Skip to content

Rasa Untuk Tania ~ Part 8 ~


Yang sebelah kanan kujilati dan kuhisap menggunakan mulut, sementara yang kiri kupijat-pijat dan kupilin-pilin putungnya.
“Mmmm…. surrrrppp!” “Ahhh…. Urghhh….”

Tania tampak tak bisa mengendalikan desahannya.
Aku terus menikmati keindahan buah dadanya,
sambil aku menggesek-gesekkan selangkanganku ke arah selangkangannya yang sama-sama masih ditutupi celana.

“Di…, Adi…,” ia memanggil. “Kenapa Tan?” tanyaku.
“Mmmmh… kok malah gue lagi gue lagi sih.. sekarang kan giliran lo, kan tadi lo yang minta,” ucapnya dengan mata sayu.

Tania kemudian bangkat berdiri dan mendorongku.
Ia membetulkan posisi bh dan kaosnya, lalu menepuk pundakku. “Sekarang lo diem aja,” ia menggoda.

Lalu ia mulai menjilati leherku, kupingku, sampai ke perut yang ada di balik kaos yang kukenakan.

Aku merinding merasakan lidahnya yang lembut dan hangat menjalar di sekitar pusarku.
Lalu dengan perlahan-lahan ia menggunakan tangannya untuk mengelus-elus penisku. “Kayanya lo kedinginan ya, sampe tegang begini?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk.
Dengan terampil ia membuka resleting celanaku, lalu merogoh ke dalam dan mengeluarkan penisku yang sudah keras dan tegang.

Ia pun melanjutkan jilatannya.
Batang penisku ia jilati dengan lembut dan penuh perasaan, hingga permukannya basah terkena air liur.

Setelah basah, ia pun menggenggam penisku dan mengocoknya perlahan.
“Hmmmmh… enak Tan….” gumamku. Ia juga tak lupa menjilat dan menghisap biji zakarku.

Aku mendesah keenakan,
rasanya memang sulit menahan kenikmatan ini.
Apalagi ketika ia membuka mulutnya dan mulai melahap penisku. Ia menghisapnya, menyedotnya seperti sedang menikmati permen.

“Wiii…wo aaiwa woi waa….” gumamnya tidak jelas.

Ucapannya tidak jelas karena mulutnya sedang disesaki oleh penisku.

“Apa Tan?” “Wo wao… we waaaia… surrrp!”

ia melepaskan penisku dari mulutnya,

lalu menelan ludah, “Ahh.
Sial ni mikrofon lu bukannya bikin suara jelas malah bikin ga kedengeran!” “He hehe…
lo mau ngomong apa sih?” “Gue mau bilang,
kalo lo mau keluar, pliis jangan keluarin di mulut gue kaya waktu itu….

Rasanya bikin mual.
Plis kasih tau ya kalo lo udah mau keluar…,” ucapnya sambil mengocok penisku dengan tangannya.
“Iya deh, nanti gue kasih tau.” “Janji ya?” “Janji!” aku membentuk huruf V dengan jari tangan.

Tanpa ragu, Tania kembali melahap penisku, kali ini lebih dalam dari sebelumnya.
Ia memaju-mundurkan kepalanya, membuat penisku tertelan lebih dalam.

Aku tak menyangka, dalam waktu singkat ia sudah jadi seahli ini.
Sesekali aku seperti merasakan ujung penisku menyentuh tenggorokannya.
Kehangatan yang luar biasa, sungguh nikmat.

“MMmmmhhh… gila, nikmat banget….” gumamku.

Sambil menikmati sedotannya,
aku mengelus-elus rambutnya, merasakan rambutnya yang panjang dan sehat seperti di iklan-iklan shampoo.

Dalam hati aku bertanya-tanya,
apakah kenikmatan fisik ini sudah cukup bagiku? Apakah di dalam hati Tania tak ada sesuatu yang lebih? Semakin aku memikirkan itu,

semakin bertambah hasratku,
dan aku sudah tak bisa mengendalikannya lagi. Beberapa menit kemudian, aku pun berbisik,

“Tan… gue mau keluar…. mmmh!” Mata Tania menatap ke arahku dari bawah sana,
lalu ia buru-buru melepaskan penisku.

Dengan suara ‘ah’ yang keluar dari mulutnya, ia berusaha mengambil nafas yang sejak tadi terhambat,
dan itu membuat wajahnya semakin cantik. Aku memegangi kepalanya agar ia tak menghindar,
lalu kukocok penisku sendiri, dan dalam waktu singkat spermaku keluar dengan kecepatan tinggi.

Muncrat dan mengenai wajah Tania,
sebagian ada yang di dekat hidung, di dekat mulut, dan ada juga yang mendarat di poni rambutnya.

Ada perasaan puas dan nikmat ketika melihat sperma itu mengalir pelan ke dagu dan ke lehernya.

Tania masih terdiam, sepertinya ia agak kaget menerima ‘shower’ tadi.
Lalu perlahan-lahan ia menyentuh spermaku di wajahnya menggunakan ujung jari.

Sepertinya ia dapat merasakan sensasi lengket dan kehangatan di wajahnya.
“Gue bilang jangan keluarin di mulut, malah ngeluarin di muka. Kebanyakan nonton bokep lo ya?” ucap Tania menyindir.

“Sori, abisnya nggak keburu,” kilahku. “Bisa tambah mulus nih muka gue,
kalo maskeran kaya gini terus,” candanya, “Untung bawa tisu.” Tania mengambil tisu di dalam kantong celananya,
lalu membersihkan spermaku di wajahnya. Harus kuakui, jumlahnya memang cukup banyak.

Kalau tidak salah aku sampai menyemprotkannya enam kali tadi.
“Huff…” aku menghela nafas lega. “Gimana? udah lega sekarang?” tanya Tania. “Udah. Lega banget. Makasih ya, Tan.” “Santai aja.

Itulah gunanya temen,
saling menolong di saat butuh. hehehe,” ucap Tania sambil mengenakan lagi kemejanya.
“Teman…” aku bergumam, lalu tertawa dalam hati.

Tiba-tiba ponsel Tania berbunyi.
Ia segera mengambilnya dari dalam tas, lalu mengangkatnya.

Sementara itu, aku membetulkan celanaku. “Halo….” ucap Tania pada seseorang yang meneleponnya.

Aku berusaha menguping, tapi tak terdengar jelas.
Tania tak banyak bicara, ia hanya senyum-senyum malu mendengarkan suara orang di telepon itu.

Dan ketika kuperhatikan lagi,
aku dapat melihat wajah Tania menjadi merah, seperti orang yang merasa malu.

Belakangan, aku semakin mengerti,
wajahnya yang merona merah saat itu tak sekedar berarti malu, lebih dari itu,
rona merah itu karena ia sedang jatuh cinta… pada lelaki yang meneleponnya itu.

Sejak rona merah di wajah Tania muncul saat itu,
ia jadi berubah. Aku merasa kalau ia sedikit demi sedikit mulai menjaga jarak dariku.
Tidak cuma aku, bahkan ia juga jarang berkumpul dengan geng Power Rangers.


Santi yang biasanya paling dekat dengan Tania, ikut-ikutan mengeluh.

“Anak itu kemana aja sih? Kayanya tiap kali kita ajak ngumpul dia selalu ada halangan deh,
” ucap Santi saat kami berempat sedang nongkrong di kafe. “Mana gue tau.

Kan biasanya elo yang paling deket sama dia?” ucap Rian sambil mengutak-atik hp-nya. “Iya, San.

Biasanya kalian selalu berdua kemana-mana, kok tumben pisah?” tanya Galih ikut bingung.
Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil menyuap potongan kue.

Dalam hati aku bisa menduga,
mungkin ada hubungannya dengan orang yang menelepon Tania waktu itu….waktu ia habis memberiku oral seks.

“Gue curiga ada hubungannya sama cowok itu…,” ucap Santi,
membuat tenggorokanku tersedak dan nyaris batuk. “Cowok?” tanya Galih,
“Punya pacar dia?” “Masa? Si kutilang darat punya pacar?” timpal Rian. “Ga tau deh.

Kayanya sih gitu.
Gue pernah liat dia jalan sama cowok itu. Kalau ngga salah sih alumni kampus kita,” ucap Santi,
“Gue nggak masalah kalo Si Tan mau pacaran atau mau kawin sekalian,
tapi ngga perlu ditutup-tutupin kan?” “Ah elo iri kali… Jomblo berapa taun lo?” ledek Rian.
“Haha. Gue sih syukur si Tantan punya cowok.

Gue sempet ngira kalian berdua lesbi!” ucap Galih diikuti tawa Rian, aku juga ikut tertawa. Santi hanya mencibir.

Esoknya, aku kembali mencoba mengirim sms pada Tania.
Bukan untuk minta ‘servis’ sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari dia tidak masuk kuliah.

Tapi ternyata dia tidak membalas.
Kekhawatiranku semakin memuncak sehingga akhirnya aku putuskan untuk menelponnya.
“Halo, Tan,” ucapku. “Halo, Di. Sori… tadi gue ga liat ada SMS,” jawabnya.

Ada setetes kesejukan di dalam dadaku ketika mendengar suara Tania.
Seperti air oase yang membasuh kerinduan. “Kemana aja? Anak-anak pada nyariin tuh.

Si Santi juga,” ucapku. “Iya, aduh sori. Gue lagi ada proyekan yang mesti gue kerjain sekarang-sekarang ini.

Tapi nanti kalau udah selesai, gue pasti——” Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya.

Suara laki-laki. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, tapi aku yakin ada suara lelaki yang berusaha menggoda Tania.
Lalu mereka tertawa, sementara aku masih mendengarkan telepon. “Di, nanti gue telepon balik ya!” Tut… tut…. telepon diputus.

Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi kini kembali gersang, lebih gersang dari biasanya.
Tapi untunglah tak lama kemudian Rian dan Galih meneleponku.

Mereka mengajakku untuk datang ke festival kampus Z yang mengadakan bazaar dan penampilan band-band indie.

Aku menerima tawaran mereka.
Mungkin saja bisa sedikit mengobati perasaan ini. Kami pergi menggunakan mobilnya Galih, seperti biasa.
Tapi selain aku dan Rian, ada seorang penumpang lain. Ia adalah Saras, gebetan Galih yang sedang didekatinya.

Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis, dan aku ada kecurigaan jangan-jangan Galih sengaja mengajak kami karena ingin memamerkan gebetan barunya.
Dasar anak orang kaya, sepertinya mudah sekali mendekati perempuan.

Tiba di Kampus Z, suasana sudah sangat ramai.
Banyak stand makanan dan aksesoris yang dipadati pengunjung. Di tengah lapangan,
sebuah panggung lumayan besar sedang menampilkan acara band.
“Gue sama Saras ke sana dulu ya!” ucap Galih sambil menunjuk sebuah stand ramalan kartu tarot.

Aku hanya mengangguk.
Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin pacaran. Sementara aku? Kalau seandainya ada Tania…

Mungkin aku bisa mengajaknya ke stand ramalan garis tangan… atau makan es krim… Rasanya belum pernah aku melakukan hal itu dengannya…
Ah…. Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Tania saat perasaan sesak mulai kembali muncul di dada.

Kenyataannya, yang ada di sampingku sekarang adalah… Rian.
“Lo ngerasa jadi maho nggak jalan berdua sama gue?” ujar Rian sambil terkekeh-kekeh. “Sialan lo. Ah, liat band aja yok,” ucapku.

Kami berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat penampilan band.
Band yang saat itu sedang tampil tidak begitu menarik perhatianku, sebab suara vokalisnya terlalu cempreng.

Namun ketika band selanjutnya naik panggung, aku mengerutkan kening.
Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong, dan satu orang perempuan cantik.

Aku tidak kenal kedua pria itu, tapi aku kenal si perempuan. Perempuan berkacamata, mengenakan kemeja dan kaos hitam agak ketat, dan celana jeans sobek-sobek.

Aku kenal dia, dia adalah Ghea, adik tingkatku yang sering berpapasan denganku di kampus.
Kacamata berbingkai merah selalu menjadi ciri khasnya.

Selain itu wajahnya sangat cantik,
kulitnya putih mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil, namun kalau boleh tebak, ukuran dadanya lebih besar dari Tania.

Band itu membawakan lagu ‘Lithium’ milik Nirvana dengan percaya diri.
Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan nuansa tersendiri pada lagu itu.
Entah kenapa aku selalu tertarik pada perempuan tomboy dan agresif.

Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak cowok.
Ketika sedang bernyanyi, sesekali ia melirik ke arahku lalu tersenyum.

Bye Jasmine : Terima Kasih Dan Selamat Malam Minggu

1 thought on “Rasa Untuk Tania ~ Part 8 ~”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *