#Part 18 Lapangan Terbang
Dan siangnya, sesuai janji subuh itu, kami bertemu di Terminal Ampera. Ini memang modus yang telah kami sepakati untuk mengantisipasi kecurigaan para tetangga. Kami akan pergi sendiri-sendiri dari rumah dan akan bertemu di tempat yang telah ditetapkan, yaitu di sini, di Terminal Ampera. Ingat! Ini Palembang di tahun tujuh puluhan dimana terminal induk terpusat di Terminal Ampera yang becek, berlubang, dan bercampur dengan aneka pedagang. Kini, Terminal Ampera yang berada di kolong Jembatan Ampera telah berubah menjadi tempat wisata.
Dari Terminal Ampera, dengan angkutan umum, kami melaju ke arah Talang Betutu. Transportasi Palembang di tahun tujuh puluhan akhir masih lengang sehingga laju mobil begitu lancar. Sekitar dua puluh menit kemudian kami turun. Setelah menapak jalan yang belum beraspal dan sepi dari bangunan rumah, dengan menggendong Dadan, anaknya, kami melewati jalan setapak di antara pohon-pohon karet.
Akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Lengang. Hanya jerit unggas yang terdengar. Tumben tempat ini sepi. Oh ya, sebelumnya kami sudah pernah kemari dan biasanya tempat ini ramai dengan pasangan yang sedang di mabuk asmara. Di sini tiap pasangan bebas mengekspresikan cinta mereka dengan gaya masing-masing. Sedang kami, tahu diri dengan umur kami, hanya duduk-duduk mengobrol atau menonton perilaku pasangan-pasangan muda yang ada disekitar kami.
Setelah menurunkan Dadan yang sedari tadi kudukung, aku menuju barisan pohon besar dan rimbun yang berada di sudut terhalang semak-semak. Teduh tempatnya dan rumputnya tumbuh merata. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut untuk memastikan tidak adanya kehadiran orang lain disekitar kami. Setelah yakin tempatnya aman, maka kupanggil perempuan mungil itu mendekat.
Dengan menuntun anaknya, istri kakak iparku mendekat. Setelah berdiri disampingku, matanya menatap berkeliling.
“Kok sepi, ya?”Terdengar nada khawatir di suaranya.
“Kebetulan saja, Ceu,”jawabku, coba memenangkannya.”Sekarang ‘kan bukan hari libur, jadi tidak ada yang datang kemari.”
Mengabaikan kekhawatirannya, aku ambil tas yang sedari tadi dibawa oleh istri kakak iparku. Dari tas itu, aku keluarkan selembar plastik. Setelah mengembalikan kembali tas ke pemiliknya, aku lebarkan lipatan plastik itu dan menebarnya di rerumputan.
“Silakan duduk, Tuan Putri.”Bak seorang pangeran, aku persilakan dia duduk.
Dadan, anak lelakinya yang berusia enam tahun, duduk. Istri kakak iparku pun ikut duduk dan aku memilih duduk disampingnya. Di atas hamparan plastik itu hanya ada aku, perempuan mungil yang duduk disampingku, dan anak kecil lugu serta suasana sepi yang mengundang.
Dari dalam tas, istri kakak iparku mengeluarkan dua asoy hitam, sebutan untuk tas kresek di Palembang, dan menaruhnya didepan kami. Saat istri kakak iparku membuka asoy hitam yang paling besar, aku pun membantu membuka asoy hitam satunya dan aku keluarkan isinya. Bersemangat sekali anak kecil itu memunguti beragam permen yang aku sebar di depannya di atas hamparan plastik. Kemudian menyusul istri kakak iparku membukalebarkan asoy hitamnya. Isinya roti-roti dan kudapan dalam bungkus plastik yang kami beli saat masih berada di Terminal Ampera.
“Dadan mau kue yang mana?”tawarnya pada anaknya yang sedari tadi mengintai.
Istri kakak iparku mengambil satu bungkus roti coklat yang ditunjuk oleh anaknya. Setelah merobek plastik pembungkusnya, dia memberikan roti coklat itu kepada anaknya. Dadan segera melahap roti coklat itu. Kelaparan dia karena jam tanganku sudah menunjuk ke angka sebelas. Aku pun mengambil satu dan merobek plastik pembungkusnya. Dibawah tatapan anak kecil itu, kubawa roti yang aku pegang mendekat ke mulut istri kakak iparku. Disambutnya roti yang aku sodorkan. Digigitnya roti itu. Gantian istri kakak iparku yang menyuapkan roti ke mulutku, lalu dia pun menyuapkan roti ke mulut anaknya.
Dari dalam asoy yang sama, aku ambil satu kaleng minuman, membukanya, dan meminumnya, lalu aku berikan kepada Dadan. Kemudian, kuambil satu lagi kaleng minuman, kubuka, dan kuserahkan ke sang kekasih. Dari satu kaleng minuman yang sama, bergantian kami menyeruput isinya. Romantis.
Matahari yang terik, tanpa awan di langit, pasti membuat orang malas untuk beraktivitas di luar rumah. Untungnya, hamparan plastik yang kami duduki terhalang oleh bayangan rimbunnya pepohonan yang berdiri dibelakang kami. Tersembunyi dibalik semak-semak rimbun, sambil menikmati kudapan dan minuman, duduk kami kian merapat. Tanganku melingkar melewati pinggangnya, berlabuh di pahanya, sedangkan tangannya pun jatuh di pahaku.
Bersembunyi dari pandangan anak kecil itu, aku ambil kesempatan untuk menempelkan bibirku ke bibirnya. Meskipun awalnya malu bercampur takut, akhirnya istri kakak iparku membalasnya. Sekilas-sekilas, tapi sering dan kian panas ciuman kami. Dadan hanya tertawa saat tanpa sengaja mendapati bibir kami saling merapat. Birahi yang tak tuntas semalam kembali membara.
Hari ini dia mengenakan pakaian yang di era tujuh puluhan sedang trend, rok di atas lutut, sehingga kakinya yang dia selonjorkan memanjang terlihat begitu menarik untuk aku elus. Untuk menutupi tangan nakalku yang mengelus paha putih mulusnya dari pandangan anaknya, perempuan mungil itu menaruh tas di atas paha. Maka, dengan mudah jemariku masuk untuk menyentuh kemaluannya.
“Geli,”ucapnya pelan kala jemari tanganku mengutili bagian tengah celana dalamnya.
“Sudah becek,”godaku di telinganya.
“Mimih,”panggil Dadan.
“Ada apa?”Dengan wajah tak bersalah, istri kakak iparku yang rebah dalam pelukanku menanggapi anaknya.
“Haus.”Dadan duduk di dekat kami, mengambil botol air minum dan meminumnya.
Setelah minum, Dadan kembali tenggelam dalam kudapannya dan kembali pula aku menggerayangi selangkangan itu. Jari-jemariku menyelinap masuk ke celana dalamnya, untuk memainkan belahan memanjang yang ada di sana. Bulu-bulu jembutnya yang pendek-pendek, tajam mengenai jemariku.
Terdengar lenguhannya akibat klitorisnya aku sentuh dan aku tekan-tekan lembut. Tubuhnya melentik. Kepalanya jatuh di pundakku. Maka, segera kuambil bibirnya. Dengan penuh nafsu, perempuan mungil itu membalas kulumanku di bibirnya. Kusambut lidahnya yang menjulur itu. Kusedot lidahnya masuk ke mulutku dan lidah kami pun saling pilin.
Buah dadanya masih aman berada dalam tempatnya. Adalah kebiasaan istri kakak iparku untuk menyumpalkan handuk kecil di balik behanya. Barangkali agar buah dadanya yang ranum dan mengkal itu terlihat lebih menonjol. Aku memang tidak menyentuh buah dadanya karena aku tidak mau menyakiti perasannya. Aku berpura-pura saja tidak mengetahui kebiasaannya itu. Bibirnya aku lepaskan.
“Mau apa?”Dia protes saat kupaksa dia bersimpuh.
Kelabakan dia jadinya saat aku dorong dia menungging. Ditaruhnya dua tangannya di tanah untuk menyanggah tubuhnya. Kini aku bersimpuh dibelakangnya, mendekati pantatnya yang masih tersimpan dibalik rok mininya.
“Nanti ada yang lihat!”ujarnya lagi begitu tanganku masuk ke dalam rok dan menarik turun celana dalam itu.
“Amiir…”rengeknya.
“Diam, Ceu. Nanti Dadan dengar,”ucapku sambil menempelkan senjataku di belahan pantatnya.
Tanpa perlawanan, dia buka lebar pahanya untuk mempermudahkan aku menusukkan senjata ke lubang kemaluannya yang sudah basah itu dan,”Ah! Amir.”
Pinggangnya aku pegang. Pelan-pelan kugenjot kemaluannya, maju dan mundur. Desahannya terdengar pelan. Sepertinya dia sengaja meredam desahannya agar tidak menyebar jauh.
“Mimih!”teriakan Dadan membuyarkan konsentrasi kami.
Dengan segera kucabut senjataku dari alat kelaminnya. Cepat-cepat aku masukkan kontol ke dalam celana dalam. Sambil merapikan celana, kuarahkan pandangan. Begitu pula istri kakak iparku yang merapikan roknya, matanya pun beredar menatap sekitar kami yang tetap sepi. Tapi, tidak terlihat satu pun batang hidung orang.
Dadan berlari menjauhi kami, menuju pagar kawat.”Pesawat terbang!”
Lemas istri kakak iparku duduk. Demikian juga aku yang ikut terduduk di hamparan plastik itu. Detak jantungku yang tak karuan, seperti hendak lepas dari tempatnya. Kami bertatap, menghela napas lega, lantas tersenyum. Istri kakak iparku memegang dadanya, seperti hendak menenangkan jantungnya yang pasti sama berdetak tidak karuan.
Maka, kuambilnya botol air minum yang menggeletak di dekat asoy makanan dan kuanjurkan istri kakak iparku untuk minum. Aku biarkan dia meneguk air minum itu untuk menenangkan diri. Setelah itu, giliran aku yang meminumnya. Tapi, belum sempat aku menaruh kembali botol air minum, di buat heran aku dengan kelakuan istri kakak iparku yang celingak-celinguk seperti ketakutan dan lalu senyumku terbit melihat dia mengambil celana dalam yang masih menyangkut di kakinya. Secepatnya dia menyimpannya di dalam tasnya.
Sialan budak kecik tu, gumamku kesal sembari menatap Dadan yang hilir mudik didekat pagar kawat. Kukira ada orang yang mengetahui keberadaan kami dan datang untuk menggerebek. Rupanya hanya pesawat terbang yang akan berangkat. Oh ya, tempat kencan kami ini memang berada di luar areal bandar udara Talang Betutu. Sekarang Bandar Udara Talang Betutu menjadi menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia. Pemisah antara kami dengan lokasi bandara adalah pagar kawat setinggi enam meteran.
Kupanjangkan kaki-kakiku ke depan sementara istri kakak iparku melipat kedua kakinya dibawah rok. Aku bergeser, merapat kembali kepadanya. Aku ambil jemari tangannya dan aku remas pelan. Sayangnya istri kakak iparku tidak membalas meremas jemariku. Dalam diam, bersama-sama kami menikmati birunya langit hari ini, arakan-arakan awan yang melewati kami, dan menonton Dadan yang masih menunggu pesawat terbang sambil bergelantungan di pagar kawat pembatas.
Lalu,“Burungku bangun, Ceu?”
“Kok bisa?”
“Ya, bisalah. Kan dekat dengan Eceu.”
“Gombal…”
“Ini kalau tidak percaya.”Aku keluarkan senjataku dari dalam celana dalam.
“Nanti ada orang, Amir,”tukas istri kakak iparku sambil kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan.
“Kan ada Dadan yang menjadi penjaga.”Dengan bibirku, aku menunjuk Dadan yang masih berdiri berpegangan pada kawat pembatas.
“Dadan itu masih kecil, Amiir,”kesal istri kakak iparku mencubit pahaku dan aku hanya tertawa.
“Cepat disimpan burungnya. Nanti dilihat Dadan,”ucapnya lagi saat mendapati kontolku yang memang tidak aku kembalikan ke dalam celana dalam.
“Burungnya ingin masuk ke sarangnya lagi, Ceu,”bisikku di telinganya,”Tadi terganggu gara-gara kapal terbang.”
Melengos istri kakak iparku.
“Aman, kan?”gurauku saat mata istri kakak iparku selesai bergerilya memantau keamanan sekitar kami.
“Nanti ada orang, Amir,”ucapnya saat kutarik wajahnya mendongak, tapi dibiarkannya aku mengambil bibirnya. Buas dia membalas kulumanku. Desahan keluar tertahan-tahan akibat bibirnya masih masih menyatu dengan bibirku, sementara jari-jari masuk ke dalam rok, meraba pahanya yang segera melebar kala jemariku meraih lubang bersemak yang hangat dan lembut itu.
Akhirnya, dengan bibir tetap menyatu hangat, kudorong tubuhnya rebah di atas hamparan plastik. Kutimpakan tubuhku untuk menindih dia. Sebelum istri kakak iparku memprotesnya, aku pegang kepalanya dan kuhujani pipinya dengan ciumanku.
Ciumanku terhenti karena Dadan duduk disamping kami. Sambil memegang kaleng minuman, dia memandang kami. Aku tatap istri kakak iparku yang terbaring aku tindih dan dia pun menatap aku, tapi dia tidak hendak membuatku turun dari menindihnya. Maka, dua tanganku aku taruh di samping tubuhnya. Aku angkat tubuhku tinggi meninggalkan tubuhnya, tapi tidak selangkangannya. Kontolku merangsek masuk di antara dua pahanya. Kusibak roknya. Kurasakan kulit kemaluannya yang hangat dan lembut, sekaligus juga bulu-bulu jembutnya yang kasar, saat kontolku menempel. Sambil menatap dia yang aku tindih, aku gesek-gesekan kontolku di belahan memanjang di selangkangannya, maju mundur. Melotot mata istri kakak iparku jadinya, tapi dia tidak memprotesnya. Karena kontolku telah berada di dalam belahan memanjang itu, aku angkat sedikit pantatku dan istri kakak iparku menjengit ketika kepala kontolku tiba di ambang lubang di selangkangan itu.
Saat aku benamkan kontolku, jari-jari istri kakak iparku mencengkeram tanganku dan dia melenguh panjang.”Ahh….”
Sambil tetap memajumundurkan kontolku di dalam lubang kemaluannya, aku menatap dia dan istri kakak iparku balik menatap aku. Mulutnya membuka, tapi tak terdengar desahannya. Mata itu melotot.
Seperti tidak mau mengganggu kami, Dadan akhirnya ikut berbaring disamping kami. Sambil tetap melihat ke arah kami, matanya mulai terpejam. Kaleng minuman yang dia pegang, agar tidak tumpah, aku ambil.
Dan, akhirnya, dibawah bayangan langit biru cerah, diiringi hembusan angin, tubuh kami menyatu. Tersembunyi di balik semak-semak, aku hujamkan kontolku maju mundur. Dengusnya terdengar berirama di telingaku. Birahi yang tertinggal semalam kami hamburkan saat ini.
“Mau kemana?”istri kakak iparku bertanya bingung kala aku tarik dia berdiri.
Sambil menurunkan roknya yang tersingkap, mata istri kakak iparku menyebar ke setiap sudut untuk memastikan tidak ada mata yang melihatnya.
“Kita lihat kapal terbang, Ceu,”sambil tersenyum, sambil merengkuh tubuhnya, aku berucap.
“Jangan gila, Amir,”ucapnya panik.
Aku, yang sudah terbenam dalam birahi, karena istri kakak iparku terus melawan, mengangkat tubuh mungilnya, membopongnya. Terhalang celana yang menyangkut di lututku, dengan hati-hati aku melangkah karena istri kakak iparku ribut didalam gendonganku. Sesampai didepan pagar kawat pembatas bandara, aku turunkan dia.
“Nanti ada yang lihat, Amir,” ujarnya ketakutan.
Sebenarnya aku pun takut. Tapi, birahi ini membutakan aku. Semoga saja tidak ada yang lihat, batinku saat ada pesawat yang melaju didepan kami.
Berjongkok aku di depannya. Kaki kirinya aku angkat meninggi, lalu kepalaku bermain di selangkangannya. Ada desahan terdengar kala kemaluannya aku jilati. Jemari tangannya menjambak rambutku. Dengan lidahku, aku tusuk-tusuki lubang kemaluannya. Desahannya lebih kuat terdengar.”Ah…ah…ah…”
Selangkangan itu aku tinggalkan. Aku berdiri sementara istri kakak iparku menurunkan kaki kirinya, ikut berdiri sembari menutupi selangkangannya dengan roknya. Kupegang kontolku yang panjang menegang. Roknya kutarik meninggi dan kudatangi selangkangannya. Kembali aku angkat paha kirinya dan tangannya mencengkeram erat pada kawat pembatas. Kupendekkan dua kakiku agar tinggiku seimbang dengan lubang kemaluannya. Menyeringai dia kala aku tusukkan kontolku ke lubang kenikmatan miliknya. Terdengar lenguhan panjang ketika kontolku memutari lubang yang membasah itu. Berjinjit kakinya agar kontolku tidak terlepas saat aku meninggi. Masih dalam posisi berdiri berhadap-hadapan, kudesak-desakkan kontolku ke kemaluannnya. Istriku kian kuat berpegangan pada kawat pembatas. Desahannya pun kian keras terdengar.
“Ahh!”Terdengar keras desahan ketika aku tarik lepas kontolku dari lubang kemaluan milik istri kakak iparku. Hampir terjatuh dia. Lemah tubuhnya bergayut di kawat pembatas. Cepat aku membalikkan dia membelakangi aku. Kudorong istri kakak iparku merunduk. Dua kakinya dilebarkannya dan dua tangannya berpegangan pada pagar kawat. Sambil menepuk pantat itu, aku selipkan kontolku ke belahan pantatnya.
“Ah…,”desahan panjang keluar dari mulutnya kala senjata itu menyelinap masuk ke lubang kemaluannya.
Kontolku maju mundur di dalam lubang kemaluannya dan desahannya terdengar keras. A-ha! Sudah lupa kekasihku ini kalau kami sedang berada di luar ruangan, sudah lupa dia kalau peluang kami untuk digerebek masyarakat sangat besar. Birahi ini memang membutakan.
Kontolku berdenyut. Spermaku hendak meluncur. Maka, aku perkuat dudukkan kakiku, aku pegang kuat-kuat pinggangnya, dan desahan istri kakak iparku terdengar kuat saat aku mempercepat tusukanku di lubang kemaluannya.
“Ah!”Mengejang tubuhku. Di dalam lubang kemaluan itu, kontolku menghujam dalam-dalam. Aku biarkan spermaku menyiram kemaluannya.
Begitu sperma berhenti menyemprot, aku cabut kontolku dari lubang kemaluannya. Celana dalam aku tarik naik, juga celana katunku, untuk kembali menutupi selangkanganku. Begitu pula istri kakak iparku yang secepatnya merapikan roknya.
Sambil melihat-lihat ke sekitar, dia limbung berjalan meninggalkan aku. Sementara itu, aku tetap berada di pagar kawat pembatas itu, memandang ke dalam, ke kejauhan dimana pesawat terbang-pesawat terbang berada.
Lantas pagar kawat pembatas itu aku tinggalkan. Aku datangi istri kakak iparku yang duduk di samping anaknya yang masih tertidur. Duduk aku di sampingnya. Kaleng minuman aku ambil. Kutawari dia, tapi dia menolaknya, maka aku meminum isinya. Kemudian kuambil roti dari dalam asoy hitam dan kembali menawarinya, tapi kembali menolak dia.
Istri kakak iparku mengelus kepala Dadan yang masih tertidur.”Kasihan Dadan, ya, Amir?”
“Kasihan kenapa?”
“Terlalu cepat dewasa dia.”
“Kenapa pula?”
“Gara-gara sering lihat tontonan dewasa, pasti dia cepat dewasa daripada umurnya.”
Hahaha! Tertawa aku.
“Sudah sering dia melihat kita telanjang, melihat kita saling tindih,”lanjutnya,”Mengerti tidak, ya, dia dengan apa yang kita lakukan?”
“Pernah tidak dia menonton Eceu sedang dikerjai oleh Akang?”tanyaku.
“Kok kesitu pertanyaan?”Sepertinya istri kakak iparku heran karena aku membawa-bawa suaminya, si Akang.
“Bukannya kenapa-napa, Ceu. Kalau Dadan sering nonton Eceu dan Akang yang telanjang sedang main pompa-pompaan, berarti bukan salah aku saja, tapi Akang juga punya saham membuat Dadan cepat dewasa.”
“Ada-ada saja Amir ini.”
Pantatku aku geser mendekati duduknya. Kucium pipinya. Lalu,”Sekali lagi, yuk, Ceu.”
“Hus!”
“Mumpung Dadan masih tidur.”
“Ogah.”
“Satu kali, ya. Sebentar saja.”
“Sudah siang. Sebentar lagi kita pulang.”
“Dadan ‘kan masih tidur, Ceu.”
“Tidak, Amir.”
“Nanti malam aku datang, ya.”
Sambil geleng-geleng kepala, istri kakak iparku melihat ke arahku.”Sepertinya Amir ini haus seks. Harus dibawa ke dokter.”
“Bagaimana tidak haus seks, Ceu, kalau memek Eceu itu enak?”
“Gombal…”
BERSAMBUNG …