ia kesal. Tapi aku tak bisa menghentikan ini, terus saja kugenjot mulutnya.
Rasa nikmat menjalar dari penisku sampai ke tulang belakang, dan pada satu titik aku merasa akan meledak.
Kutekan kepalanya ke arah penisku, dan saat itu juga aku mengalami ejakulasi. “Aaaaah….!” Crot! Crot! Crot! Spermaku muncrat ke dalam mulut dan tenggorokan Tania.
Aku terduduk lemas di atas tempat tidur. Kusaksikan Tania yang sedang terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan spermaku. “Sori.. sori banget Tan.
Gue ngga tahan,” ucapku. “Sialan! Masih untung ngga gue gigit kont0l lo itu, kalo gue gigit sampe putus baru tau rasa lo….” ujar Tania, sambil mencoba mengeluarkan sisa sperma dari mulutnya.
Aku mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap sperma di mulut Tania. Aku berusaha tersenyum untuk meredakan amarahnya.
“Gue kelepasan tadi…” “Kan udah gue bilang, keluarinnya di luar…,” ia mencubit perutku, “…tapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi…” “Mana gue tau,” aku tertawa.
Tubuh kami terasa lemas.
Setelah emosinya reda, kami kembali dapat bercanda dengan normal.
Malam itu ia tidur di kamarku, tanpa busana, hingga pagi menjelang.
Aku mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.
Besok paginya, ia terbangun lebih dulu dan membangunkanku dengan sebuah pertanyaan. “Adi, kita masih temenan kan?”
Aku mengangguk. Aku tak tahu harus menjawab apa. “TTM,” ucapku singkat.
“Teman Tapi Mesum?” balasnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.
Seru ceritannya
Seru lanjutkan kak🥰😍