Skip to content

Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar

#Part 20 Berkencan di Ruang Belakang​

#Part 20 Berkencan di Ruang Belakang

Dalam kegelapan teras belakang rumah istri kakak iparku, aku berdiri di depan pintunya. Ada rasa ragu untuk mendorongnya seperti yang selalu aku lakukan bila mengunjunginya karena dapur rumah ini terang benderang. Meskipun sudah terlalu sering aku mengunjungi rumah ini, aku harus waspada karena sangat jarang lampunya menyala.

Astaga! Darahku berdesir karena ada suara dari balik pintu di depanku. Belum sempat aku menghindar karena takut terpergok, pintu telah membuka lebar. Cahaya lampu yang menyeruak keluar menimpa wajahku, menyilaukan mata. Detak jantung menabrak dadaku. Gemetar badanku. Bakal terbongkarkah jalinan asmara ini? Itu yang terlintas di kepalaku.

“Amir?”Suara itu terasa akrab di telingaku.

Maka, aku fokuskan pandanganku. Kulawan silaunya cahaya lampu dan kulihat sang kekasih berdiri di ambang pintu. Cantik sekali dia. Dasternya yang tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah menyenangkan aku memandangnya.

“Amir!”Akhirnya panggilan itu menyadarkan aku.

Kupandang dia sekilas dan lalu beralih memandang ke dalam rumahnya. Karena tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan di sana, kembali aku pandangi dia. Dari kepala hingga kakinya, kemudian naik kembali menatap wajahnya, aku susuri tubuhnya.

“Ada apa?”tanyanya.”Ada yang aneh dengan saya?”

Kuberi dia satu senyuman. Lalu,”Bidadarikah yang berdiri didepanku ini?”

“Gombal!”Menyengir dia dan dicubitnya pelan lenganku.

Kutarik dia dalam pelukan. Wangi rambutnya semerbak menyerbu hidungku. Istri kakak iparku balik melingkarkan dua tangannya ke tubuhku, menempelkan tubuhnya. Dia biarkan jemari tanganku yang mengelus pipinya.

Kepala aku rundukkan untuk mendekati bibir ranum itu. Pun dengan tenang istri kakak iparku menyambutnya. Akhirnya, di teras belakang rumahnya, dalam heningnya malam, hanya kecipak bibir-bibir kami yang terdengar terputus-putus dalam ciuman yang penuh nafsu.

Asoy, sebutan tas plastik bagi orang Palembang, yang sedari tadi aku pegang, aku jatuhkan agar tanganku dapat menjelajahi setiap lekuk tubuhnya sementara tangan lawan mainku itu mencengkeram pinggangku. Kepala kami bergerak berlawanan, ke kiri dan ke kanan, seiring birahi yang melingkupi kami berdua.

Gedubrak! Ada yang jatuh di luar teras. Ciuman kami terhenti. Serempak wajah kami berpaling menuju tempat asal suara, tapi tidak ada yang mencurigakan. Lalu aku putar pandangan menuju pohon belimbing yang berdiri rimbun di luar teras dan semua terlihat aman.

“Kita ke dalam saja, Ceu.”Aku cekal kedua pundaknya dan pelan aku dorong istri kakak iparku melangkah mundur, membawanya menyeberangi pintu belakang rumahnya.

Setiba di dalam rumah, daun pintu aku dorong menutup dan bersandar aku. Kubawa istri kakak iparku mendekat dan berhadapan kami. Menengadah dia untuk menatap wajahku dan,”Eceu cantik.”

“Memang kemarin-kemarin saya tidak cantik?”Ada seulas senyum di wajahnya.

“Maksudku, Eceu tambah cantik malam ini,”ralatku sembari mengusap pipi mulusnya,”Pasti gara-gara dasternya.”

Malam ini istri kakak iparku mengenakan daster tanpa lengan yang memperlihatkan kedua paha mulusnya, sehingga membuatnya enak untuk dipandang. Apalagi warna kuningnya yang serasi dengan kulit putihnya. Syantik.

“Ini daster dari Amir,”terangnya,”Baru dipakai malam ini.”

Tersenyum aku. Dari mula aku sudah tahu kalau daster seksi itu penberian dariku. Aku memang sering memberinya hadiah. Senang saja melihat ekspresi wajahnya saat dia menerima pemberianku. Senang saat dia mengucapkan terima kasih dan kemudian mengecup pipiku.

“Nyaman ‘kan dasternya?”

Kembali mendongak dia. Menganggukkan kepalanya.”Hebat Amir bisa tahu ukuran baju saya.”

“Aku ‘kan sering lihat Eceu telanjang, jadi tahulah ukuran daster Eceu,”guyonku,”Aku juga tahu ukuran be-ha Eceu, tapi karena Eceu tidak suka pakai be-ha, aku tidak beli.”

“Kata siapa saya tidak suka pakai beha?”Merengut wajah manisnya.

Ah! Senangnya melihat istri kakak iparku yang mayun, meski tetap cantik dia. Kuangkat tanganku jatuh di pundaknya, mengelusnya. Juga mengelus lehernya, mengelus daun telinganya, mengelus pipinya untuk kemudian turun kembali ke pundaknya, sementara istri kakak iparku hanya mampu memejamkan matanya menikmati elusanku.

“Ini apa?”Berpura-pura lugu aku saat aku sentuh dasternya, tepat dibagian dadanya. Butiran kecil di atas gundukan daging yang masih terselimut daster itu, dengan jempol dan jemari telunjuk, aku mainkan.

“Geli, tau ah,”ucapnya manja meskipun dibiarkannya puting susunya tetap aku pilin-pilin.

Tangan aku bawa masuk ke dalam dasternya, menjangkau selangkangannya. Bagian tengah celana dalamnya yang sudah basah itu aku sentuh yang menyebabkan dia menjengit. Jemari aku teruskan untuk mengelus kemaluannya, mengorek-orek belahan memanjang yang masih tersimpan di dalam celana dalamnya. Lalu, aku ambil bibirnya dan kembali bibir-bibir kami saling mengulum, lebih hangat dengan diselingi desahan napasnya yang menikmati kemaluannya yang aku eksplorasi.

Istri kakak iparku mengempiskan perutnya ketika tanganku menyelinap ke dalam celana dalamnya. Segera jari-jari tanganku menjelajahi bulu jembut yang tercukur pendek itu. Kembali menjengit istri kakak iparku manakala jari-jariku mencapai belahan kemaluannya. Bibirnya menekan kuat di bibirku dan pegangan tangannya di lenganku menguat begitu dua jariku merabai klitorisnya.

Aku hentikan jamahan tanganku di areal kemaluannya, menarik tangan keluar dari dalam celana dalamnya, dari balik dasternya, dan meninggalkan bibirnya. Dalam dekapan sepi dapur rumahnya, bertatapan kami, saling melemparkan senyum.

“Kita ke kamar, Ceu.”Tangannya aku pegang.

“Jangan.”Istri kakak iparku balik memegang tanganku, menahan aku yang hendak melangkah.”Anakku lagi tidak enak badan. Renyeng dia.”

“Sakit apa?”Aku tatap dia.

“Batuk pilek biasa,”jawab dia,”tapi, sudah diberi obat. Minum obat warung.”

Obat warung adalah sebutan beragam obat yang bebas beredar di pasaran tanpa perlu resep dokter untuk membelinya.

“Terus, malam ini, kita main di dapur, nih, ceritanya?”gurauku.

Tersenyum dia, mencubit dadaku. Dapur, lebih tepatnya ruang belakang rumah istri kakak iparku, karena dapur ini masih merupakan bagian dari ruang belakang rumahnya, sangat luas untuk ukuran rumah milineal saat ini. Karena terbentuk dari kayu, ruang belakang rumah istri kakak iparku menjadi sejuk. Angin semilir yang melewati jendela yang terbuka lebar sedikit meredam panasnya Palembang. Karena itulah, ruang belakang ini menjadi pusat berkumpul keluarga, tempat bersantap bersama, tempat bermain anak-anak, dan tempat berbaring di lantai kayunya yang dingin karena angin yang menerobos dari sela-selanya.

Tanpa membuang waktu, bersimpuh aku di hadapannya. Dua tanganku masuk ke dalam dasternya, meraih celana dalamnya. Berpegangan istri kakak iparku di pundakku saat aku mulai menurunkan celana dalamnya. Dirapatkannya dua kakinya agar celana dalam itu tidak kesulitan melewati dengkulnya dan aku teruskan menarik celana dalamnya hingga jatuh di kakinya.

“Angkat dasternya, Ceu,”perintahku.

Istri kakak iparku mengangkat dasternya meninggi. Spontan jakunku naik-turun, kontolku yang sedari tadi sudah mengacung kini bertambah keras, melihat belahan memanjang di selangkangannya yang menghitam itu. Bulu-bulu jembutnya tipis karena sepertinya baru dipotong.

Kedua paha didepanku itu aku pegang. Wajah aku dekatkan ke selangkangannya dan aroma khas menerpa hidungku. Kaki-kaki istri kakak iparku melebar, memberi kesempatan aku untuk mendekati kemaluannya. Dengan segera lidahku menjilati area kemaluannya dan lenguhannya terdengar.

Sambil tetap menjilati daging kecil di belahan memanjang di selangkangannya, jari tengah dan jari telunjuk aku tusukkan ke lubang kemaluannya yang sudah licin. Didalam lubang kemaluannya, dua jariku menggosok-gosok benjolan kecil yang ada di sana yang membuat tangan istri kakak iparku menjambak kuat rambutku dan desah nafasnya yang menderu membuat aku tambah semangat mencumbui area sensitif miliknya itu.

Kini aku berdiri dan saling berhadapan kami. Istri kakak iparku yang bersandar di pintu hanya diam melihat aku yang meloloskan tali pinggang, melepaskan kancing celana dan resleiting, untuk kemudian menurunkan celana panjang yang aku kenakan.

“Gajah-gajah, gajah-gajah, gajah-gajah.”Senyum istri kakak iparku terbit melihat aku yang menggoyang-goyangkan kontolku.

Sambil tetap menggoyang-goyangkan kontolku, aku mendekatinya. Masih tetap tersenyum, istri kakak iparku menarik lebih tinggi dasternya dan mengikatkan ujung daster di pinggangnya. Dia tegakkan tubuhnya, siap menyambut aku.

Aku memendekkan kedua kakiku agar dapat menempelkan kontolku di selangkangannya dan istri kakak iparku berjinjit untuk mengimbangi tinggi badanku. Dengan kedua tangan menahan di dinding, pelan-pelan aku gesek-gesek kontolku di kemaluannya sementara istri kakak iparku yang berpegangan di pinggangku berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya.

Aku angkat paha kanannya meninggi dan aku lihat wajah istri kakak iparku menggerenyit nikmat karena kontolku sudah tiba di ambang lubang kemaluannya, siap untuk aku tusukkan. Tapi, ….

“Mimih!”Satu teriakan terdengar dari arah kamar tidur yang disusul dengan suara tangisan.

Bersamaan dengan itu, istri kakak iparku mendorong aku menjauh. Cepat dia turunkannya dasternya, diambilnya celana dalam miliknya yang terkapar di lantai, dan lalu meninggalkan aku yang berdiri setengah telanjang. Kontolku yang telah siap menyerang, terantuk-antuk sia-sia.

BERSAMBUNG …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *