CHAPTER 1
“Ayah ihhh, buruan nyetirnya. Kok malah lelet amat sih. Jalannya udah kayak jalan kura-kura.” Komentar Dinda.
Gue bareng Dinda lagi berada di perjalanan menuju ke suatu tempat yang jujur, gue anggap sih udah kayak sakral banget di datengin. Khususnya gue, yang sampai sekarang ini masih males buat kesana.
Tapi, yahhhh, namanya bini, kalo maunya ya maunya aja. Sulit bagi gue untuk menolak lagi. Karena sebelum-sebelumnya juga, sudah beribu alasan yang udah gue berikan ke dia ketika ajakan itu muncul. Cuma, untuk kali ini, gue benar-benar sudah habis cadangan alesan lagi.
Dan dengan sengaja buat lambetin lajunya mobil, mungkin salah satu bentuk alesan gue biar gue gak sampe ikut pada kegiatan rutin si Dinda ini di sana. Yahhh, gue rasa kalian pasti sudah bisa nebak, kemana arah tujuan gue, bukan? Dari membaca judulnya aja pasti kalian sudah paham.
“Iya iya. Ini juga udah cepet.” Gue membalas ucapan Dinda. Meski gue gak yakin, apakah dia sadar, kalo sebetulnya gue ngucapin itu sembari menggerutu di dalam hati.
Maklum, siapa coba yang gak kesal.
Gue yang memang notabenennya masih belum siap untuk ikut bersamanya hadir dalam kegiataan pengajian yang rutin ia ikutin itu, entah kenapa justru malam ini dia memaksa. Tidak biasanya. Alasannya sih, karena Pak Kyai yang biasa ia sebut buya itu – lah penyebab dari akar masalah yang sekarang terjadi. Buya menyuruh Dinda untuk ngajakin suaminya buat bertemu.
Dan suaminya itu….
Ya gue lah, tong. Masa orang lain.
“Nanti gak ada waktu buat ayah ketemu ama buya ihhh, kan jam 9 udah di mulai dzikirnya.” Cetus Dinda gak kalah sengitnya.
“Kan masih ada hari-hari lain bun… lagian ayah kan udah bilang tadi, kalo ayah masih belum siap buat ikut….” istri mau menyela, tapi gue langsung tancap gas lagi. “Jadi sekarang ayah cukup anterin aja yah… yah… yah”
“Ya… kan bunda gak nyuruh ikutin pengajiannya, bunda cuma ajakin ayah buat ketemu ama buya. Itu doang kok. Kalo udah ketemu sekali aja, trus ayah ngobrol bentar ama beliau, udah deh. Ayah udah bisa pulang…”
“Iye…. ayah tau kok apa yang lagi bunda rencanain… pasti nyuruh si buya itu buat rukiah suamimu ini kan.”
“Bukan rukiah ayah… ih gimana sih. Emangnya ayah lagi kerasukan gitu? hihihi”
“Iye kerasukan setan seksi….”
“Hahaha, tuh. Emang wajib sih ini di rukiah. Otak ayah makin hari makin gak stabil” malah becanda.
“Namanya juga laki-laki, bun…. jadi wajar kalo otaknya mesum mulu.” gue membela diri. Meski sejujurnya, gue akuin emang otak gue ini sulit banget gue normalin. Kerap kali, pikiran jorok muncul. Apalagi kalo udah lihat bokong seksi dan dada yang menggiurkan.
“Au ah. Pokoknya buruannnn…. jangan ngajakin bunda ngobrol terus. Ntar telat, udah mulai dzikir. Pasti ayah batal lagi ketemu ama buya”
“Hadeh bun. Kalo memang sudah saatnya, tanpa bunda paksa pun, ayah bakal ikut kok”
Karena gue males nyeritain panjang lebar, apalagi mendengar ocehan wanita di sebelah gue ini, mau gak mau, gue skip saja ya. Gak menarik bro. dan gue yakin, kalian juga bakal ikutan kesel bacanya. Hahay!
Well! Karena emang sepertinya malam ini, semesta lagi berpihak ke bini gue, alhasil gue tiba di tujuan tanpa ada hambatan sama sekali. Dan sialnya lagi, acara dzikirnya malah belum di mulai sama sekali. Yang artinya, gue bakal beneran di pertemukan ama abuya yang di maksud.
Hahahaha, tepok jidat. Pengen kabur, tapi keberanian gak menghampiri. Takut kalo Dinda malah berubah menjadi predator betina sambil memegang pisau dan ingin mencabik-cabik lakinya yang masih sepengecut ini buat menemui guru besarnya itu yang biasa ia sebut Buya.
Alhasil, mau gak mau pada akhirnya gue pun tak punya alasan buat tidak ketemu ama buya.
Oh iya, sedikit gue ceritain mengenai tempat yang gue datengin bareng Dinda. Bentuknya seperti rumah besar pada umumnya. Sama sih kayak rumah gue juga. Secara gue kan, bukan datang dari kalangan orang kismin. Gue hidup berkecukupan. Hidup dari kerjaan gue sebagai konten kreator, yang sejak 4 tahun yang lalu memutuskan buat resign dari kantor, dan fokus pada channel youtube, tiktok dan beberapa social media yang mampu menghasilkan pundi-pundi dollar buat gue.
Loh he, kok gue malah nyeritain tentang kehidupan gue ya? Oke forget it. Berjalan aja apa adanya ya.
Gue sendiri? Nama gue Adam Mahendra. Biasa di panggil Dam. Yang manggil kayak gini biasanya irit bicara, atau males manjengin jadi ‘A-dam’. Dan wanita yang tadi gue ceritain, yang sedari awal ngoceh melulu, namanya Dinda Wardani. Bini gue tentunya. Bini yang gue nikahin 6 bulan yang lalu. Yeah! Pengantin baru coyy. Masih hot-hot begete tentunya.
Sejujurnya, gue ma Dinda gak pernah sama sekali mau menunda kehamilannya. Tapi mungkin memang belum di kasih rejeki aja sama sang khaliq. Pun, biasanya ini menjadi senjatanya ketika ia ingin mengajak gue buat bergabung di majelisnya, yang gue samarin aja ya nama majelis ini, sebut saja MKTI. Yes. Itulah namanya. Senjata andalan Dinda awal-awal, adalah alasan supaya, apabila gue ikutan dengannya aktif di kegiatan keagamaan tersebut, mungkin saja, sang khaliq malah membukakan pintu rejeki buat kami mendapatkan keturunan. Tapi kalo udah males sedari awal, tentulah mau dengan cara apapun tak bakal mempan, bro.
Umur gue setaon lagi genep 30. Sedangkan Dinda, masih muda kawan. Masih 25 tahun. Hmm, muda gak yah, kalo segitu?
Kembali ke tempat ini. Gue mau nyebut masjid, tapi ini bukan masjid. Gue mao nyebut mushollah, tapi ini juga menjadi tempat tinggal bagi guru besar abuya, istri, anak-anaknya serta beberapa santri yang aktif disini. Jadi ku sebut saja, rumah MKTI ya. Biar gampang kalo mau lanjut bercerita.
Jadi rumah ini berlantai 3. Dan dari cerita Dinda, jika guru besarnya itu tinggal di lantai dua. Sedangkan di lantai tiganya, yang berupa beberapa kamar – serupa dengan kos-kosan gitu – adalah tempat tinggal para santri dari berbagai daerah. Di lantai satu inilah, tempat di adakannya dziqir dan di sertai dengan ceramah singkat, yang juga luasnya lumayan banget. Intinya begitu kalian masuk di lantai satu ini, kalian akan menemukan bentuk dan luasnya serupa dengan masjid, kali ya. Luas dan dingin.
Oh iya. Ini bukanlah kali pertama gue ke sini. Gue sering nganterin Dinda kalo dia lagi males nyetir. Dan beberapa sahabatnya pun, kenal ama gue. Baik itu ketika Dinda lagi di ajekin nongkrong nyantai, atau sekedar berbalas komentar di social media.
Begitu tiba tadi, memang gue akuin masih belum banyak yang datang. Hal itulah, yang pada akhirnya Dinda mencetuskan untuk ngajakin gue segera bertemu dengan guru besarnya.
Gue pun di ajak masuk Dinda ke sebuah ruangan di sisi samping lantai satu.
“Assalamualaikum wr wb…. buya, ini kak Adam. Suami Dinda.” Begitu Dinda mengenalkanku ke pria tua bersurban yang tengah duduk di singgasananya itu.
“Wa’alaikumsalam…. iya dek Dinda. Kan saya juga kenal sama suami kamu” gue Cuma ngangguk gak jelas saat pria tua itu berucap.
Rupanya ruangan ini, seperti ruangan kantor gitulah. Yang terdapat satu meja kantoran lengkap dengan kursi depan belakang. Di belakang si empunya ruangan tentulah terdapat dua rak bersusun tiga. Semoga kalian memahami bayangan ruangan yang gue jelaskan secara singkat ini ya, karena jujur gue gak berminat untuk menjelaskan secara rinci. Gak guna. Haha….
Pak tua pun mengajak gue buat bersalaman. Tentu saja, saat ia ingin bersalaman dengan gue, ia sempat berdiri dari duduknya. Gak sopan kalo dia Cuma duduk, sedangkan gue yang berdiri. Setelahnya, Dinda pun pamit, beralasan jika mau bertemu dengan temen-temennya di luar.
Kyai abuya ini duduk di kursinya, setelahnya, barulah ia mempersilahkan gue untuk duduk di depan mejanya. Karena memang satu kursi lainnya tersedia di sana. Jadi posisi kami berhadapan di pisahkan oleh meja kantor. Jadi posisi gue tentu saja membelakangi pintu masuk ruangan ini.
“Baik buya” gue sempat membalas ajakannya untuk duduk, sesopan mungkin.
Begitu gue duduk.
Maka….
Di mulailah cuap-cuapan ringan dari si pria tua di hadapan gue ini.
Setelah itu….
Yaelah….
Apa yang kalian harapin ya? Mau dengerin ceramah pria tua ini, tentang ini itunya, yang tujuannya secara tak langsung ngajakin gue buat aktif di sini? Sudahlah yah, gak ada yang menarik menurut gue.
Intinya….
Abuya bercerita panjang lebar sudah seperti rel kereta api, dan mendapatkan tanggapan dari gue yang ‘pura-pura’ serius mendengarkan.
Hingga….
Nah ini. Ini yang mau gue jelasin pada kalian. Kejadian menarik tentunya, jauh lebih menarik daripada nyeritain ocehan pria tua bersurban di hadapan gue ini.
Tiba-tiba saja…..
“Assalamualaikum wr wb…. bi, ini minumannya….” sebuah seruan lembut baru saja terdengar, saat gue masih mencoba ‘mengerti’ apa yang di sampaikan sejak tadi oleh pria tua ini. Tanpa ia sadari pun, sejak tadi mata ini terus menerus melirik ke arloji di lengan. Menghitung berapa lama lagi jam akan menunjukkan pukul 9 malam, yang menurut istri dan memang gue juga tahu karena sering mengantarnya, jika acara rutin mereka akan di mulai di jam 9 teng.
“Wa’alaikumsalam…. iya mi. makasih ya” balas abuya. Pria tua itu tersenyum lembut. Pasti wanita yang sedang membawakan minuman pada kami ini adalah istrinya. Yang juga sering Dinda sebut sebagai umi.
Karena seperti yang gue jelasin tadi, posisi gue sedang membelakangi pintu, maka awalnya gue tak menghiraukan, karena memang gue lagi gak ngelihat ke belakang.
Hingga di saat sebuah tangan yang memegang gelas terulur ke arah meja. Lengan yang tentu saja tertutup dengan kain berlengan panjang yang sama seperti pakaian yang Dinda dan para wanita-wanita yang hadir di sini, gunakan, menaruh dua cangkir minuman yang berasap-asap di atas meja, perhatian gue pun akhirnya teralihkan.
Dan sialnya….
Pada saat menoleh itu………………
Karena posisi si pembawa minuman itu cukup dekat, dan di perparah ruangan yang kami tempati ini gak luas-luas amat, 2 x 3 meteran ada kali, kalo tidak salah perkiraan, alhasil, hanya berjarak beberapa senti saja, hidung gue yang bangir mancung ini nyaris bersentuhan dengan…..
Payudara?
Sekal?
Padat berisi?
Sial….
Kenapa sih, malah di suguhkan pemandangan kek gini. Mana posisinya dekat banget lagi ama hidung sialan ini. Sialnya, wanita pemilik kulit putih bersih, dengan tubuh langsing tinggi semampai. Bokong dan payudaranya kelihatan bulat dan berisi meski dia memakai baju panjang yang agak longgar, malah masih benar-benar tidak sadar, kalo cara dia menaruh gelas di atas meja, bikin cenat-cenut pala atas bawah.
Tapi, mengingat situasi yang sedang gak kondusif, apalagi lakinya berada tepat di depan gue, alhasil gue mau gak mau menjauhkan diri sedikit dengan cara menyandar di kursi. Makanya, karena itulah, gue bisa simpulin di narasi pada paragraf sebelumnya. Wanita berkulit putih bersih, tubuh langsing tinggi semampai dan bla-bla, itu. Karena pada akhirnya gue tetap saja ngeliatin wanita itu, kawan.
Kejadian ini hanya singkat saja. Bahkan begitu wanita yang biasa di sebut ‘Umi’ oleh Dinda dan teman-temannya, telah selesai menyajikan dua gelas minuman panas buat kami berdua, begitu ingin berpamitan, tanpa sengaja, mata sialan gue ini malah terfokus pada sepasang payudara ‘mantap’ yang nyaris saja gue sentuh meski dengan hidung doang, tadi.
Payudaramu mengalihkan fokus gue, umi…..
Untung saja gue membatin doang. Gak sampai bicara secara langusng. Bisa kena bogem mentah nih dari lakinya di depan gue. Hahahaha…..
Dan untungnya, baik itu pria tua ini, maupun si umi yang cantiknya – baru gue sadari Masya Allah banget, tidak menyadari kalo ada sepasang mata nakal yang lagi mencoba menerawang jauh ke balik gamis abu-abunya itu.
Ahhhh sial……
Dinda oh Dinda. Mengapa engkau tidak pernah ngajekin si umi ke rumah selama ini, sih? Atau elu takut kalo lakimu malah jadi tergoda ya? Ckckckckckc.
“Jadi begitu dek Adam… belajar dulu sedikit-sedikit, atau jika memang masih berat dek Adam lakukan, mungkin sisipkan waktu buat sesekali ikut 1 sampai 5 menit kegiatan kami disini, kalo memang dek Adam masih merasa belum siap, kan bisa langsung akhiri saja dan keluar dari sini.” Begitu ujar Abuya, yang tentu saja sudah benar-benar ku acuhkan.
Sepertinya….
Gue gak punya alasan buat menolak kali ini. Apalagi sepasang dada montok yang begitu menggoda tadi, bikin semangat gue membara, bro…..
Bersambung Chapter 2CHAPTER 1
“Ayah ihhh, buruan nyetirnya. Kok malah lelet amat sih. Jalannya udah kayak jalan kura-kura.” Komentar Dinda.
Gue bareng Dinda lagi berada di perjalanan menuju ke suatu tempat yang jujur, gue anggap sih udah kayak sakral banget di datengin. Khususnya gue, yang sampai sekarang ini masih males buat kesana.
Tapi, yahhhh, namanya bini, kalo maunya ya maunya aja. Sulit bagi gue untuk menolak lagi. Karena sebelum-sebelumnya juga, sudah beribu alasan yang udah gue berikan ke dia ketika ajakan itu muncul. Cuma, untuk kali ini, gue benar-benar sudah habis cadangan alesan lagi.
Dan dengan sengaja buat lambetin lajunya mobil, mungkin salah satu bentuk alesan gue biar gue gak sampe ikut pada kegiatan rutin si Dinda ini di sana. Yahhh, gue rasa kalian pasti sudah bisa nebak, kemana arah tujuan gue, bukan? Dari membaca judulnya aja pasti kalian sudah paham.
“Iya iya. Ini juga udah cepet.” Gue membalas ucapan Dinda. Meski gue gak yakin, apakah dia sadar, kalo sebetulnya gue ngucapin itu sembari menggerutu di dalam hati.
Maklum, siapa coba yang gak kesal.
Gue yang memang notabenennya masih belum siap untuk ikut bersamanya hadir dalam kegiataan pengajian yang rutin ia ikutin itu, entah kenapa justru malam ini dia memaksa. Tidak biasanya. Alasannya sih, karena Pak Kyai yang biasa ia sebut buya itu – lah penyebab dari akar masalah yang sekarang terjadi. Buya menyuruh Dinda untuk ngajakin suaminya buat bertemu.
Dan suaminya itu….
Ya gue lah, tong. Masa orang lain.
“Nanti gak ada waktu buat ayah ketemu ama buya ihhh, kan jam 9 udah di mulai dzikirnya.” Cetus Dinda gak kalah sengitnya.
“Kan masih ada hari-hari lain bun… lagian ayah kan udah bilang tadi, kalo ayah masih belum siap buat ikut….” istri mau menyela, tapi gue langsung tancap gas lagi. “Jadi sekarang ayah cukup anterin aja yah… yah… yah”
“Ya… kan bunda gak nyuruh ikutin pengajiannya, bunda cuma ajakin ayah buat ketemu ama buya. Itu doang kok. Kalo udah ketemu sekali aja, trus ayah ngobrol bentar ama beliau, udah deh. Ayah udah bisa pulang…”
“Iye…. ayah tau kok apa yang lagi bunda rencanain… pasti nyuruh si buya itu buat rukiah suamimu ini kan.”
“Bukan rukiah ayah… ih gimana sih. Emangnya ayah lagi kerasukan gitu? hihihi”
“Iye kerasukan setan seksi….”
“Hahaha, tuh. Emang wajib sih ini di rukiah. Otak ayah makin hari makin gak stabil” malah becanda.
“Namanya juga laki-laki, bun…. jadi wajar kalo otaknya mesum mulu.” gue membela diri. Meski sejujurnya, gue akuin emang otak gue ini sulit banget gue normalin. Kerap kali, pikiran jorok muncul. Apalagi kalo udah lihat bokong seksi dan dada yang menggiurkan.
“Au ah. Pokoknya buruannnn…. jangan ngajakin bunda ngobrol terus. Ntar telat, udah mulai dzikir. Pasti ayah batal lagi ketemu ama buya”
“Hadeh bun. Kalo memang sudah saatnya, tanpa bunda paksa pun, ayah bakal ikut kok”
Karena gue males nyeritain panjang lebar, apalagi mendengar ocehan wanita di sebelah gue ini, mau gak mau, gue skip saja ya. Gak menarik bro. dan gue yakin, kalian juga bakal ikutan kesel bacanya. Hahay!
Well! Karena emang sepertinya malam ini, semesta lagi berpihak ke bini gue, alhasil gue tiba di tujuan tanpa ada hambatan sama sekali. Dan sialnya lagi, acara dzikirnya malah belum di mulai sama sekali. Yang artinya, gue bakal beneran di pertemukan ama abuya yang di maksud.
Hahahaha, tepok jidat. Pengen kabur, tapi keberanian gak menghampiri. Takut kalo Dinda malah berubah menjadi predator betina sambil memegang pisau dan ingin mencabik-cabik lakinya yang masih sepengecut ini buat menemui guru besarnya itu yang biasa ia sebut Buya.
Alhasil, mau gak mau pada akhirnya gue pun tak punya alasan buat tidak ketemu ama buya.
Oh iya, sedikit gue ceritain mengenai tempat yang gue datengin bareng Dinda. Bentuknya seperti rumah besar pada umumnya. Sama sih kayak rumah gue juga. Secara gue kan, bukan datang dari kalangan orang kismin. Gue hidup berkecukupan. Hidup dari kerjaan gue sebagai konten kreator, yang sejak 4 tahun yang lalu memutuskan buat resign dari kantor, dan fokus pada channel youtube, tiktok dan beberapa social media yang mampu menghasilkan pundi-pundi dollar buat gue.
Loh he, kok gue malah nyeritain tentang kehidupan gue ya? Oke forget it. Berjalan aja apa adanya ya.
Gue sendiri? Nama gue Adam Mahendra. Biasa di panggil Dam. Yang manggil kayak gini biasanya irit bicara, atau males manjengin jadi ‘A-dam’. Dan wanita yang tadi gue ceritain, yang sedari awal ngoceh melulu, namanya Dinda Wardani. Bini gue tentunya. Bini yang gue nikahin 6 bulan yang lalu. Yeah! Pengantin baru coyy. Masih hot-hot begete tentunya.
Sejujurnya, gue ma Dinda gak pernah sama sekali mau menunda kehamilannya. Tapi mungkin memang belum di kasih rejeki aja sama sang khaliq. Pun, biasanya ini menjadi senjatanya ketika ia ingin mengajak gue buat bergabung di majelisnya, yang gue samarin aja ya nama majelis ini, sebut saja MKTI. Yes. Itulah namanya. Senjata andalan Dinda awal-awal, adalah alasan supaya, apabila gue ikutan dengannya aktif di kegiatan keagamaan tersebut, mungkin saja, sang khaliq malah membukakan pintu rejeki buat kami mendapatkan keturunan. Tapi kalo udah males sedari awal, tentulah mau dengan cara apapun tak bakal mempan, bro.
Umur gue setaon lagi genep 30. Sedangkan Dinda, masih muda kawan. Masih 25 tahun. Hmm, muda gak yah, kalo segitu?
Kembali ke tempat ini. Gue mau nyebut masjid, tapi ini bukan masjid. Gue mao nyebut mushollah, tapi ini juga menjadi tempat tinggal bagi guru besar abuya, istri, anak-anaknya serta beberapa santri yang aktif disini. Jadi ku sebut saja, rumah MKTI ya. Biar gampang kalo mau lanjut bercerita.
Jadi rumah ini berlantai 3. Dan dari cerita Dinda, jika guru besarnya itu tinggal di lantai dua. Sedangkan di lantai tiganya, yang berupa beberapa kamar – serupa dengan kos-kosan gitu – adalah tempat tinggal para santri dari berbagai daerah. Di lantai satu inilah, tempat di adakannya dziqir dan di sertai dengan ceramah singkat, yang juga luasnya lumayan banget. Intinya begitu kalian masuk di lantai satu ini, kalian akan menemukan bentuk dan luasnya serupa dengan masjid, kali ya. Luas dan dingin.
Oh iya. Ini bukanlah kali pertama gue ke sini. Gue sering nganterin Dinda kalo dia lagi males nyetir. Dan beberapa sahabatnya pun, kenal ama gue. Baik itu ketika Dinda lagi di ajekin nongkrong nyantai, atau sekedar berbalas komentar di social media.
Begitu tiba tadi, memang gue akuin masih belum banyak yang datang. Hal itulah, yang pada akhirnya Dinda mencetuskan untuk ngajakin gue segera bertemu dengan guru besarnya.
Gue pun di ajak masuk Dinda ke sebuah ruangan di sisi samping lantai satu.
“Assalamualaikum wr wb…. buya, ini kak Adam. Suami Dinda.” Begitu Dinda mengenalkanku ke pria tua bersurban yang tengah duduk di singgasananya itu.
“Wa’alaikumsalam…. iya dek Dinda. Kan saya juga kenal sama suami kamu” gue Cuma ngangguk gak jelas saat pria tua itu berucap.
Rupanya ruangan ini, seperti ruangan kantor gitulah. Yang terdapat satu meja kantoran lengkap dengan kursi depan belakang. Di belakang si empunya ruangan tentulah terdapat dua rak bersusun tiga. Semoga kalian memahami bayangan ruangan yang gue jelaskan secara singkat ini ya, karena jujur gue gak berminat untuk menjelaskan secara rinci. Gak guna. Haha….
Pak tua pun mengajak gue buat bersalaman. Tentu saja, saat ia ingin bersalaman dengan gue, ia sempat berdiri dari duduknya. Gak sopan kalo dia Cuma duduk, sedangkan gue yang berdiri. Setelahnya, Dinda pun pamit, beralasan jika mau bertemu dengan temen-temennya di luar.
Kyai abuya ini duduk di kursinya, setelahnya, barulah ia mempersilahkan gue untuk duduk di depan mejanya. Karena memang satu kursi lainnya tersedia di sana. Jadi posisi kami berhadapan di pisahkan oleh meja kantor. Jadi posisi gue tentu saja membelakangi pintu masuk ruangan ini.
“Baik buya” gue sempat membalas ajakannya untuk duduk, sesopan mungkin.
Begitu gue duduk.
Maka….
Di mulailah cuap-cuapan ringan dari si pria tua di hadapan gue ini.
Setelah itu….
Yaelah….
Apa yang kalian harapin ya? Mau dengerin ceramah pria tua ini, tentang ini itunya, yang tujuannya secara tak langsung ngajakin gue buat aktif di sini? Sudahlah yah, gak ada yang menarik menurut gue.
Intinya….
Abuya bercerita panjang lebar sudah seperti rel kereta api, dan mendapatkan tanggapan dari gue yang ‘pura-pura’ serius mendengarkan.
Hingga….
Nah ini. Ini yang mau gue jelasin pada kalian. Kejadian menarik tentunya, jauh lebih menarik daripada nyeritain ocehan pria tua bersurban di hadapan gue ini.
Tiba-tiba saja…..
“Assalamualaikum wr wb…. bi, ini minumannya….” sebuah seruan lembut baru saja terdengar, saat gue masih mencoba ‘mengerti’ apa yang di sampaikan sejak tadi oleh pria tua ini. Tanpa ia sadari pun, sejak tadi mata ini terus menerus melirik ke arloji di lengan. Menghitung berapa lama lagi jam akan menunjukkan pukul 9 malam, yang menurut istri dan memang gue juga tahu karena sering mengantarnya, jika acara rutin mereka akan di mulai di jam 9 teng.
“Wa’alaikumsalam…. iya mi. makasih ya” balas abuya. Pria tua itu tersenyum lembut. Pasti wanita yang sedang membawakan minuman pada kami ini adalah istrinya. Yang juga sering Dinda sebut sebagai umi.
Karena seperti yang gue jelasin tadi, posisi gue sedang membelakangi pintu, maka awalnya gue tak menghiraukan, karena memang gue lagi gak ngelihat ke belakang.
Hingga di saat sebuah tangan yang memegang gelas terulur ke arah meja. Lengan yang tentu saja tertutup dengan kain berlengan panjang yang sama seperti pakaian yang Dinda dan para wanita-wanita yang hadir di sini, gunakan, menaruh dua cangkir minuman yang berasap-asap di atas meja, perhatian gue pun akhirnya teralihkan.
Dan sialnya….
Pada saat menoleh itu………………
Karena posisi si pembawa minuman itu cukup dekat, dan di perparah ruangan yang kami tempati ini gak luas-luas amat, 2 x 3 meteran ada kali, kalo tidak salah perkiraan, alhasil, hanya berjarak beberapa senti saja, hidung gue yang bangir mancung ini nyaris bersentuhan dengan…..
Payudara?
Sekal?
Padat berisi?
Sial….
Kenapa sih, malah di suguhkan pemandangan kek gini. Mana posisinya dekat banget lagi ama hidung sialan ini. Sialnya, wanita pemilik kulit putih bersih, dengan tubuh langsing tinggi semampai. Bokong dan payudaranya kelihatan bulat dan berisi meski dia memakai baju panjang yang agak longgar, malah masih benar-benar tidak sadar, kalo cara dia menaruh gelas di atas meja, bikin cenat-cenut pala atas bawah.
Tapi, mengingat situasi yang sedang gak kondusif, apalagi lakinya berada tepat di depan gue, alhasil gue mau gak mau menjauhkan diri sedikit dengan cara menyandar di kursi. Makanya, karena itulah, gue bisa simpulin di narasi pada paragraf sebelumnya. Wanita berkulit putih bersih, tubuh langsing tinggi semampai dan bla-bla, itu. Karena pada akhirnya gue tetap saja ngeliatin wanita itu, kawan.
Kejadian ini hanya singkat saja. Bahkan begitu wanita yang biasa di sebut ‘Umi’ oleh Dinda dan teman-temannya, telah selesai menyajikan dua gelas minuman panas buat kami berdua, begitu ingin berpamitan, tanpa sengaja, mata sialan gue ini malah terfokus pada sepasang payudara ‘mantap’ yang nyaris saja gue sentuh meski dengan hidung doang, tadi.
Payudaramu mengalihkan fokus gue, umi…..
Untung saja gue membatin doang. Gak sampai bicara secara langusng. Bisa kena bogem mentah nih dari lakinya di depan gue. Hahahaha…..
Dan untungnya, baik itu pria tua ini, maupun si umi yang cantiknya – baru gue sadari Masya Allah banget, tidak menyadari kalo ada sepasang mata nakal yang lagi mencoba menerawang jauh ke balik gamis abu-abunya itu.
Ahhhh sial……
Dinda oh Dinda. Mengapa engkau tidak pernah ngajekin si umi ke rumah selama ini, sih? Atau elu takut kalo lakimu malah jadi tergoda ya? Ckckckckckc.
“Jadi begitu dek Adam… belajar dulu sedikit-sedikit, atau jika memang masih berat dek Adam lakukan, mungkin sisipkan waktu buat sesekali ikut 1 sampai 5 menit kegiatan kami disini, kalo memang dek Adam masih merasa belum siap, kan bisa langsung akhiri saja dan keluar dari sini.” Begitu ujar Abuya, yang tentu saja sudah benar-benar ku acuhkan.
Sepertinya….
Gue gak punya alasan buat menolak kali ini. Apalagi sepasang dada montok yang begitu menggoda tadi, bikin semangat gue membara, bro…..
Bersambung Chapter 2CHAPTER 1
“Ayah ihhh, buruan nyetirnya. Kok malah lelet amat sih. Jalannya udah kayak jalan kura-kura.” Komentar Dinda.
Gue bareng Dinda lagi berada di perjalanan menuju ke suatu tempat yang jujur, gue anggap sih udah kayak sakral banget di datengin. Khususnya gue, yang sampai sekarang ini masih males buat kesana.
Tapi, yahhhh, namanya bini, kalo maunya ya maunya aja. Sulit bagi gue untuk menolak lagi. Karena sebelum-sebelumnya juga, sudah beribu alasan yang udah gue berikan ke dia ketika ajakan itu muncul. Cuma, untuk kali ini, gue benar-benar sudah habis cadangan alesan lagi.
Dan dengan sengaja buat lambetin lajunya mobil, mungkin salah satu bentuk alesan gue biar gue gak sampe ikut pada kegiatan rutin si Dinda ini di sana. Yahhh, gue rasa kalian pasti sudah bisa nebak, kemana arah tujuan gue, bukan? Dari membaca judulnya aja pasti kalian sudah paham.
“Iya iya. Ini juga udah cepet.” Gue membalas ucapan Dinda. Meski gue gak yakin, apakah dia sadar, kalo sebetulnya gue ngucapin itu sembari menggerutu di dalam hati.
Maklum, siapa coba yang gak kesal.
Gue yang memang notabenennya masih belum siap untuk ikut bersamanya hadir dalam kegiataan pengajian yang rutin ia ikutin itu, entah kenapa justru malam ini dia memaksa. Tidak biasanya. Alasannya sih, karena Pak Kyai yang biasa ia sebut buya itu – lah penyebab dari akar masalah yang sekarang terjadi. Buya menyuruh Dinda untuk ngajakin suaminya buat bertemu.
Dan suaminya itu….
Ya gue lah, tong. Masa orang lain.
“Nanti gak ada waktu buat ayah ketemu ama buya ihhh, kan jam 9 udah di mulai dzikirnya.” Cetus Dinda gak kalah sengitnya.
“Kan masih ada hari-hari lain bun… lagian ayah kan udah bilang tadi, kalo ayah masih belum siap buat ikut….” istri mau menyela, tapi gue langsung tancap gas lagi. “Jadi sekarang ayah cukup anterin aja yah… yah… yah”
“Ya… kan bunda gak nyuruh ikutin pengajiannya, bunda cuma ajakin ayah buat ketemu ama buya. Itu doang kok. Kalo udah ketemu sekali aja, trus ayah ngobrol bentar ama beliau, udah deh. Ayah udah bisa pulang…”
“Iye…. ayah tau kok apa yang lagi bunda rencanain… pasti nyuruh si buya itu buat rukiah suamimu ini kan.”
“Bukan rukiah ayah… ih gimana sih. Emangnya ayah lagi kerasukan gitu? hihihi”
“Iye kerasukan setan seksi….”
“Hahaha, tuh. Emang wajib sih ini di rukiah. Otak ayah makin hari makin gak stabil” malah becanda.
“Namanya juga laki-laki, bun…. jadi wajar kalo otaknya mesum mulu.” gue membela diri. Meski sejujurnya, gue akuin emang otak gue ini sulit banget gue normalin. Kerap kali, pikiran jorok muncul. Apalagi kalo udah lihat bokong seksi dan dada yang menggiurkan.
“Au ah. Pokoknya buruannnn…. jangan ngajakin bunda ngobrol terus. Ntar telat, udah mulai dzikir. Pasti ayah batal lagi ketemu ama buya”
“Hadeh bun. Kalo memang sudah saatnya, tanpa bunda paksa pun, ayah bakal ikut kok”
Karena gue males nyeritain panjang lebar, apalagi mendengar ocehan wanita di sebelah gue ini, mau gak mau, gue skip saja ya. Gak menarik bro. dan gue yakin, kalian juga bakal ikutan kesel bacanya. Hahay!
Well! Karena emang sepertinya malam ini, semesta lagi berpihak ke bini gue, alhasil gue tiba di tujuan tanpa ada hambatan sama sekali. Dan sialnya lagi, acara dzikirnya malah belum di mulai sama sekali. Yang artinya, gue bakal beneran di pertemukan ama abuya yang di maksud.
Hahahaha, tepok jidat. Pengen kabur, tapi keberanian gak menghampiri. Takut kalo Dinda malah berubah menjadi predator betina sambil memegang pisau dan ingin mencabik-cabik lakinya yang masih sepengecut ini buat menemui guru besarnya itu yang biasa ia sebut Buya.
Alhasil, mau gak mau pada akhirnya gue pun tak punya alasan buat tidak ketemu ama buya.
Oh iya, sedikit gue ceritain mengenai tempat yang gue datengin bareng Dinda. Bentuknya seperti rumah besar pada umumnya. Sama sih kayak rumah gue juga. Secara gue kan, bukan datang dari kalangan orang kismin. Gue hidup berkecukupan. Hidup dari kerjaan gue sebagai konten kreator, yang sejak 4 tahun yang lalu memutuskan buat resign dari kantor, dan fokus pada channel youtube, tiktok dan beberapa social media yang mampu menghasilkan pundi-pundi dollar buat gue.
Loh he, kok gue malah nyeritain tentang kehidupan gue ya? Oke forget it. Berjalan aja apa adanya ya.
Gue sendiri? Nama gue Adam Mahendra. Biasa di panggil Dam. Yang manggil kayak gini biasanya irit bicara, atau males manjengin jadi ‘A-dam’. Dan wanita yang tadi gue ceritain, yang sedari awal ngoceh melulu, namanya Dinda Wardani. Bini gue tentunya. Bini yang gue nikahin 6 bulan yang lalu. Yeah! Pengantin baru coyy. Masih hot-hot begete tentunya.
Sejujurnya, gue ma Dinda gak pernah sama sekali mau menunda kehamilannya. Tapi mungkin memang belum di kasih rejeki aja sama sang khaliq. Pun, biasanya ini menjadi senjatanya ketika ia ingin mengajak gue buat bergabung di majelisnya, yang gue samarin aja ya nama majelis ini, sebut saja MKTI. Yes. Itulah namanya. Senjata andalan Dinda awal-awal, adalah alasan supaya, apabila gue ikutan dengannya aktif di kegiatan keagamaan tersebut, mungkin saja, sang khaliq malah membukakan pintu rejeki buat kami mendapatkan keturunan. Tapi kalo udah males sedari awal, tentulah mau dengan cara apapun tak bakal mempan, bro.
Umur gue setaon lagi genep 30. Sedangkan Dinda, masih muda kawan. Masih 25 tahun. Hmm, muda gak yah, kalo segitu?
Kembali ke tempat ini. Gue mau nyebut masjid, tapi ini bukan masjid. Gue mao nyebut mushollah, tapi ini juga menjadi tempat tinggal bagi guru besar abuya, istri, anak-anaknya serta beberapa santri yang aktif disini. Jadi ku sebut saja, rumah MKTI ya. Biar gampang kalo mau lanjut bercerita.
Jadi rumah ini berlantai 3. Dan dari cerita Dinda, jika guru besarnya itu tinggal di lantai dua. Sedangkan di lantai tiganya, yang berupa beberapa kamar – serupa dengan kos-kosan gitu – adalah tempat tinggal para santri dari berbagai daerah. Di lantai satu inilah, tempat di adakannya dziqir dan di sertai dengan ceramah singkat, yang juga luasnya lumayan banget. Intinya begitu kalian masuk di lantai satu ini, kalian akan menemukan bentuk dan luasnya serupa dengan masjid, kali ya. Luas dan dingin.
Oh iya. Ini bukanlah kali pertama gue ke sini. Gue sering nganterin Dinda kalo dia lagi males nyetir. Dan beberapa sahabatnya pun, kenal ama gue. Baik itu ketika Dinda lagi di ajekin nongkrong nyantai, atau sekedar berbalas komentar di social media.
Begitu tiba tadi, memang gue akuin masih belum banyak yang datang. Hal itulah, yang pada akhirnya Dinda mencetuskan untuk ngajakin gue segera bertemu dengan guru besarnya.
Gue pun di ajak masuk Dinda ke sebuah ruangan di sisi samping lantai satu.
“Assalamualaikum wr wb…. buya, ini kak Adam. Suami Dinda.” Begitu Dinda mengenalkanku ke pria tua bersurban yang tengah duduk di singgasananya itu.
“Wa’alaikumsalam…. iya dek Dinda. Kan saya juga kenal sama suami kamu” gue Cuma ngangguk gak jelas saat pria tua itu berucap.
Rupanya ruangan ini, seperti ruangan kantor gitulah. Yang terdapat satu meja kantoran lengkap dengan kursi depan belakang. Di belakang si empunya ruangan tentulah terdapat dua rak bersusun tiga. Semoga kalian memahami bayangan ruangan yang gue jelaskan secara singkat ini ya, karena jujur gue gak berminat untuk menjelaskan secara rinci. Gak guna. Haha….
Pak tua pun mengajak gue buat bersalaman. Tentu saja, saat ia ingin bersalaman dengan gue, ia sempat berdiri dari duduknya. Gak sopan kalo dia Cuma duduk, sedangkan gue yang berdiri. Setelahnya, Dinda pun pamit, beralasan jika mau bertemu dengan temen-temennya di luar.
Kyai abuya ini duduk di kursinya, setelahnya, barulah ia mempersilahkan gue untuk duduk di depan mejanya. Karena memang satu kursi lainnya tersedia di sana. Jadi posisi kami berhadapan di pisahkan oleh meja kantor. Jadi posisi gue tentu saja membelakangi pintu masuk ruangan ini.
“Baik buya” gue sempat membalas ajakannya untuk duduk, sesopan mungkin.
Begitu gue duduk.
Maka….
Di mulailah cuap-cuapan ringan dari si pria tua di hadapan gue ini.
Setelah itu….
Yaelah….
Apa yang kalian harapin ya? Mau dengerin ceramah pria tua ini, tentang ini itunya, yang tujuannya secara tak langsung ngajakin gue buat aktif di sini? Sudahlah yah, gak ada yang menarik menurut gue.
Intinya….
Abuya bercerita panjang lebar sudah seperti rel kereta api, dan mendapatkan tanggapan dari gue yang ‘pura-pura’ serius mendengarkan.
Hingga….
Nah ini. Ini yang mau gue jelasin pada kalian. Kejadian menarik tentunya, jauh lebih menarik daripada nyeritain ocehan pria tua bersurban di hadapan gue ini.
Tiba-tiba saja…..
“Assalamualaikum wr wb…. bi, ini minumannya….” sebuah seruan lembut baru saja terdengar, saat gue masih mencoba ‘mengerti’ apa yang di sampaikan sejak tadi oleh pria tua ini. Tanpa ia sadari pun, sejak tadi mata ini terus menerus melirik ke arloji di lengan. Menghitung berapa lama lagi jam akan menunjukkan pukul 9 malam, yang menurut istri dan memang gue juga tahu karena sering mengantarnya, jika acara rutin mereka akan di mulai di jam 9 teng.
“Wa’alaikumsalam…. iya mi. makasih ya” balas abuya. Pria tua itu tersenyum lembut. Pasti wanita yang sedang membawakan minuman pada kami ini adalah istrinya. Yang juga sering Dinda sebut sebagai umi.
Karena seperti yang gue jelasin tadi, posisi gue sedang membelakangi pintu, maka awalnya gue tak menghiraukan, karena memang gue lagi gak ngelihat ke belakang.
Hingga di saat sebuah tangan yang memegang gelas terulur ke arah meja. Lengan yang tentu saja tertutup dengan kain berlengan panjang yang sama seperti pakaian yang Dinda dan para wanita-wanita yang hadir di sini, gunakan, menaruh dua cangkir minuman yang berasap-asap di atas meja, perhatian gue pun akhirnya teralihkan.
Dan sialnya….
Pada saat menoleh itu………………
Karena posisi si pembawa minuman itu cukup dekat, dan di perparah ruangan yang kami tempati ini gak luas-luas amat, 2 x 3 meteran ada kali, kalo tidak salah perkiraan, alhasil, hanya berjarak beberapa senti saja, hidung gue yang bangir mancung ini nyaris bersentuhan dengan…..
Payudara?
Sekal?
Padat berisi?
Sial….
Kenapa sih, malah di suguhkan pemandangan kek gini. Mana posisinya dekat banget lagi ama hidung sialan ini. Sialnya, wanita pemilik kulit putih bersih, dengan tubuh langsing tinggi semampai. Bokong dan payudaranya kelihatan bulat dan berisi meski dia memakai baju panjang yang agak longgar, malah masih benar-benar tidak sadar, kalo cara dia menaruh gelas di atas meja, bikin cenat-cenut pala atas bawah.
Tapi, mengingat situasi yang sedang gak kondusif, apalagi lakinya berada tepat di depan gue, alhasil gue mau gak mau menjauhkan diri sedikit dengan cara menyandar di kursi. Makanya, karena itulah, gue bisa simpulin di narasi pada paragraf sebelumnya. Wanita berkulit putih bersih, tubuh langsing tinggi semampai dan bla-bla, itu. Karena pada akhirnya gue tetap saja ngeliatin wanita itu, kawan.
Kejadian ini hanya singkat saja. Bahkan begitu wanita yang biasa di sebut ‘Umi’ oleh Dinda dan teman-temannya, telah selesai menyajikan dua gelas minuman panas buat kami berdua, begitu ingin berpamitan, tanpa sengaja, mata sialan gue ini malah terfokus pada sepasang payudara ‘mantap’ yang nyaris saja gue sentuh meski dengan hidung doang, tadi.
Payudaramu mengalihkan fokus gue, umi…..
Untung saja gue membatin doang. Gak sampai bicara secara langusng. Bisa kena bogem mentah nih dari lakinya di depan gue. Hahahaha…..
Dan untungnya, baik itu pria tua ini, maupun si umi yang cantiknya – baru gue sadari Masya Allah banget, tidak menyadari kalo ada sepasang mata nakal yang lagi mencoba menerawang jauh ke balik gamis abu-abunya itu.
Ahhhh sial……
Dinda oh Dinda. Mengapa engkau tidak pernah ngajekin si umi ke rumah selama ini, sih? Atau elu takut kalo lakimu malah jadi tergoda ya? Ckckckckckc.
“Jadi begitu dek Adam… belajar dulu sedikit-sedikit, atau jika memang masih berat dek Adam lakukan, mungkin sisipkan waktu buat sesekali ikut 1 sampai 5 menit kegiatan kami disini, kalo memang dek Adam masih merasa belum siap, kan bisa langsung akhiri saja dan keluar dari sini.” Begitu ujar Abuya, yang tentu saja sudah benar-benar ku acuhkan.
Sepertinya….
Gue gak punya alasan buat menolak kali ini. Apalagi sepasang dada montok yang begitu menggoda tadi, bikin semangat gue membara, bro…..
Bersambung Chapter 2